PENINGKATAN
KINERJA IKM MELALUI ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, CITIZENSHIP BEHAVIOR DAN MODAL
SOSIAL
Utami Tri
Sulistyorini
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
This research is based on small industry
performance problem which reducing. This trend is caused by lacking of
relationship development between entrepreneurship and social capital. This
research will take SM Funrnitur in Jepara and Surakarta which has more than two
years conduct the company as samples. The collection of data both primary and
secundery will be done with questionaire distribution and interview. Data is
analyzed by SEM. This research is hoped will be a base of applied research
about SM performance especially and economic growth generally.
The problem which will be solved in this
research is ” how to increase SM performance through the link development
between entrepreneurship and social capital which will be impact on economic
growth on long term period ? This problem will be solved by using SEM method
The
outcome of this research are (1) A model of increasing performance through
activities integration and entreperenuership. (2) A model of increasing
performance through activities integration and social capital development (3) A
model of social capital development.
The most data gained are primary data. Data is
collected through questionair distribution. The amount of the samples are 100
with purposive sampling method
To
increase their performance SM can decide 6 policies those are (1) increasing
entrepreneurship orientation, (2) To increase activities integration (3) To
develop citizenship behavior (4) To develop structural social capital (5) To
develop cognitive social capital (6) To develop trust,
The research limitation can
be seen from hipothesis those have been rejected. It shows that indicators have
been chosen may not suitable with respondent perception. Or variabel
independent has indirect effect on performance
So
the further research should put moderating variable between social capital dan
SM performance such as organizational learning or knowledge transfer. While
performace of SM should be directed to innovation activities.
Key words: Citizenship
behavior, acitivies integration, entrepreneurial orientation, trust, cognitive
social capital, structural social capital and Small industries performance.
PENDAHULUAN
Menurut
UU No. 1995, industri kecil (tergolong dalam batasan usaha kecil) adalah
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan untuk rumah tangga maupun
suatu badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk
diperniagakan secara komersial, yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp
200 juta, dan mempunyai nilai penjualan per tahun sebesar Rp 1 miliar atau
kurang. Sedangkan BPS mendefinisikan industri kecil dan menengah berdasarkan
jumlah tenaga kerja, yaitu industri yang memiliki tenaga kerja 1 – 99 orang.
Berdasarkan
data persebaran industri sedang dan besar tahun 2007, populasi tertinggi adalah
Jawa Barat (29,8%), kemudian Jawa Timur (22,5%), Jawa Tengah (16,8%), dan DKI
(10,3%). Sedangkan persebaran IKM
tidak terlalu jauh berbeda dengan pola persebaran industri sedang dan besar
tersebut. Pertumbuhan jumlah IKM dari tahun ke tahun nilai absolutnya mengalami
peningkatan, namun nilai relatifnya memiliki kecenderungan menurun, Selain nilai relatif jumlah IKM kecenderungan penurunan juga tampak pada
nilai investasi dan nilai produksi, meskipun jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh IKM menunjukkan nilai relatif yang cenderung meningkat, seperti tampak
pada grafik di bawah ini. (Sumber : Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Tengah,
2007).
Kondisi
di atas menunjukkan bahwa IKM lebih padat karya, dan kurang efisien, yang
ditunjukkan dari meningkatnya serapan tenaga kerja namun nilai produksi dan
nilai investasi secara relatif mengalami penurunan. Hal ini berarti bahwa
kinerja IKM secara relatif memiliki kecenderungan menurun, yang dalam jangka
panjang akan mengurangi jumlah IKM. Mengacu pada program pemerintah
pengembangan UMKM (termasuk IKM) bahwa Indonesia memerlukan tambahan 20 juta
unit usaha baru dalam rangka meningkatkan daya dukung pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja bagi penduduk, maka kecenderungan penurunan jumlah
IKM dalam jangka panjang akan berdampak pada rendahnya pertumbuhan ekonomi
khususnya di Jawa Tengah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Caree dan
Thurik (2002) yang menyatakan bahwa kecenderungan penurunan kinerja IKM akan
berdampak pada kinerja ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara makro (Caree
& Thurik, 2002)
Kecenderungan
penurunan kinerja IKM ini diduga, disebabkan oleh permasalahan ataupun
kelemahan yang dimiliki oleh sebagaian besar IKM yang berdampak sulitnya IKM
untuk mengantisipasi ancaman dan mengeksploitasi peluang pasar. Menurut dinas
perindustrian propinsi Jawa Tengah kelemahan – kelemahan yang dimiliki oleh IKM
antara lain; (1) kurangnya kemampuan melakukan inovasi (innovativeness): (2)
kurangnya kemampuan bersaing (competitive–agresiveness); (3) kurangnya
kemampuan mengantisipasi perkembang an pasar (proactiveness); (4) kurangnya
kemampuan untuk menciptakan partisipasi kerja (sosial and advocacy
participation).
