MODEL
PENGEMBANGAN MODAL INTELEKTUAL
DALAM
UPAYA PEMBERDAYAAN KBK PADA JURUSAN ADMINISTRSI NIAGA
POLITEKNIK
NEGERI SEMARANG
Budi
Prasetya
Karnowohadi
Jurusan
Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
The objective of this research was to
define intelectual capital development model in empowering teacher’s
specialities group/KBK at Business Administration Department in relation with achievement of its
competitive advantage. The research variables were: human capital, organizational
capital, and relational capital. The analysis instruments were: descriptive analysis and
performance-importance analysis. It was found that: there were some aspects of
intelectual capital that should be highly developed. They are: leadership, cohecssion, learning and experiment.
Key words :
intelectual capital, KBK, Business Administration Department.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Modal intelektual kini dirujuk
sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi
suatu pusat perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi
pembangunan. Penyimpulan seperti ini didasarkan atas temuan-temuan tentang
kinerja organisasi-organisasi, khususnya
organisasi-organisasi yang padat pengetahuan/knowledge-intensive organizations
(Bounfour 2005). Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di
tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau
masyarakat, mungkin pertama dapat kita
rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan
jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan
datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat
pengetahuan (knowledge society) ini
dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam
masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan
berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak
perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja
pengetahuan (knowledge worker)
menjadi aktor utamanya.
Pada tataran mikroorganisasi,
tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini
di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana
kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan
dalam perkembangan kajian strategi pengembangan organisasi. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis
keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV).
Pandangan terakhir ini relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan
oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning
economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tan-wujud (intangible assets). Fenomena kedua ini
(konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap
organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat
untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007),
adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja
tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.
Dalam wacana pencarian
cara/strategi untuk unggul, maka terjadi
pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan
Porter atau disebut pendekatan organisasi industri, strategi adalah semata soal
pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan
keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan
pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru
(imperfectly immitable/hard to copy),
dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999;
Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus
diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan
memertahankan sumber daya-sumber daya strategis.
Dua sumber daya strategis yang
dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi (organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu
dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual. Pada intinya, terjadi
perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang
kemudian telah mendorong makin relevannya penelitian mengenai modal intelektual. Terkait dengan hal tersebut, Jurusan
Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang sebagi sebuah Jurusan dalam perguruan tinggi vokasi yang didalamnya memiliki banyak knowledge worker (dosen) dan potensi
serta aktivitas intelektual sudah
selayaknya mengetahui dan mengembangkan keunggulan sumber daya (manusia dan
organisasi) yang dimilikinya dalam meraih keunggulan kompetitifnya melalui
pemberdayaan kelompok bidang keahlian dosen-dosen yang dimilikinya. Pada saat sekarang
Jurusan AN memiliki beberapa KBK diantarnya:
manajemen, komuniksi, bahasa, bisnis, komputasi, bisnis dan
administrasi/kesekretariatan. Permasalahnnya adalah secara empiris belum
terlihat pola yang jelas terkait dengan strategi mengembangkan modal intelektual yang dimiliki melalui KBK-KBK
guna meraih keunggulan kompetitif jurusan. Dari 55 orang dosen di Jurusan AN belum diidentifikasi kompetensi
inti (core competence) mereka yang
bernilai, bersifat jarang dimiliki, sulit ditiru dan sulit tergantikan oleh
sumberdaya lain. Jurusan juga belum merumuskan arah dan strategi yang jelas
dalam mengembangkan kepakarannya secara spesifik melalui KBK sesuai kebutuhan
dan tuntutan pasar. Kalaupun kepakaran itu sudah secara sporadis dimiliki
oleh para dosen, lembaga jurusan belum
mampu mengembangkan dan memanfaatkannya dalam meraih dan meningkatkan
keunggulan kompetitif jurusan. KBK sekarang
baru kelompok pengajar yang mengajar mata kuliah serumpun tetapi dalam
aktivitasnya belumbanyak menyentuh aspek aspek substantial yang bernilai
strategis dalam mengembangkan kepakaranya yang pada gilirannya bisa
meningkatkan keunggulan kompetitif jurusan.
Oleh karena itu, penelitian ini
dibuat untuk mengetahui pemanfaatan sumberdaya organisasi dan sumberdaya manusia yang bersifat strategis
yang dikenal sebagai modal intelektual dan bagaimana upaya strategis untuk mengembangkan modal intelektual melalui
pemberdayaan dan pengembangan KBK guna meraih keunggulan kompetitif Jurusan
Aministrasi Niaga.
