IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
DAN PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN
THE IMPLEMENTATION OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND
PARTICIPATION PROGRAM AS WELL AS ENVIRONMENTAL DEVELOPMENT
Sri Marhaeni
Salsiyah
Jurusan Administrasi
Niaga, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
Corporate Social Responsibility, parties programs and enviromental
development all of them have to be done by companies as Act no. 74 about Corporation no. 40 in 2007.
As public relations activities, the objectives of these programs are: to
increase value of the firms, to be carried well, these good corporate imaging programs
need special division in the company’s organization structure. To evaluate the
programs depends on how much the program spends the money.
The differences among Corporate Social Responsibility, parties
programs and enviromental development are about minimizing negative impact,
vested interest, maintaining the continuity of the programs, increasing the
amount of the fund and completing the mission of the company
Keywords:
corporate social responsibility, parties programs and
enviromental development, value of the firms
Jalal, dari Lingkar Studi CSR dalam tulisannya mengemukakan beberapa
hal terkait Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dengan Corporate Social Responsibility (www.csrindonesia.com:2007)
Pertama, Sebuah
perusahaan baru dianggap menjalankan CSR dengan benar apabila ia telah
mengupayakan terlebih dahulu minimisasi dampak negatif, baru kemudian melakukan
maksimisasi dampak positif . Tampaknya Kementerian Negara BUMN tidak
berpendirian demikian, sehingga PKBL dianggap sama dengan CSR, walau
pelaksananya tidak diwajibkan melakukan minimisasi dampak negative dahulu.
Jadi, walaupun sebuah BUMN—misalnya—tidak memedulikan dampak negatifnya, namun
melaksanakan apa yang diwajibkan dalam ketentuan mengenai PKBL, maka ia bisa
dianggap melakukan “CSR”, tentunya dalam pemahaman Kementerian Negara BUMN.
Kedua, jelas juga bahwa PKBL adalah jenis CSR
yang lebih ditujukan kepada para pemangku kepentingan eksternal saja. Itupun
hanya sebagian kecil dari pemangku kepentingan eksternal, yaitu para pengusaha
kecil (dalam Kemitraan) dan masyarakat setempat (dalam Bina Lingkungan). Tentu
saja, sebenarnya pemangku kepentingan eksternalpun masih banyak sekali,
termasuk pemerintah, ornop, ormas, media massa dan sebagainya. Apalagi, kalau
dipegang dengan erat pengertian bahwa CSR seharusnya juga memerhatikan—bahkan
ada yang menyatakan mengutamakan—pemangku kepentingan internal. Ada banyak
pakar yang menyatakan bahwa CSR seharusnya inside out, atau dimulai
dengan memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan internalnya dahulu,
baru bergerak ke luar. Sementara, banyak pakar menyatakan bahwa keduanya harus
diperhatikan dengan seimbang. Karena sifat PKBL yang hanya ditujukan kepada
pemangku kepentingan eksternal, maka sebetulnya PKBL sudah “menyalahi” kaidah
keseimbangan antara pemangku kepentingan eksternal dan internal. Apalagi kalau
pendirian inside-out yang dianut.
Ketiga, sebagaimana
yang ditemukan oleh Dahlsrud (How Corporate Social Responsibility is Defined,
2008), berbagai definisi CSR secara konsisten menunjukkan unsur voluntari, yang
berarti sebuah perusahaan menjalankan terlebih dahulu seluruh ketentuan dalam
peraturan legal, kemudian menambahkan dengan hal-hal yang melampaui apa yang
diatur. Terkait dengan hal tersebut, ada dua pendirian berbagai pakar mengenai
apa yang dihitung sebagai CSR, yaitu (1) apa yang di luar regulasi saja, dan
(2) mencakup yang ada di dalam dan di luar regulasi. Masalah dengan PKBL adalah
bahwa ia sudah diatur dengan sangat ketat, sehingga BUMN-BUMN tidak bisa—atau
tidak memiliki ruang yang cukup besar—melakukan hal di luar itu. Dengan
demikian, kalau mengacu pada pendirian pertama, maka PKBL bukanlah CSR, karena
CSR haruslah berada di luar regulasi.
Sementara, mengacu pada pendirian kedua, PKBL adalah sebuah CSR minimum, karena
hanya berupa kepatuhan pada regulasi yang dibuat pemerintah, tidak mengandung
hal yang bersifat “beyond compliance”.