Menurut
Lumpkin dan Des (1996) kurangnya innovativeness, competitive-agresiveness, dan proactiveness menunjukkan bahwa
IKM tidak memiliki orientaasi kewirausahaan yang dapat berakibat pada penurunan
kinerja. Sedangkan kurangnya sosial dan advocacy participation menunjukkan
bahwa IKM tidak memiliki kemampuan membangun modal sosial (sosial capital)
dalam kerja yang dapat berakibat penurunan kinerja IKM (Bolino, Turnley,
Bloodgood, 2002)
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kelemahan IKM disebabkan oleh dua variabel yaitu
kewirausahaan dan modal sosial. Sehingga terdapat dugaan bahwa kelemahan IKM di
Jateng yang berdampak pada penurunan kinerja IKM ini, disebabkan ketiadaan link antara kewirausahaan dengan
pembangunan sosial capital dalam
internal IKM.
Permasalahan yang dapat diambil dari
uraian di atas adalah “bagaimana meningkatkan kinerja IKM melalui pembangunan
link antara kewirausahaan dan modal sosial, yang akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi pada jangka panjang ?”
Penelitian
ini akan mengambil studi kasus pada IKM Mebel di Jateng karena (1) Mebel
menjadi salah satu produk unggulan berorientasi ekspor di Jateng (2) Nilai
ekspornya selalu berfluktuatif dari tahun ke tahun,
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Dasar Kinerja Ikm Dan Pertumbuhan Ekonomi
Audretsch & Thurik (2000) menyatakan bahwa
gerakan menuju pengetahuan yang berdasar ekonomi merupakan dorongan pergerakan
dari perusahaan besar ke perusahaan kecil. Hal ini disebabkan karena perusahan
kecil memainkan peran yang penting dalam melayani ekonomi sebagai agen
perubahan melalui aktivitas kewirausahaan mereka yang terintegrasi, menjadi
sumber aktivitas inovasi, merangsang evolusi industri, dan menciptakan
sumbangan penting dari peningkatan kesempatan kerja.
Menurut Audretsch (1995), Caves (1998), dan
Sutton (1997), dalam Carree & Thurik (2002), kinerja ekonomi diukur dari
sisi pertumbuhan dan keberlangsungan perusahaan, hal ini disebabkan karena
ukuran dan usia perusahaan secara positif berhubungan dengan pertumbuhan.
Penjelasan pertumbuhan ekonomi secara umum dibatasi oleh realitas ekonomi
makro, namun menurut kinerja tradisional, pertumbuhan ekonomi dibentuk oleh
bagaimana struktur industri menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya langka
dengan cara yang paling efisien. Cara yang paling efisien ini sangat ditentukan
oleh perubahan – perubahan determinan yang mempengaruhi struktur industri
seperti perubahan teknologi, globalisasi, deregulasi, variasi permintaan, dan
ketidakpastian yang tinggi.
Kewirausahaan
Dan Kinerja Ikm
Baik industri baru maupun industri
yang telah ada, kewirausahaan memunculkan peluang untuk pengembangan bisnis,
kemajuan teknologi, dan pencipataan kekayaan bagi industri. Kegiatan utama
kewirausahaan adalah new entry. New
entry dapat dijelaskan sebagai upaya perusahaan (dalam hal ini IKM),
memasuki pasar baru atau pasar yang telah ada dengan barang/jasa baru atau
barang/jasa yang telah ada. Menurut Burgelman (1983) New entry merupakan kegiatan memasarkan sesuatu yang baru baik oleh
perusahaan baru, atau melalui perusahaan yang telah ada. Dapat dikatakan new entry merupakan ide sentral yang mendasari konsep
kewirausahaan..
