Laman

IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGANIMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN


IMPLEMENTASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
DAN PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN

THE IMPLEMENTATION OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY AND PARTICIPATION PROGRAM AS WELL AS ENVIRONMENTAL DEVELOPMENT

Sri Marhaeni Salsiyah
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang



ABSTRACT

Corporate Social Responsibility, parties programs and enviromental development all of  them  have to be done by companies as  Act no. 74 about Corporation no. 40 in 2007. As public relations activities, the objectives of these programs are: to increase value of the firms, to be carried well, these good corporate imaging programs need special division in the company’s organization structure. To evaluate the programs depends on how much the program spends the money.
The differences among Corporate Social Responsibility, parties programs and enviromental development are about minimizing negative impact, vested interest, maintaining the continuity of the programs, increasing the amount of the fund and completing the mission of the company

Keywords: corporate social responsibility, parties programs and enviromental development, value of the firms



Jalal, dari Lingkar Studi CSR dalam tulisannya mengemukakan beberapa hal terkait Program Kemitraan dan Bina Lingkungan dengan Corporate Social Responsibility (www.csrindonesia.com:2007)
Pertama, Sebuah perusahaan baru dianggap menjalankan CSR dengan benar apabila ia telah mengupayakan terlebih dahulu minimisasi dampak negatif, baru kemudian melakukan maksimisasi dampak positif . Tampaknya Kementerian Negara BUMN tidak berpendirian demikian, sehingga PKBL dianggap sama dengan CSR, walau pelaksananya tidak diwajibkan melakukan minimisasi dampak negative dahulu. Jadi, walaupun sebuah BUMN—misalnya—tidak memedulikan dampak negatifnya, namun melaksanakan apa yang diwajibkan dalam ketentuan mengenai PKBL, maka ia bisa dianggap melakukan “CSR”, tentunya dalam pemahaman Kementerian Negara BUMN.
 Kedua, jelas juga bahwa PKBL adalah jenis CSR yang lebih ditujukan kepada para pemangku kepentingan eksternal saja. Itupun hanya sebagian kecil dari pemangku kepentingan eksternal, yaitu para pengusaha kecil (dalam Kemitraan) dan masyarakat setempat (dalam Bina Lingkungan). Tentu saja, sebenarnya pemangku kepentingan eksternalpun masih banyak sekali, termasuk pemerintah, ornop, ormas, media massa dan sebagainya. Apalagi, kalau dipegang dengan erat pengertian bahwa CSR seharusnya juga memerhatikan—bahkan ada yang menyatakan mengutamakan—pemangku kepentingan internal. Ada banyak pakar yang menyatakan bahwa CSR seharusnya inside out, atau dimulai dengan memerhatikan kepentingan para pemangku kepentingan internalnya dahulu, baru bergerak ke luar. Sementara, banyak pakar menyatakan bahwa keduanya harus diperhatikan dengan seimbang. Karena sifat PKBL yang hanya ditujukan kepada pemangku kepentingan eksternal, maka sebetulnya PKBL sudah “menyalahi” kaidah keseimbangan antara pemangku kepentingan eksternal dan internal. Apalagi kalau pendirian inside-out yang dianut.
Ketiga, sebagaimana yang ditemukan oleh Dahlsrud (How Corporate Social Responsibility is Defined, 2008), berbagai definisi CSR secara konsisten menunjukkan unsur voluntari, yang berarti sebuah perusahaan menjalankan terlebih dahulu seluruh ketentuan dalam peraturan legal, kemudian menambahkan dengan hal-hal yang melampaui apa yang diatur. Terkait dengan hal tersebut, ada dua pendirian berbagai pakar mengenai apa yang dihitung sebagai CSR, yaitu (1) apa yang di luar regulasi saja, dan (2) mencakup yang ada di dalam dan di luar regulasi. Masalah dengan PKBL adalah bahwa ia sudah diatur dengan sangat ketat, sehingga BUMN-BUMN tidak bisa—atau tidak memiliki ruang yang cukup besar—melakukan hal di luar itu. Dengan demikian, kalau mengacu pada pendirian pertama, maka PKBL bukanlah CSR, karena CSR haruslah berada di luar regulasi. Sementara, mengacu pada pendirian kedua, PKBL adalah sebuah CSR minimum, karena hanya berupa kepatuhan pada regulasi yang dibuat pemerintah, tidak mengandung hal yang bersifat “beyond compliance”.
Keempat , berapa dana yang dikeluarkan oleh BUMN untuk PKBL pada suatu tahun tertentu didasarkan pada laba bersih yang dibukukan di tahun sebelumnya. Hal ini sangat problematik—kalau tidak hendak menyatakan suatu kesalahan besar—dari sudut pandang CSR. Konsekuensi dari cara pandang after profit yang dianut PKBL adalah berbahaya bagi perusahaan. Kalau sebuah BUMN tidak membukukan keuntungan pada tahun sebelumnya, maka ia boleh tidak menjalankan “tugas sosial”-nya itu pada tahun ini.
Juga, kalau hendak dilaksanakan dengan sekaku itu, BUMN menjadi boleh untuk tidak melakukan ”tugas sosial”-nya sebelum mencapai fase kembali modal. Ini tentu saja bukan ciri-ciri CSR yang benar, karena CSR harus dilaksanakan, terlepas dari untung atau tidak (belum)-nya perusahaan. Sekadar informasi, sudah semenjak 1997 seluruh pakar CSR bersepakat bahwa CSR adalah aktivitas “before profit”, bukan “after profit” sebagaimana yang dianut oleh Kementerian Negara BUMN itu.