Perumusan
Masalah
Permasalahan yang dihadapi oleh
Jurusan Administrasi Niaga adalah belum diketahuinya kompetensi inti sumberdaya manusia dan sumberdaya
organisasi (modal intelektual) pada Jurusan
AN yang memiliki nilai (valuable),
bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique),
sulit untuk ditiru (imperfectly
immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable), Selain itu Jurusan
juga belum merumuskan strategi
bagaimana mengembangkan modal intelektual yang dimiliknya melalui
pemberdayaan KBK untuk meraih keungulan kompetitif Jurusan AN Politeknik Negeri
Semarang.
Secara spesifik masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah menjawab pertanyaan dasar sebagai berikut :
1. Bagaimana
kepemilikan dan pemanfaatan kompetensi inti sumberdaya manusia dan kapabilitas
organisasi sebagai modal inetelktual di Jurusan Administrasi Niaga Polteknki
Negeri Semarang
2. Bagaimana
kluster atribut atribut modal intelektual/intelectual
capital yang memberikan sumbangan terbesar pada keunggulan kompetitif
Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang
3. Bagaimana
model pengembangan modal intelktual/intelectual
capital tersebut untuk meraih keunggulan kompetitif di Jurusan Administrasi
Niaga Politeknik Negeri Semarang
TINJAUAN
PUSTAKA
Pengertian
Modal Intelektual.
Dalam konteks pengukuran
investasi pengetahuan (knowledge
investment), sebuah topik di bawah tema modal intelektual, Khan (2005)
mengatakan bahwa belum ada definisi yang diterima bersama tentang investasi
pengetahuan, walaupun mulai ada penyelarasan pemahaman tentangnya. Sebagaimana
diungkapkan di atas, konsep modal intelektual kini mulai muncul sebagai konsep
penting kehidupan dan pengembangan organisasi-organisasi dan kehidupan ekonomi
yang lebih luas. Sebagai sebuah konsep, modal intelektual merujuk pada
modal-modal non fisik atau yang tidak berwujud (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible) terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta
teknologi yang digunakan.
Modal intelektual memiliki
potensi memajukan organisasi dan masyarakat (Lonnqvist dan Mettanen, 2005).
Secara ringkas Smedlund dan Poyhonen (2005) mewacanakan modal intelektual
sebagai kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan transfer, dan
mengimplementasikan pengetahuan. Tampak sebanding dengan itu, Nahapiet dan
Ghoshal (1998) merujuknya sebagai knowledge
dan knowing capability yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas sosial
(misalnya organisasi, komunitas intelektual, komunitas profesi). Definisi ini
digunakan mereka dengan pertimbangan kedekatannya dengan konsep modal manusia,
salah satu unsur modal intelektual yang oleh Fitz-enz (2000) disebut sebagai
katalisator yang mampu mengaktifkan intangibles, komponen lain yang inactive.
Secara eksplisit, definisi ini terkesan tidak cukup memadai untuk menjelaskan
secara empiris sampai sejauh mana cakupan makna intellectual capital, dalam
kedua komponen.
Modal manusia seperti
dideskripsikan oleh Nahapiet dan Ghoshal (1998) adalah atribut-atribut kualitas
populasi (manusia) yang diperoleh (acquired,
vs. innate human abilities) yang diwariskan secara genetik, yang bernilai
dan dapat ditingkatkan melalui investasi yang tepat. Diuraikan lebih jauh
sebagai terdiri atas, 1) ciri-ciri pribadi yang dibawa ke dalam pekerjaan
(seperti kecerdasan, energi, sikap positif, dapat dipercaya, berkomitmen), 2)
kemampuan untuk belajar (ketrampilan, imajinasi, kreativitas, kelincahan
berpikir dan bekerja, kapabilitas mengeksekusi), 3) motivasi untuk bberbagi informasi dan pengetahuan tersebut, knowledge dan knowing capability. Namun,
dalam penjelasannya, dibedakan dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan
individual, baik yang eksplisit maupun yang tacit (automatic knowledge), serta pengetahuan sosial yang juga terdiri
atas yang eksplisit (objectified
knowledge) dan yang tacit (collective
knowledge).
Komponen
Modal Intelektual
Pembahasan tentang
komponen-komponen modal intelektual sebetulnya merupakan bagian dari definisi
atau cakupan konsep. Namun, dalam penelitian
ini, hal ini sengaja dipisahkan untuk mengurai unsur-unsur pembentuk
modal intelektual ini sehingga relatif memudahkan untuk melihat kaitannya nanti
dalam aspek pengukurannya. Lonnqvist dan Mettanen misalnya merujuk pada
kerangka yang dipakai oleh Edvinsson dan Malone (1997). Edvinsson dan Malone
memilahmoda intelektual menjadi human,
structural, dan customer capital.
Guthrie and Petty ( 2000) menyebut komponennya adalah employee competence, internal structure, dan external structure.