Konsep kewirausahaan telah
diterapkan pada berbagai tingkat, sebagai contoh, individual, kelompok, dan
keseluruhan organisasi. Kewirausahaan sering diidentikkan sebagai upaya
individual karena seringkali diasosiasikan dengan pengenalan penemuan
revolusioner. (Kilby, 1971 dalam Lumpkin dan Des, 1996). Kewirausahaan juga
dipandang oleh beberapa ahli sebagai domain dari bisnis kecil, sebab bisnis ini
ber-tanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,
dengan memasuki pasar yang belum terjamah. Dalam hal ini new entry merupakan kegiatan kewirausahaan, khususnya dari fenomena
tingkat perusahaan. Dengan demikian new
entry berkaitan dengan kegiatan individual, usaha kecil, unit bisnis
strategi dari perusahaan besar. Oleh sebab itu orientasi kewirausahaan terpusat
pada tingkat perusahaan. Kewirausahaan pada individual dipandang sebagai
kewirausahaan pada perusahaan. Industri kecil dipandang secara sederhana
sebagai perluasan dari individual. Penerapan orientasi kewirausahaan pada usaha
yang sejenis, sesuai dengan pendapat Schumpeter (1942 dalam Lumpkin & Des,
1996), yang menarik perhatian dari individual kewirausahaan kearah industrial
kewirausahaan, dengan alasan bahwa kewirausahaan lambat laun akan didominasi
oleh perusahaan, yang memiliki kemampuan menggunakan sumberdayanya untuk
inovasi. Mengarahkan orientasi kewirausahaan pada tingkat perusahaan
berhubungan dengan model yang digunakan oleh Covin dan Slevin (1991), yang
menekankan peran kewirausahaan sebagai perilaku perusahaan.
Orientasi kewirausahaan itu
sendiri, merupakan proses, praktek, dan kegiatan pengambilan keputusan yang
menuju pada new entry. Orientasi kewirausahaan muncul dari perspektif pilihan
strategis yang menyatakan bahwa peluang new
entry untuk berhasil sangat tergantung pada kinerja yang menjadi tujuan. (Von
& Poole, 1995). Dimensi kunci dari orientasi kewirausahaan termasuk kemauan
untuk mandiri (autonomy), keinginan
melakukan inovasi (innovativeness),
kecenderungan untuk bersikap agresif terhadap pesaing (competitive aggressiveness), dan bersikap proaktif terhadap peluang
pasar (proactiveness).
Autonomy merupakan kegiatan independent individual
atau tim dalam menjabarkan ide atau visi dan melaksanakannya. Secara umum, autonomy berarti kemampuan berinisiatif
dalam mengeksploitasi peluang. Dalam konteks perusahaan, autonomy merupakan kegiatan pembebasan diri dari hambatan –
hambatan organiasional yang ketat. Meskipun factor – factor seperti
ketersediaan sumberdaya, kegiatan pesaing, atau pertimbangan – pertimbangan
internal organisasi mungkin mengubah inisiatif menangkap peluang, namun hal ini
tidak mematikan proses autonomy yang
mengarahkan pada new entry. Keseluruhan proses, pelaku – pelaku dalam
organisasi akan tetap bebas berlaku independen, untuk membuat keputusan, dan
melangkah maju.
Innovativeness merupakan kecenderungan perusahaan untuk
terlibat dan mendukung hal baru, ide, penemuan, percobaan dan proses kreatif
yang dapat menghasilkan produk, jasa, atau proses teknologi. baru. Meskipun innovativeness dapat berbeda dalam
tingkat keradikalannya, namun innovativeness
menunjukkan keinginan dasar untuk berangkat dari teknologi lama kearah
teknologi yang dibutuhkan saat ini (Kimberly, 1981; Hage, 1980). Menurut Schumpeter (1934, dalam Lumpkin dan
Des, 1996), proses ekonomi merupakan perusakan yang kreatif, dengan itu
kekayaan tercipta ketika struktur pasar terganggu dengan pengenalan barang atau
jasa baru yang membawa sumberdaya dari perusahaan lama, dan menyebabkan
perusahaan baru tumbuh. Kunci dari siklus kegiatan ini adalah kewirausahaan,
inovatif “ kombinasi baru”, yang membawa evolusi baru dalam ekonomi. Dengan
demikian innovativeness merupakan
factor penting dalam kewira-usahaan.