PEMBAHASAN
Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)
Wineberg dan Rudolph memberi definisi CSR sebagai: “The contribution that a company makes in society through its core business activities, its social investment and philanthropy programs,and its engagement in public policy”( Wineberg,2004:72) Selanjutnya dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa konsep CSR itu memang agak tumpang tindih, (overlap) dengan konsep (good) corporate governance dan konsep etika bisnis (Reksodiputro, 2004). Sedangkan Schermerhorn (1993) memberi definisi CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal (Schermerhorn, 1993).
 CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate philanthropy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/PublicRelations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spectrum motif yang terentang dari motif “amal” hingga “pemberdayaan” (Brilliant, 1988: 299-313).
Tanggungjawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan dapat didefinisikan sebagai mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggungjawab organisasi di bidang hukum (Aggraini, 2006).
Tanggung jawab sosial secara lebih sederhana dapat dikatakan sebagai timbal balik perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya karena perusahaan telah mengambil keuntungan atas masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dimana dalam proses pengambilan keuntungan tersebut seringkali perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan ataupun dampak sosial lainnya.

Model atau Pola Corporate Social Responsibility
1.      Keterlibatan langsung, perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2.      Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan, perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi yang lazim dilakukan di negara maju. Disini perusahaan  menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan.
3.      Bermitra dengan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.
4.      Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium, perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Pihak konsorsium yang dipercaya oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya akan secara proaktif mencari kerjasama dari berbagai kalangan dan kemudian mengembangkan program yang telah disepakati  bersama (Saidi, 2004:64-65).