Makna setiap elemen hampir selaras, hanya sub komponen budaya Human capital terdiri atas seluruh kemampuan,
ketrampilan, dan pengalaman manusia pelaksana. Structural capital berisikan
infrastruktur pendukung manusia seperti database dan paten. Sedangkan customer
capital berisikan seluruh potensi terkait relasi dengan konsumen.
Sedangkan Brooking justru memecah
menjadi 4 komponen, yakni human centered
assets, infrastructural assets, intellectual property assets, serta market assets. Jika dicermati, tidak
berbeda dari komponen-komponen Edvinsson dan Malone, kecuali bahwa komponen
structural capital atau internal structure dipecah lagi oleh Brooking menjadi
dua komponen yang terpisah. Aset aset infrastruktur termasuk di dalamnya adalah
proses-proses, metode, dan teknologi. Sedangkan, properti intelektual berisikan
hak cipta dan paten. Model Marr dkk pun sebetulnya tidak berbeda, walau
dinamakan lain dan dikelompokkan menjadi 2 komponen besar yakni stakeholder resources (terdiri dari
(external) stakeholder relationships
dan human resources) dan structural resources (physical/tangible
dan virtual/intangible).
Kerangka tambahan yang dapat
diajukan yang cukup selaras adalah kerangkanya Pyke et al (2001) dan Fitz-enz
(2000) . Menurut kedua sumber itu, modal intelektual tersusun atas 3 komponen,
yakni 1) seluruh atribut human capital (seperti intelektual, skills,
kreativitas, cara kerja), 2) organizational capital (property intelektual, data
data proses-proses, budaya), dan 3) relational capital (seluruh relasi
eksternal dengan konsumen, suppliers, partners, networks, regulators, dll).
Keseluruhan hal itulah yang membentuk kesatuan entitas modal intelektual.
Pengukuran
Modal Intelektual
Merujuk Fitz-enz (2000), para
pengelola organisasi telah menerima bahwa oranglah, dan bukannya kas, bangunan,
dan peralatan, yang merupakan faktor pembeda kinerja. Apalagi ketika kini kita
memasuki masyarakat atau perekonomian berbasis pengetahuan, peran modal manusia
dan komponen modal intelektual lainnya menjadi sangat critical. Karena nilai
kontribusinya yang makin signifikan, maka diperlukan suatu sistem pengukuran
yang handal untuk maksud mengukur untuk mengetahui di mana letak nilai Human
capital dalam konteks otganisasi dimaknai sebagai pengetahuan, pendidikan,
dan kompetensi pegawai. Process capital
adalah penyimpan pengetahuan non-manusia, yakni dalam sistem ICT. Market capital adalah menyangkut
kemampuan suatu organisassi membangun relasi-relasi domestiknya untuk
menyediakan solusi yang atraktif dan kompetitif kepada clients eksternalnya
(tergambar dalam aturan, dan jejaring sosial). Renewal capital adalah kapabilitas dan investasi untuk pembaruan
dan pengembangan keunggulan bersaing, misalnya dalam aktivitas riset dan
pengembangan, paten, publikasi ilmiah.(ekonomis) dan potensi-potensi sehingga
dapat digunakan untuk mengelola modal intelektual bagi pertumbuhan. Namun,
justru salah satu masalah penting yang dihadapi adalah bagaimana mengukur
aset-aset tan wujud atau modal intelektual. Hal ini diduga demikian karena
memang selama ini kita hidup dalam dan diwariskan oleh suatu rezim manajemen
dan akuntansi yang mengabaikan modal intelektual sebagai asset organisasi.
Merujuk Khan (2005), pekerjaan
mendefinisikan dan khususnya mengukur pengetahuan dan modal intelektual secara
umum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru dan akan terus berkembang. Ia
lebih jauh mengatakan, ada isu-isu konseptual yang belum tuntas yang kemudian
Mulai terselesaikan seperti diungkapkan Pyke et al (2001). berdampak
pada masalah pada level pengumpulan data dalam upaya pengukuran ini. Di samping
itu, menurut Nakamura (2005), proses produksi untuk faktor intangible (intellectual capital) lebih beresiko,
daripada tangible assets. Namun,
walaupun sulit, sangat jelas seperti dikemukakan Fitz-enz (2000) dan Nakamura
(2005), bahwa mengukur human capital atau
intellectual capital adalah mungkin.Karena itu ada sejumlah sistem,
pendekatan, atau pengukuran yang telah dikembangkan atau dapat digunakan,
walaupun masih terdapat sejumlah persoalan dengan pengukuran-pengukuran itu.
Secara cukup lengkap, Malhotra mencatat sejumlah pendekatan pengukuran itu,
yakni Skandia Navigator (Edvinsson and Malone), Balanced Scorecard (BSC, Kaplan
dan Norton), Intangible Assets Monitor (Sveiby), IC-Index Model and HVA Model
(Roos et al.), Technology Broker Model (Brooking).