Menurut Venkatraman (1969,
dalam Lumpkin dan Des, 1996), proactiveness
merupakan proses yang ditujukan untuk mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan
mendatang dengan mencari peluang baru yang mungkin berhubungan atau tidak
berhubungan dengan operasional saat ini, mengenalkan produk baru dan merek yang
mengungguli pesaing; secara strategis menghapus kegiatan yang berada pada tahap
kedewasaan atau penurunan dalam siklus kehidupan. Sedangkan menurut kamus
Webster (1991), proactiveness
merupakan kegiatan mengantisipasi permasalahan – permasalahan, kebutuhan –
kebutuhan atau perubahan masa mendatang. Proactiveness juga diartikan sebagai
keputusan perusahaan yang berkaitan dengan jawaban pertanyaan “ Apakah
lingkungan akan terbentuk dengan mengenalkan produk, teknologi, proses
administrasi baru, atau bagaimana reaksinya ? (Miller & Freisen, 1993).
Dengan demikian proactiveness penting
dalam orientasi kewirausahaan karena menyarankan perspektif melihat kedepan
yang didorong oleh inovasi.
Competitive
Aggresiveness merupakan
harapan perusahaan untuk secara langsung dan intensif menantang pesaing dalam
upaya menetrasi pasar dan memperbaiki posisi di pasar. Competitive aggressiveness merupakan bentuk lain dari
responsiveness dalam persaingan frontal. Competitive
aggressiveness juga menggambarkan kemauan untuk menggunakan cara tidak
konvensional atau tradisional dalam bersaing, seperti menggunakan taktik
terbaru untuk menghadapi pesaing, menganalisa dan menentukan target untuk
kelemahan pesaing, memfokuskan produk yang bernilai tambah tinggi dengan secara
hati – hati memonitor pengeluarannya.(Lumpkin dan Des, 1996). Porter (1995)
merekomendasikan tiga pendekatan aggresif bagi perusahaan lama yaitu melakukan
sesuatu secara berbeda, yang berarti menentukan kembali produk atau jasa,
saluran pemasaran, pengeluaran yang berlebihan dari pesaing,. Dengan demikian competitive aggressiveness merupakan
responsiveness perusahaan terhadap pencapaian keunggulan bersaing secara
langsung, yang merupakan komponen penting bagi orientasi kewirausahaan.
Dalam mediating – effect model, orientasi kewirausahaan dipertimbangkan
sebagai variabel penyebab, sedangkan kinerja perusahaan sebagai variabel yang
disebabkan, sedangkan pengintegrasian kegiatan organisasional merupakan
variabel mediator. Model ini menyarankan pengintegrasian kegiatan
organisasional yang efektif mempengaruhi hubungan antara orientasi kewirausahaan
dan kinerja perusahaan. Perusahaan yang memiliki orientasi kewirausahaan yang
kuat, akan secara agresif memasuki pasar baru dengan risiko yang lebih besar.
Gerakan pesaing akan menghasilkan kemampuan mereka untuk menguasai lingkungan
yang lebih kompleks dan berubah dengan cepat. Lawrence & Lorsch, dan
Galbraith (dalam Lumpkin dan Des, 1996) menyatakan bahwa menghasilkan perbedaan
membutuhkan pengintegrasian struktur yang lebih besar, dalam upaya mencapai
kinerja superior. Pernyataan ini mendukung hukum variasi kebutuhan Ashley
(dalam Lumpkin dan Des, 1996), dimana kompleksitas eksternal harus sesuai
dengan kompleksitas proses internal.
Kanter (1983), menyatakan
bahwa pengintegrasian pemikiran merupakan hal yang sangat penting ketika
penciptaan tim lingkungan dalam kegiatan inovasi didukung keberadaannya.
Perusahaan semacam ini akan mampu menurunkan konflik dan isolasi antar unit
perusahaan, menciptakan mekanisme pertukaran informasi dan ide baru antar batas
– batas organisasi, meyakinkan multiple perspektif yang dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan , dan menyediakan hubungan dan arah keseluruhan
organisasi Miller ( 1983) menyarankan bahwa aktivitas ini termasuk penggunaan
ekstensif alat integrasi struktural seperti komite dan task force; penggunaan atuaran yang efektif, perencanaan, dan
penganggaran dan juga integrasi peran untuk aktivitas proyek antar fungsi, dan
juga pengintegrasian aktivitas antar unit bisnis dalam perusahaan. Porter
(1985) menyarankan tentang organisasi horisontal, yang meliputi struktur,
sistem, dan SDM horisontal. Sehingga, hubungan antara orientasi kewirausahaan
dan kinerja IKM ditengahi oleh penerap-an pengintegrasian aktivitas. IKM dengan
orientasi kewirau-sahaan, yang menerapkan pengintegrasian aktivitas akan
memiliki kinerja tinggi, maka hipotesis yang dibangun adalah:
Hipotesis
1: Orientasi kewirausahaan
memiliki pengaruh positif terhadap pengintegrasian aktivitas.