Keempat , berapa dana
yang dikeluarkan oleh BUMN untuk PKBL pada suatu tahun tertentu didasarkan pada
laba bersih yang dibukukan di tahun sebelumnya. Hal ini sangat
problematik—kalau tidak hendak menyatakan suatu kesalahan besar—dari sudut
pandang CSR. Konsekuensi dari cara pandang after profit yang dianut PKBL
adalah berbahaya bagi perusahaan. Kalau sebuah BUMN tidak membukukan keuntungan
pada tahun sebelumnya, maka ia boleh tidak menjalankan “tugas sosial”-nya itu
pada tahun ini.
Juga, kalau hendak
dilaksanakan dengan sekaku itu, BUMN menjadi boleh untuk tidak melakukan ”tugas
sosial”-nya sebelum mencapai fase kembali modal. Ini tentu saja bukan ciri-ciri
CSR yang benar, karena CSR harus dilaksanakan, terlepas dari untung atau tidak
(belum)-nya perusahaan. Sekadar informasi, sudah semenjak 1997 seluruh pakar
CSR bersepakat bahwa CSR adalah aktivitas “before profit”, bukan “after
profit” sebagaimana yang dianut oleh Kementerian Negara BUMN itu.
PEMBAHASAN
Pengertian
Corporate Social Responsibility (CSR)
Wineberg dan Rudolph
memberi definisi CSR sebagai: “The contribution that a company makes in
society through its core business activities, its social investment and philanthropy
programs,and its engagement in public policy”( Wineberg,2004:72)
Selanjutnya dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa konsep CSR itu memang
agak tumpang tindih, (overlap) dengan konsep (good) corporate
governance dan konsep etika bisnis (Reksodiputro, 2004). Sedangkan
Schermerhorn (1993) memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi
bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani
kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal (Schermerhorn, 1993).
CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders)
berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Beberapa nama
lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini
antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/Charity),
Kedermawanan Perusahaan (Corporate philanthropy), Relasi Kemasyarakatan
Perusahaan (Corporate Community/PublicRelations), dan Pengembangan
Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat
sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate
Social Investment/Investing) yang didorong oleh spectrum motif yang terentang
dari motif “amal” hingga “pemberdayaan” (Brilliant, 1988: 299-313).
Tanggungjawab sosial
atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan dapat
didefinisikan sebagai mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela
mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya
dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggungjawab
organisasi di bidang hukum (Aggraini, 2006).
Tanggung jawab sosial
secara lebih sederhana dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada
masyarakat dan lingkungan sekitarnya karena perusahaan telah mengambil
keuntungan atas masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dimana dalam proses
pengambilan keuntungan tersebut seringkali perusahaan menimbulkan kerusakan
lingkungan ataupun dampak sosial lainnya.
Model atau Pola Corporate
Social Responsibility
1.
Keterlibatan
langsung, perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke
masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya
menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau
public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2.
Melalui
yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan, perusahaan mendirikan yayasan
sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang
lazim dilakukan di negara maju. Disini perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana
abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan.
3.
Bermitra
dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan
lembaga/organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media
massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium,
perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga
sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang
dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara proaktif mencari
kerjasama dari berbagai kalangan dan kemudian mengembangkan program yang telah
disepakati bersama (Saidi, 2004:64-65).
Pelaksanaan Corporate
Social Responsibility
Tanggungjawab sosial
mulai muncul pada tahun 1960-an saat dimana negara-negara telah pulih dari
Perang Dunia II. Pada waktu itu, persoalan keterbelakangan dan kemiskinan mulai
mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini mendorong berkembangnya
tanggungjawab sosial sebagai cara untuk mengentaskan kemiskinan dan
keterbelakangan tersebut.
Pada tahun 1970-an,
muncul sebuah pemikiran bahwa bumi tempat kita tinggal memiliki daya dukung
yang terbatas dimana manusia terus berkembang dan bertambah padat. Oleh karena
itu, ekploitasi perlu dilakukan secara hati-hati (Wibisono, 2007). Pada dasarwarsa
tersebut disadari timbulnya tanggungjawab sosial dengan pemikiran bahwa untuk
meningkatkan sector produksi perlu didukung oleh peningkatan permintaan
masyarakat. Peningkatan tersebut salah satunya dapat diperoleh dengan
berubahnya masyarakat yang miskin menjadi mampu. Perubahan ini mungkin dapat
dilakukan dengan adanya bantuan dari luar misalnya atas perbaikan sarana
pendidikan dan kesehatan.