Pelaksanaan Corporate Social Responsibility
Tanggungjawab sosial mulai muncul pada tahun 1960-an saat dimana negara-negara telah pulih dari Perang Dunia II. Pada waktu itu, persoalan keterbelakangan dan kemiskinan mulai mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Hal ini mendorong berkembangnya tanggungjawab sosial sebagai cara untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan tersebut.
Pada tahun 1970-an, muncul sebuah pemikiran bahwa bumi tempat kita tinggal memiliki daya dukung yang terbatas dimana manusia terus berkembang dan bertambah padat. Oleh karena itu, ekploitasi perlu dilakukan secara hati-hati (Wibisono, 2007). Pada dasarwarsa tersebut disadari timbulnya tanggungjawab sosial dengan pemikiran bahwa untuk meningkatkan sector produksi perlu didukung oleh peningkatan permintaan masyarakat. Peningkatan tersebut salah satunya dapat diperoleh dengan berubahnya masyarakat yang miskin menjadi mampu. Perubahan ini mungkin dapat dilakukan dengan adanya bantuan dari luar misalnya atas perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan.
Pada tahun 1980-an terjadi perubahan atas bentuk kegiatan sosial dari yang berupa kegiatan pendermaan menjadi ke arah pemberdayaan masyarakat. Menurut Elkingto dalam Wibisono (2007) jika perusahaan ingin bertahan maka perlu memperhatikan 3P, yakni bukan hanya profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Perkembangan signifikan atas tanggungjawab sosial perusahaan-perusahan di Indonesia ditandai dengan adanya Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007(UU PT), yang disahkan pada tanggal 20 Juli 2007. Undang-undang tersebut mengharuskan perseroan untuk melaksanakan tanggungjawab sosial (CSR). Pada pasal 74 Undang-Undang Perseroaan Terbatas menyatakan bahwa perseroaan yang menjalankan kegiatan usahanya dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya kewajiban ini, perusahaan khususnya perseroaan terbatas yang bergerak dan atau berkaitan dengan sumber daya alam harus melaksanakan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat.
Masih banyak perusahaan yang tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (Cost Center). CSR tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian, apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan.
Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :
1.      Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat
2.      Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri
3.      Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila dianalisis permasalahan di atas yang menyangkut belum tersosialisasikannya dengan baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR belum bergulir sebagaimana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat berkolaborasi dengan prosedur perusahaan.
Untuk menjawab pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan program CSR yang telah dijalankan.
Di samping itu peranan perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi dapat sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. KK-Ilmu kemanusiaan melalui mata kuliah Komunikasi Pembangunan sudah melakukan penelitian tentang implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan. Contohnya hasil riset pada siswa SMA Bale Endah, mereka memerlukan bantuan biaya sekolah untuk transportasi dan uang sekolah, tetapi yang diperoleh dari program CSR perusahaan pemberi bantuan tersebut berupa seperangkat komputer dan internet berikut pelatihan bagi guru. Jelas program CSR tidak mengenai sasaran. Apa yang diperlukan oleh siswa dengan apa yang diberikan perusahaan melalui program CSR sebelumnya tidak tepat sasaran.
Permasalahan ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan tetapi setelah mahasiswa yang mengambil matakuliah Komunikasi Pembangunan melakukan riset, ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa dengan apa yang diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada pihak pemberi bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini. Karena keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif lagi untuk kedepannya. Mahasiswa tidak hanya melakukan riset dibidang pendidikan saja, tetapi juga melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus ITB, tepatnya di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal. Program ini memerlukan tempat pelatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerja sama untuk melaksanakan program tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan.
Program CSR ini, masih menyimpan banyak polemik di kalangan departemen Hukum dan HAM yang berusaha mewajibkan CSR bagi perusahaan, sedangkan Departemen perindustrian tidak mewajibkan perusahaan tidak memiliki program CSR. Hal ini merupakan Full Anomali (terbalik-balik). Departemen Hukum dan HAM yang seharusnya mendukung pengusaha karena azas kebebasan, malah mewajibkan CSR sedangkan Departemen Perindustrian yang mestinya diwajibkan CSR justru dibebaskan dari tuntutan kewajiban CSR di kalangan perusahaan dan industri. Dalam serba ketidak pastian ini Forum Ekonomi Dunia melalui Global Govermance Initiative menggelar World Business Council For Sustainablle Development di New York pada tahun 2005, salah satu deklarasi penting disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan Millennium Development Goalds (MDGs). Adapun tujuan utama MDGs adalah mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan ditahun 2015. Pantas untuk dicatat tujuan ini jelas maha berat, mengingat pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan toh malah bertambah.
Human Development Report tahun 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau 2,5 milyar jiwa hidup dengan upah dibawah US$ 2/hari/kapita. Total upah ini nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia , setiap hari 1200 anak-anak mati karena kelaparan. HDR mensinyalir 10% orang terkaya di dunia menguasai 54% total pendapatan dunia  yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak perusahaan perlu menyisihkan uang dari keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan dimasukkan kedalam biaya investasi yang harus ditanggung pemerintah .
Bila dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan menimbulkan penafsiran sendiri, hal ini dapat dilihat dari masing-masing perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang terpenting adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable). Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stake holder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listrik tenaga air swadaya masyarakat.
Program CSR yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan dimasyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore, menurut mereka bahwa didalam masyarakat terdapat Stratifikasi social dimana stratifikasi social itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang membutuhkan berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi social, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses berlajar yang lama dan mahal. Agar masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat membangun tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat, untuk itu didukung oleh program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
Pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop.
Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara. Memperhatikan perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.:Kep-216/M-PBUMN/1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.:Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Pembinaan Usaha Kecil yang dilakukan BUMN tidak terlepas dari beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu:
1.      Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil.
Penjelasan Pasal 16 : “...Lembaga pembiayaan menyediakan dukungan modal untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil antara lain meliputi skim modal awal, modal bergulir, kredit usaha kecil, kredit program dan kredit modal kerja usaha kecil, kredit kemitraan, modal ventura, dana dari bagian laba Badan Usaha Milik Negara, anjak piutang dan kredit lainnya.”
2.      Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Pasal 2 : “...salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.”
Pasal 88 ayat (1) :“...BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.”
3.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.
Pasal 74 ayat (1) : “…Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan…”
4.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Pasal 21 : “...Badan Usaha Milik Negara dapat menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya.