Hipotesis 2: Pengintegrasian
aktivitas berpengaruh positif terhadap kinerja IKM
Pengintegrasian Aktivitas Dan Citizenship Behaviour
Perusahaan
DuPon merupakan salah satu contoh perusahaan yang menerapkan pengintegrasian
aktivitas. Pekerja – pekerja sebagai anggota dalam unit kerja dan tim untuk
memperoleh pemahaman tentang produk potensial., dan mereka bekerjasama dengan
pelanggan atau rekan kerja untuk secara cepat mengembangkan produk tersebut.
Flexibilitas ini mendorong bagian produksi untuk mencari peluang tentang
variasi produk dan pasar (Laporan tahunan DuPont, 1993). Hal yang harus
dipahami adalah bahwa pengintegrasian aktivitas tidak akan berhasil dengan baik
tanpa adanya kemauan dari individu pekerja yang tergabung dalam unit kerja atau
tim. Kemauan ini muncul karena rasa menjadi bagian keberhasilan aktivitas
tersebut. Menurut Katz (1964, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002),
bahwa aktivitas perusahaan tergantung pada dukungan pekerja yang berusaha
mengerjakan pekerjaannya untuk berfungsi secara efektif atau berperilaku
sebagai warganegara perusahaan yang baik (citizenship
behavior). Menurut Pasakoff, MacKenzie, Paine, dan Bachrach (2000), citizenship behavior merupakan sikap
positif terhadap pekerjaan, tugas dan kepemimpinan. Dalam hal ini individu
pekerja akan menyelesaikan pekerjaan formalnya ketika mereka merasa puas dengan
pekerjaannya, .Atau pekerja akan berkomitmen dengan perusahaan, ketika mereka
diberi pekerjaan yang memuaskan untuk diselesaikan atau mereka merasa didukung
oleh pimpinan. Dengan demikian citizenship
behavior, meningkatkan efektivitas organisasi karena citizenship behavior melumasi mesin sosial dalam organisasi (Smith,
1983). Oleh sebab itu, hipotesis yang dibangun adalah:
Hipotesis 3 : Citizenship
behavior berpengaruh positif terhadap pengintegrasian aktivitas
Citizenship Behavior, Social Capital Dan Kinerja Ikm
Citizenship behavior merupakan perilaku personil (pekerja)
dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya, yang secara tidak langsung
atau secara eksplisit tidak dikenal oleh sistem penghargaan formal, dan yang
memfasilitasi fungsi organisasi (Organ, 1988 dalam Bolino, Turnley, &
Bloodgood, 2002). Menurut Graham (1991), terdapat tiga bentuk citizenship
behavior; ketaatan menggambarkan kemauan pekerja untuk menerima dan taat pada
aturan, peraturan, dan prosedur organisasi.; kesetiaan menggambarkan kemauan pekerja
untuk mewujudkan minat individu bagi kepentingan atau keuntungan organisasi;
dan partisipasi menggambarkan kemauan pekerja untuk secara aktif terlibat di
semua aspek kehidupan organisasi. Van Dyne, Graham & Dienesch (1994),
menyatakan bahwa partisipasi memiliki tiga bentuk; partisipasi sosial (social participation) menggaambarkan
keterlibatan aktif pekerja dalam kasus perusahaan dan partisipasi dalam
aktivitas sosial organisasi; partisipasi advokasi (advocacy participation) menggambarkan kemauan pekerja bersikap
controversial dalam upaya memperbaiki organisasi melalui saran, inovasi, dan
mendorong pekerja lain untuk mengemukakan pendapat; partisipasi fungsional (functional participation) menggambar-kan
kemauan pekerja untuk bekerja melebihi standar pekerjaan.
Dapat dikatakan perusahaan
yang memiliki rasa sebagai warganegara, yang baik, akan menghasilkan tingkat
modal sosial yang lebih tinggi. Modal sosial dianggap penting dalam fungsi
organisasi dan citizenship behavior cenderung mendukung penciptaan modal sosial.