Pada tahun 1980-an
terjadi perubahan atas bentuk kegiatan sosial dari yang berupa kegiatan
pendermaan menjadi ke arah pemberdayaan masyarakat. Menurut Elkingto dalam
Wibisono (2007) jika perusahaan ingin bertahan maka perlu memperhatikan 3P,
yakni bukan hanya profit yang diburu, namun juga harus memberikan
kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif menjaga
kelestarian lingkungan (planet).
Perkembangan
signifikan atas tanggungjawab sosial perusahaan-perusahan di Indonesia ditandai
dengan adanya Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007(UU PT),
yang disahkan pada tanggal 20 Juli 2007. Undang-undang tersebut mengharuskan
perseroan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial (CSR). Pada pasal 74
Undang-Undang Perseroaan Terbatas menyatakan bahwa perseroaan yang menjalankan
kegiatan usahanya dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggungjawab sosial dan lingkungan. Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan adanya kewajiban ini, perusahaan khususnya
perseroaan terbatas yang bergerak dan atau berkaitan dengan sumber daya alam
harus melaksanakan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat.
Masih banyak perusahaan yang tidak mau
menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai
pengeluaran biaya (Cost Center). CSR tidak memberikan hasil secara
keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung
maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga
ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki
citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian, apabila perusahaan
melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga perusahaan
akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila
digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu
perusahaan.
Dalam
proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :
1. Program
CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat
2. Masih
terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen
perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri
3. Belum
adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila
dianalisis permasalahan di atas yang menyangkut belum tersosialisasikannya
dengan baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR
belum bergulir sebagaimana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti
apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat
berkolaborasi dengan prosedur perusahaan.
Untuk
menjawab pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR
baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan
program CSR yang telah dijalankan.
Di samping itu peranan perguruan tinggi
perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi
dapat sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa
penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. KK-Ilmu kemanusiaan melalui
mata kuliah Komunikasi Pembangunan sudah melakukan penelitian tentang
implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang hasilnya masih jauh dari
apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan. Contohnya hasil riset pada siswa
SMA Bale Endah, mereka memerlukan bantuan biaya sekolah untuk transportasi dan
uang sekolah, tetapi yang diperoleh dari program CSR perusahaan pemberi bantuan
tersebut berupa seperangkat komputer dan internet berikut pelatihan bagi guru.
Jelas program CSR tidak mengenai sasaran. Apa yang diperlukan oleh siswa dengan
apa yang diberikan perusahaan melalui program CSR sebelumnya tidak tepat
sasaran.
Permasalahan
ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan tetapi setelah
mahasiswa yang mengambil matakuliah Komunikasi Pembangunan melakukan riset,
ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa dengan apa yang
diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada pihak pemberi
bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini. Karena
keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif lagi
untuk kedepannya. Mahasiswa tidak hanya melakukan riset dibidang pendidikan
saja, tetapi juga melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus ITB, tepatnya
di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu
rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil
riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program
pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal.
Program ini memerlukan tempat pelatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa
mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerja sama untuk melaksanakan
program tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan.
Program CSR ini, masih menyimpan banyak
polemik di kalangan departemen Hukum dan HAM yang berusaha mewajibkan CSR bagi
perusahaan, sedangkan Departemen perindustrian tidak mewajibkan perusahaan
tidak memiliki program CSR. Hal ini merupakan Full Anomali (terbalik-balik).
Departemen Hukum dan HAM yang seharusnya mendukung pengusaha karena azas
kebebasan, malah mewajibkan CSR sedangkan Departemen Perindustrian yang
mestinya diwajibkan CSR justru dibebaskan dari tuntutan kewajiban CSR di
kalangan perusahaan dan industri. Dalam serba ketidak pastian ini Forum Ekonomi
Dunia melalui Global Govermance Initiative menggelar World Business
Council For Sustainablle Development di New York pada tahun 2005, salah
satu deklarasi penting disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha
untuk membantu PBB dalam merealisasikan Millennium Development Goalds (MDGs).
Adapun tujuan utama MDGs adalah mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan
ditahun 2015. Pantas untuk dicatat tujuan ini jelas maha berat, mengingat
pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan toh malah
bertambah.
Human
Development Report tahun 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5
milyar jiwa hidup dengan upah dibawah US$ 2/hari/kapita. Total upah ini
nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia , setiap hari 1200 anak-anak mati
karena kelaparan. HDR mensinyalir 10% orang terkaya di dunia menguasai 54%
total pendapatan dunia yang 500 orang
dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk
termiskin.
Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak
perusahaan perlu menyisihkan uang dari keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan
dimasukkan kedalam biaya investasi yang harus ditanggung pemerintah .
Bila
dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan
menimbulkan penafsiran sendiri, hal ini dapat dilihat dari masing-masing
perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang
terpenting adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable).
Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan
manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra
perusahaan dan para stake holder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari
program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan
antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listrik
tenaga air swadaya masyarakat.
Program
CSR yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan
dimasyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan
melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan
menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari
masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore, menurut
mereka bahwa didalam masyarakat terdapat Stratifikasi social dimana
stratifikasi social itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang
membutuhkan berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi social,
masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau
pekerjaan yang membutuhkan proses berlajar yang lama dan mahal. Agar masyarakat
dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada
pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini dapat diatasi dengan program
yang bersifat holistik sehingga dapat membangun tingkat kepercayaan dalam diri
masyarakat, untuk itu didukung oleh program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
Pelaksanaan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Pembinaan usaha kecil oleh BUMN
dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang
Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum
(Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan
usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya Keputusan
Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman
Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik
Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5%
dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program
Pegelkop.
Pada Tahun 1994, nama program diubah
menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman
Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba
Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan perkembangan ekonomi dan kebutuhan
masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami
penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala
Badan Pembina BUMN No.:Kep-216/M-PBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN
No.:Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri
Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program
Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Pembinaan Usaha
Kecil yang dilakukan BUMN tidak terlepas dari beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya, yaitu:
1.
Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil.
Penjelasan Pasal 16 : “...Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya.”
Penjelasan Pasal 16 : “...Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya.”
2.
Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang BUMN.
Pasal 2 : “...salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif
memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi, dan masyarakat.”
Pasal 88 ayat (1) :“...BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.”
Pasal 88 ayat (1) :“...BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.”
3.
Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.
Pasal 74 ayat (1) : “…Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan…”
4.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 21 : “...Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan
pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha
Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan
pembiayaan lainnya.
PKBL merupakan
Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk
pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk
Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program
Bina Lingkungan.
Secara hukum BUMN
memang dinyatakan memiliki tujuan pendirian yang bukan saja untuk mengejar
keuntungan, melainkan juga “turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat”, yang tercantum
dalam Pasal 2 UU Nomor 19/2003. Hal ini membuat BUMN memiliki aktivitas di luar
bisnis intinya, yaitu ”bisnis” untuk membimbing dan membantu mereka yang
ditetapkan sebagai sasaran program tersebut.
Lebih lanjut, dalam
Kep-236/MBU/2003 dinyatakan dengan jelas bahwa BUMN diwajibkan menjalankan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang biayanya diperoleh dari
penyisihan sebagian laba bersih perusahaan. Dalam Keputusan tersebut kembali
ditekankan bahwa PKBL merupakan “tugas sosial” karena tugas tersebut bukan
merupakan bisnis inti BUMN, serta diperlukan sebuah pembukuan khusus yang
terpisah dengan laporan keuangan BUMN yang melaksanakannya. Standar pembukuan
PKBL juga ditetapkan oleh pemerintah, terutama dikaitkan dengan target dana
yang direncanakan versus dana yang benar-benar dikeluarkan pada periode
setahunan.
Program Kemitraan
sendiri dinyatakan sebagai pembinaan dan pengembangan yang dilakukan oleh BUMN
terhadap usaha kecil (kekayaan bersih sampai Rp. 200 juta dan penjualan sampai
Rp. 1 miliar per tahun) dan mikro (penjualan sampai Rp. 100 juta per tahun).
Sementara, Bina Lingkungan merupakan bantuan untuk kegiatan-kegiatan nonekonomis.
Sebagai bantuan ekonomis, Program Kemitraan sebagian besar berupa pinjaman
kepada usaha kecil dan mikro tersebut, dan sebagian kecilnya berupa hibah untuk
aktivitas pendukung berupa pendidikan, pelatihan, magang, penelitian dan
sebagainya.
Karena BUMN bukanlah
pakar dalam pengembangan ekonomi usaha kecil, maka di luar kegiatan pemberian
pinjaman BUMN banyak bekerja sama dengan pihak yang mampu memberikan sokongan
dalam aktivitas pendukung sebagaimana yang disebutkan di atas.