PKBL merupakan Program Pembinaan Usaha Kecil dan pemberdayaan kondisi lingkungan oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Jumlah penyisihan laba untuk pendanaan program maksimal sebesar 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Kemitraan dan maksimal 2% (dua persen) dari laba bersih untuk Program Bina Lingkungan.
Secara hukum BUMN memang dinyatakan memiliki tujuan pendirian yang bukan saja untuk mengejar keuntungan, melainkan juga “turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat”, yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 19/2003. Hal ini membuat BUMN memiliki aktivitas di luar bisnis intinya, yaitu ”bisnis” untuk membimbing dan membantu mereka yang ditetapkan sebagai sasaran program tersebut.
Lebih lanjut, dalam Kep-236/MBU/2003 dinyatakan dengan jelas bahwa BUMN diwajibkan menjalankan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang biayanya diperoleh dari penyisihan sebagian laba bersih perusahaan. Dalam Keputusan tersebut kembali ditekankan bahwa PKBL merupakan “tugas sosial” karena tugas tersebut bukan merupakan bisnis inti BUMN, serta diperlukan sebuah pembukuan khusus yang terpisah dengan laporan keuangan BUMN yang melaksanakannya. Standar pembukuan PKBL juga ditetapkan oleh pemerintah, terutama dikaitkan dengan target dana yang direncanakan versus dana yang benar-benar dikeluarkan pada periode setahunan.
Program Kemitraan sendiri dinyatakan sebagai pembinaan dan pengembangan yang dilakukan oleh BUMN terhadap usaha kecil (kekayaan bersih sampai Rp. 200 juta dan penjualan sampai Rp. 1 miliar per tahun) dan mikro (penjualan sampai Rp. 100 juta per tahun). Sementara, Bina Lingkungan merupakan bantuan untuk kegiatan-kegiatan nonekonomis. Sebagai bantuan ekonomis, Program Kemitraan sebagian besar berupa pinjaman kepada usaha kecil dan mikro tersebut, dan sebagian kecilnya berupa hibah untuk aktivitas pendukung berupa pendidikan, pelatihan, magang, penelitian dan sebagainya.
Karena BUMN bukanlah pakar dalam pengembangan ekonomi usaha kecil, maka di luar kegiatan pemberian pinjaman BUMN banyak bekerja sama dengan pihak yang mampu memberikan sokongan dalam aktivitas pendukung sebagaimana yang disebutkan di atas.

Bentuk Program Kemitraan :
·         ¨Pemberian pinjaman untuk modal kerja dan/atau pembelian Aktiva Tetap Produktif;
·         ¨Pinjaman khusus bagi UMK yang telah menjadi binaan yang bersifat pinjaman tambahan dalam rangka memenuhi pesanan dari rekanan usaha UMK Binaan.
·         ¨Program pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building) UMK binaan dalam bentuk bantuan pendidikan/pelatihan, pemagangan, dan promosi.
·         Capacity Building diberikan di bidang produksi & pengolahan, pemasaran, SDM, dan teknologi. Dana capacity building bersifat hibah dan hanya dapat diberikan kepada atau untuk kepentingan UMK Binaan.