Citizenship behavior membantu
menciptakan dan memelihara modal sosial dalam perusahaan, yang menghasilkan
kinerja organisasi yang lebih tinggi.
Menurut Cohen & Prusack
(2001), social capital merupakan unsur sosial yang mendukung kegiatan
berbagi ilmu pengetahuan. Putnam menyatakan social capital merupakan
fitur sosial perusahaan seprti jejaring, norma – norma, dan kepercayaan sosial
yang mendukung koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Pengembangan
sosial capital dalam perusahaan merupakan sumber keunggulan bersaing ,
karena social capital memperkuat
jejaring hubungan interpersonal yang merupakan dasar keberhasilan perusahaan.
Menurut Nahapiet & Ghosal (1998), modal social memiliki tiga dimensi yaitu
:modal sosial structural (structural social capital), trust (relational social capital) dan
modal sosial kognitif (cognitive social capital).
Nahapiet
& Ghosal mendefinisikan modal sosial struktural sebagai jejaring struktural dalam perusahaan
seperti hubungan antar individu, bentuk hubungan dan keselarasan hubungan.
·
Jejaring
struktural ini meliputi pengikatan, pembentukan, dan kesesuaian jejaring.
Pengikatan jejaring menghubungkan antar anggota dalam organisasi. Menurut
Krachhard & Hanson, 1993) menyatakan bahwa hubungan antar anggota dalam
organisasi memiliki pengaruh yang penting dalam transfer komunikasi. Sedangkan
Shah (2000) menyatakan bahwa hubungan
antar anggota dalam organisasi memiliki pengaruh yang penting dalam
pelaksanan aktivitas organisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa operasional
perusahaan akan lebih efisien jika pekerja dalam perusahaan saling mengenal
dengan baik.
·
Menurut
Ibarra (1992), baik jejaring formal, maupun informal memiliki peran penting
dalam keseluruhan pembangunan hubungan interpersonal,. Pemahaman tentang pembentukan
jejaring ditentukan oleh karateritik – karateristik seperti ; lingkaran
struktural (terdapatnya hubungan antar pekerja ), sentralisasi (tingkat
konsentrasi hubungan antar pekerja), dan densitas (jumlah pekerja yang saling
berhubungan relatif terhadap jumlah hubungan potensial seluruh pekerja).
Kaitannya dengan tiga karakteristik ini
Seibert (2001), menyatakan bahwa ke tiga karakteristik ini merupakan
determinan kunci bagi pergerakan informasi, pengetahuan, bantuan dalam
organisasi, sepanjang hal ini berkaitan dengan hubungan individual sederhana.
·
Kesesuaian
jejaring dapat mempengaruhi secara signifikan aliran informasi dan bantuan
dalam suatu jejaring. Kesesuaian jejaring berkaitan dengan kemudahan berbagai
bentuk hubungan dapat ditransfer dalam jejaring. Sebagai contoh, seorang
pekerja mungkin dapat menyelesaikan tugasnya dengan mudah karena ia memiliki
teman yang ahli di bidang pekerjaan tersebut. Hubugan yang terbentuk antar
individu adalah informal. Sehingga jejaring yang terbentuk untuk satu tujuan
tertentu mungkin berguna untuk tujuan yang lain (Fukuyama, 1995).
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa modal sosial struktural akan meningkatkan kinerja perusahaan
(dalam hal ini IKM) ketika jejaring
dalam perusahaan bertambah, karena di dalam jejaring tersebut terjadi koneksi
dan kontak yang efektif.
Relational sosial capital ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan
yang tinggi, berbagi norma dan pandangan kewajiban, serta rasa saling memiliki.
Pengertian ini sesuai dengan definisi Granovetter (1973, dalam Bolino, Turnley,
& Bloodgood, 2002 ), yang mendefinisikan selational capital sebagai
hubungan antar individual yang ditandai dengan kepercayaan, timbal balik, dan
intensitas emosional. Sedangkan Krackhard (1992) mendefinisikan modal sosial
relational sebagai hubungan interpersonal yang terjadi secara alami. Dengan
demikian modal sosial relational berkaitan dengan hubungan antar pekerja dalam
satu perusahaan yang saling bekerjasama, saling percaya, dan saling terikat,
yang akan berdampak pada kinerja perusahaan dimana kelompok tersebut berada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inti dari modal sosial ini adalah “trust”
·
Krackhard
menyatakan bahwa individual dalam kelompok merasa lebih nyaman dengan
ketidakpastian dan tidak menolak perubahan ketika mereka saling menyukai.