Bentuk Program Kemitraan :
·
¨Pemberian pinjaman untuk modal kerja dan/atau
pembelian Aktiva Tetap Produktif;
·
¨Pinjaman khusus bagi UMK yang telah menjadi
binaan yang bersifat pinjaman tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari
rekanan usaha UMK Binaan.
·
¨Program pendampingan dalam rangka peningkatan
kapasitas (capacity building) UMK binaan dalam bentuk bantuan
pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi.
·
Capacity Building
diberikan di bidang produksi & pengolahan, pemasaran, SDM, dan teknologi.
Dana capacity building bersifat hibah dan hanya dapat diberikan kepada atau
untuk kepentingan UMK Binaan.
PENUTUP
Dalam
implementasinya, CSR dan PKBL terdapat bebrapa persamaan maupun perbedaaan.
Persamaan
diantara keduanya adalah:
- Baik CSR maupun PKBL keduanya merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh perusahaan atau organisasi bisnis sebagai perwujudan dari tanggung
jawab sosial terhadap lingkungan sekitar perusahaan.
- Baik CSR maupun PKBL dijalankan berdasarkan payung hukum dari
pemerintah, dimana CSR berdasarkan Undang-undang dan PKBL berdasarkan
Keputusan Menteri.
- Sebagai kegiatan kehumasan.
- Pengukuran kinerja hanya dilihat dari berapa besar dana yang
digunakan.
- Meningkatkan Value perusahaan.
- Butuh bagian khusus untuk pelaksanaan
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah:
- Sebuah perusahaan baru dianggap menjalankan CSR dengan benar
apabila ia telah mengupayakan terlebih dahulu minimisasi dampak negative,
baru kemudian melakukan maksimisasi dampak positif. Untuk PKBL,
pelaksananya tidak diwajibkan melakukan minimisasi dampak negative dahulu
- CSR seharusnya memerhatikan—bahkan ada yang
menyatakan mengutamakan—pemangku kepentingan internal. PKBL lebih
ditujukan kepada para pemangku kepentingan eksternal saja
- CSR haruslah berada di luar regulasi. PKBL sudah diatur dengan
sangat ketat, sehingga BUMN-BUMN tidak bisa—atau tidak memiliki ruang yang
cukup besar—melakukan hal di luar itu.
- CSR harus dilaksanakan, terlepas dari untung atau
tidak (belum)-nya perusahaan. Dana yang dikeluarkan oleh BUMN untuk PKBL
pada suatu tahun tertentu didasarkan pada laba bersih yang dibukukan di
tahun sebelumnya
- CSR merupakan program berkesinambungan. PKBL Program/Proyek
- Sasaran CSR sesuai core business. PKBL tidak terbatas
- CSR untuk perusahaan swasta/pemerintah, sementara PKBL untuk BUMN
- Tujuan CSR Good Corporate Governance. Tujuan PKBL
misi sosial
- CSR concern lingkungan perusahaan. PKBL concern
ranah bisnis dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F.R.R,
2006, Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris
pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di Bursa efek Jakarta), Simposiujm
Nasional Akuntansi 9 Padang.
Bing Bedjo Tanudjaja,
2006, “Perkembangan Corporate Social
Responsibility di Indonesia”, Jurnal Nirmana, vol 8, No 2, Juli: 92-98
Chairil N.Siregar,
2007, “Analisis Sosiologis terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility pada Masyarakat Indonesia”, Jurnal
Sosioteknologi, edisi 12 th 6, Desember 2007
Nuryana, Mu’man.
(2005). Corporate Social responsibility dan Kontribusi bagi Pembangunan
Berkelanjutan, makalah yang disampaikan pada Diklat Pekerjaan Sosial
Industri, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS)
Bandung, Lembang 5 Desember.
Reksodiputro, Mardjono. (20/12/04), Makalah Lokakarya
Nasional Departemen Luar Negeri RI,dengan
tema “Peran sektor usaha
dalampemenuhan, pemajuan, dan perlindunganHAM di Indonesia”., Jakarta: Hotel Borobudur.
Rony Irawan, 2008, “Corporate Social Responsibility:
Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan di Indonesia, The 2nd National
Conference UKWMS, Surabaya, September 2008
Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. (2004). Menjadi Bangsa
Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan
Sosial
di Indonesia. Jakarta:Piramedia
Schermerhorn, John R. (1993). Management
for Productivity. New York: John Wiley & Sons
Wineberg, Danette and Phillip H. Rudolph.
(May,2004). “Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel
Should Know”, dalam ACC Docket.
Peter, T. J, & Waterman, R. H Jr, 1982, In
Search of Excellence, Harper & Row, New York.