PENUTUP
Dalam implementasinya, CSR dan PKBL terdapat bebrapa persamaan maupun perbedaaan.
Persamaan diantara keduanya adalah:
  1. Baik CSR maupun PKBL keduanya merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi bisnis sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitar perusahaan.
  2. Baik CSR maupun PKBL dijalankan berdasarkan payung hukum dari pemerintah, dimana CSR berdasarkan Undang-undang dan PKBL berdasarkan Keputusan Menteri.
  3.  Sebagai kegiatan kehumasan.
  4. Pengukuran kinerja hanya dilihat dari berapa besar dana yang digunakan.
  5. Meningkatkan Value perusahaan.
  6. Butuh bagian khusus untuk pelaksanaan
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah:
  1. Sebuah perusahaan baru dianggap menjalankan CSR dengan benar apabila ia telah mengupayakan terlebih dahulu minimisasi dampak negative, baru kemudian melakukan maksimisasi dampak positif. Untuk PKBL, pelaksananya tidak diwajibkan melakukan minimisasi dampak negative dahulu
  2. CSR seharusnya memerhatikan—bahkan ada yang menyatakan mengutamakan—pemangku kepentingan internal. PKBL lebih ditujukan kepada para pemangku kepentingan eksternal saja
  3. CSR haruslah berada di luar regulasi. PKBL sudah diatur dengan sangat ketat, sehingga BUMN-BUMN tidak bisa—atau tidak memiliki ruang yang cukup besar—melakukan hal di luar itu.
  4. CSR harus dilaksanakan, terlepas dari untung atau tidak (belum)-nya perusahaan. Dana yang dikeluarkan oleh BUMN untuk PKBL pada suatu tahun tertentu didasarkan pada laba bersih yang dibukukan di tahun sebelumnya
  5. CSR merupakan program berkesinambungan. PKBL Program/Proyek
  6. Sasaran CSR sesuai core business. PKBL tidak terbatas
  7. CSR untuk perusahaan swasta/pemerintah, sementara PKBL untuk BUMN
  8. Tujuan CSR Good Corporate Governance. Tujuan PKBL misi sosial
  9. CSR concern lingkungan perusahaan. PKBL concern ranah bisnis dan lingkungan

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, F.R.R, 2006, Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang Terdaftar di Bursa efek Jakarta), Simposiujm Nasional Akuntansi 9 Padang.
Bing Bedjo Tanudjaja, 2006, “Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia”, Jurnal Nirmana, vol 8, No 2, Juli: 92-98
Chairil N.Siregar, 2007, “Analisis Sosiologis terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility pada Masyarakat Indonesia”, Jurnal Sosioteknologi, edisi 12 th 6, Desember 2007
Nuryana, Mu’man. (2005). Corporate Social responsibility dan Kontribusi bagi Pembangunan Berkelanjutan, makalah yang disampaikan pada Diklat Pekerjaan Sosial Industri, Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung, Lembang 5 Desember.
Reksodiputro, Mardjono. (20/12/04), Makalah Lokakarya Nasional Departemen Luar Negeri RI,dengan
tema “Peran sektor usaha dalampemenuhan, pemajuan, dan perlindunganHAM di Indonesia”., Jakarta: Hotel Borobudur.
Rony Irawan, 2008, “Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan di Indonesia, The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya, September 2008

Saidi, Zaim dan Hamid Abidin. (2004). Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan
            Sosial di Indonesia. Jakarta:Piramedia
Schermerhorn, John R. (1993). Management for Productivity. New York: John Wiley & Sons
Wineberg, Danette and Phillip H. Rudolph. (May,2004). “Corporate Social Responsibility – What Every In House Counsel Should Know”, dalam ACC Docket.
Peter, T. J,  & Waterman, R. H Jr, 1982,  In Search of Excellence, Harper & Row, New York.