Sedangkan menurut Mullen & Cooper (1991), ketertarikan interpersonal
merupakan komponen kunci bagi keberhasilan kelompok, khususnya untuk kelompok
kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok kerja dalam perusahaan
(IKM) yang di dalamnya, para anggotanya saling menyukai akan lebih fleksibel,
lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dan memiliki kinerja
yang lebih tinggi.
·
Saling
percaya muncul dari keyakinan akan niat yang baik, keterbukaan, kompetensi,
kehandalan dari individu/kelompok lain (Mishiro, 1996). Dalam hal ini Jones
& George (1998) menambahkan bahwa kepecayaan membantu pertukaran sosial dan
sumberdaya, meningkatkan komunikasi, mengembangkan kerjasama antar anggota.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi dalam
perusahaan (IKM) akan meningkatkan inovasi, mengembangkan tim kerja, dan
memperbaiki fungsi organisasional perusahaan.
·
Individu
yang saling terikat seringkali saling terkait, atau mengaitkan diri mereka
dalam keanggotaan kelompok. Tingkat identifikasi kelompok secara positif
dihubungkan dengan komunikasi, kerjasama dalam kelompok, dan perhatian kelompok
yang ditunjukkan dalam bentuk aktivitas , dan hasil kerja kelompok (Kramer,
Brewer, & Hanna, 1996).
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa trust dapat
meningkatkan kinerja perusahaan (dalam hal ini IKM), ketika antar pekerja
saling percaya, saling menyukai dan saling terikat, mereka akan berusaha
menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Cognitive sosial capital berkaitan dengan kemampuan individu dalam
perusahaan untuk memahami satu dengan lainnya. Saling memahami antar pekerja
dicapai melalui saling tukar bahasa, dan berbagi cerita. Ketika berbagi bahasa
dan cerita terjadi, pekerja dapat lebih mudah mendiskusikan masalahnya,
mentransfer ide, berbagi pengetahuan, dan saling menolong. Aspek cognitive
social capital berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa dan
mengkomunikasikan bahasa tersebut kepada individu lain (Weich, 1995) Berbagi
bahasa menolong anggota organisasi dnegan kemampuan komunikasi lebih efektif
(Boisot, 1995), sedangkan berbagi cerita membantu anggota organisasi
mengartikan, dan memahami pengalaman masing – masing. Dengan demikian baik
berbagi bahasa dan cerita mampu meningkatkan tingkat pemahaman anggota
organisasi yang berakibat pada:
·
Meningkatnya
kemampuan untuk mengantisipasi dan memprediksi aktivitas rekan kerja, sehingga
memfasilitasi penggunaan input dari berbagai anggota, dan mengadaptasi
perubahan kondisi. (klimoski & mohammed, 1994).
·
Meningkatnya efesiensi yang diperoleh melalui
rasa saling menyadari, dan penurunan dari perilaku yang tidak dikehendaki dalam
organisasi. (weick, 1995).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa modal sosial kognitif akan meningkatkan kinerja
perusahaan (IKM), ketika kemampuan untuk saling memahami meningkat dengan
terciptakan bahasa umum dikalangan pekerja, sehingga mereka dapat berbagi
keyakinan, cerita dan khayalan.
Partisipasi
sosial yang menggambarkan partisipasi pekerja yang interpersonal atau terlibat
dalam kontak sosial seperti hadir dalam pertemuan non formal, dan terlibat
dalam aktivitas sosial dalam organisasi (Van Dyne, 1994). Partisipasi sosial
dalam kaitan pekerja, membantu pembentukan hubungan antar anggota organisasi
yang belum mengenal satu dan lainnya dengan baik. Ketika pekerja berpartisipasi dalam kehidupan
sosial organisasi, mereka cenderung bertemu orang lain dan meningkatkan jumlah
jaringan yang saling terikat. Ketika hubungan baru terjadi, struktur dari jejaring
sosial dalam organisasi terjadi, maka hipotesis yang diambil adalah:
Hipotesis 4: Citizenship
behavior berpengaruh positif terhadap modal sosial struktural
Partisipasi
fungsional merupakan perilaku yang terdapat pada penyelesaian tugas pekerjaan.
Perilaku partisipasi fungsional merupakan kontribusi pekerja dengan fokus ke
individual atau jenis perilaku yang memiliki kontak langsung dengan individu
lainnya rendah. Perilaku ini meipti perilaku partisipasi yang menyukai untuk
mengambil pekerjaan tambahan atau menjadi sukarelawan pada proyek khusus.
Nguyen dan Seers (2000), menemukan bahwa individu akan sangat puas atau
menikmati sebagai anggota tim, ketika teman satu tim memiliki kemauan untuk
menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Individu yang bekerja lebih dari yang
diwajibkan, cenderung dipandang sebagai individu yang kompeten, handal, dan
dapat dipercaya. Pekerja lebih menyukai bergabung dengan orang – orang yang
dipandang kompeten dan handal dalam satu kelompok. (Hagg & Terry, 2000).
Dengan demikian ketika pekerja menunjukkan partisipasi fungsional, ini
cenderung membawa individu dekat satu dengan lainnya. Sehingga partisipasi
fungsional, harus secara positif dihubungkan dengan penciptakan modal sosial
relasiional.
Dalam kaitan partisipasi sosial pekerja
cenderung membangun hubungan dengan pekerja lain dalam organisasi. Partisipasi
sosial pekerja juga cenderung membangun modal sosial relasiional dalam
organisasi. Psychology sosial menunjukkan bahwa interaksi sosial cenderung
mengarahkan pad ketertarikan interpersonal, atau tingkat kesukaan antar
individu meningkat ketika mereka memiliki kesempatan berinteraksi dengan
individu lainnya secara sosial. Menurut Mullen & Copper, 1994) interaksi
sosial merupakan determinan penting untuk kesatuan kelompok. Aktivitas sosial
dalam organisasi sering secara eksplisit didesain untuk menumbuhkan pembangunan
hubungan atau kekerabatan antar pekerja. Sehingga, partisipasi fungsional dan
partisipasi sosial membangun trust melalui peningkatan rasa suka, kepercayaan,
dan identifikasi antar pekerja, maka hipotesis yang dibangun adalah :
Hipotesis 5: Citizenship behavior berpengaruh positif
pada trust.
Perilaku
partisipasi sosial membantu komponen relasional dan structural modal sosial,
namun perilaku ini juga membantu keberadaan berbagi cerita (share narrative). Berbagi cerita ini
merupakan elemen kunci modal sosial, sehingga pertukaran ini membantu
pengembangan berbagi bahasa dan pemahaman antar pekerja. Citizenship behavior
juga membantu pembentukan modal sosial kognitif ketika pekerja berkemauan
mengemukakan pendapat dengan saran yang konstruktif dan mendorong rekan
kerjanya berbuat hal yang sama. Seperti dijelaskan sebelumnya modal sosial
kognitif merupakan pekerja yang memiliki kemampuan untuk memahami satu dengan
lainnya. Jika pekerja tidak berkehendak berkomunikasi atau berbagi ide atau
pemikiran dengan rekan kerjanya, maka berbagi bahasa dan berbagi cerita
cenderung tidak terjadi. Maka dapat dikatakan bahwa partisipasi advokasi
mendorong penciptaan modal sosial kognitif dalam organisasi maka partisipasi
sosial dan partisipasi advokasi membangun modal sosial kognitif melalui
pengembangan berbagi bahasa dan berbagai cerita antar pekerja. Dengan
demikian hipotesis yang dibangun adalah
:
Hipotesis 6 : Citizenship behavior berpengaruh positif
pada modal social kognitif
Seperti
dijelaskan sebelumnya citizenship
behavior membangun keefektifan organisasi, demikian juga modal sosial juga
dianggap membantu fungsi organisasi. Hubungan antara citizenship behavior dan
fungsi organisasi tidak langsung. Dalam kaitan ini citizenship behavior memainkan peran penting dalam penciptaan modal
sosial struKtural, relasional dan kognitif. Dengan demikian modal sosial akan
menjembatani hubungan antara citizenship
behavior dan kinerja IKM. Atau modal sosial Kemudian modal sosial membangun
kinerja organisasi, sehingga hipotesis yang diambil adalah :
Hipotesis 7: Modal sosial struktural berpengaruh positif
pada kinerja IKM
Hipotesis 8: Trust berpengaruh positif pada kinerja IKM
Hipotesis 9: Modal social kognitif
berpengaruh positif pada kinerja IKM
Pengembangan Model
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 2. Model Penelitian