Metode-metode pengukuran yang ada
dapat memunculkan hasil di mana suatu organisasi atau masyarakat berada pada
kondisi modal intelektual yang tinggi ataupun rendah, sebuah kontinuum. Namun
menarik bahwa secara eksplisit dalam konteks seperti, oleh North dan Kares
(2005), diangkat dan diukur justru konsep atau kondisi pengabaian (ignorance),
yakni kondisi kurangnya pengetahuan, pendidikan, dan informasi tentang sesuatu atau ketidaksadaran (unawareness)
akan sesuatu keadaan. Mereka menyebut pengukuran ini sebagai the ignorance
meter.
Terdapat 10 pasang kriteria atau
dimensi pengukuran kondisi ignorance vs.intelligence, yakni 1) autisme vs.
openness, 2) blindness vs. vision, 3)followership vs. leadership, 4)
disintegration vs. cohesion, 5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use of
competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity, 9)
lethargy vs. initiative, dan 10) no-risk vs.experimentation. Untuk mengukur
ignorance North dan Kares menggunakan seperangkat kuesioner berisi 10
pertanyaan yang merefleksikan 10 kriteria di atas dengan jawaban berskala 1 (=not at all/not existent) hingga 7 (=very high).
TUJUAN DAN
MANFAAT PENELITIAN
Secara spesifik, penelitian ini
dimaksudkan untuk : 1) Mengidentifikasi kepemilikan dan pemanfaatan kompetensi
inti sumberdaya manusia dan kapabilitas organisasi sebagai intelectual capital
pada Jurusan AN Politeknik Negeri Semarang 2) Menganalisis kluster atribut atribut intelectual capital dalam sumbangannya terhadap keunggulan kompetitif Jurusan AN
Politeknik Negeri Semarang 3) Menentukan model pengembangan intelectual capital dalam upaya memberdayakan KBK pada Jurusan AN
untuk meraih keunggulan kompetitifnya
METODE
PENELITIAN
Lokasi
dan Subjek Penelitian
Penelitian dilaksanakan
pada Jurusan AN Politeknik Negeri
Semarang dengan subjek penelitian adalah
dosen. Dengan demikian sebagai populasi penelitian ini adalah semua
dosen di lingkungan Jurusan AN Polines.
Sampel Penelitian
Dengan pertimbangan bahwa jumlah populasi
relatif kecil dan bersifat homogen maka jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 30 orang yang dipilih secara
random dengan pertimbangan jumlah sampel
sudah memenuhi ketentuan distribusi normal (Singarimbun 1986 ).
Pengumpulan
Data
1)
Pengumpulan data dilakukan melalui
survey dengan menggunakan questionaire dan
studi dokumentasi dengan
menggunakan alat berupa
pertanyaan/ kuesioner dan pedoman studi dokumentasi.
2)
Pada
tahap pengembangan model
dilakukan melalui kajian kualitatif untuk menghasilkan model terbaik berdasar
data data statistik yang dilakukan pada tahap pendahuluan.
Analisis
Data
- Variabel
Penelitian
Variabel
dalam penelitian ini adalah modal intelektual yang bisa diartikan sebagai :
kompetensi inti dan kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan
transfer, dan mengimplementasikan pengetahuan. Indikator variabel ini ini merujuk pada konsep seperti yang
dikembangkan oleh Pyke et al (2001) dan Fitz-enz (2000) dimana modal intelektual
tersusun atas 3 komponen, yaitu :
1)
human
capital
(seperti intelektual, skills,
kreativitas, cara kerja),
2)
organizational
capital
(property intelektual, data tentang
proses-proses, budaya),
3)
relational
capital
(seluruh relasi eksternal dengan konsumen, suppliers,
partners, networks, regulators, dll).
- Alat
Pengukuran
Pengukuran
terhadap indikator tersebut mengunakan metode pengukuran yang disebut sebagai the ignorance meter. Terdapat 10 pasang kriteria atau dimensi
pengukuran kondisi ignorance
vs.intelligence, yang menjadi variabel penelitian ini yakni : 1) autisme vs. openness, 2) blindness vs.
vision, 3) followership vs. leadership,4) disintegration vs. cohesion, 5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use
of competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity,9) lethargy
vs. initiative, 10 ) no-risk
vs.experimentation.
Untuk
mengukur ignorance menurut North dan
Kares menggunakan seperangkat kuesioner berisi 10 pertanyaan yang merefleksikan
10 kriteria di atas dengan jawaban berskala 1 (=not at all/not existent) hingga 7 (=very high).
c.
Alat Analisis
1.
Clustering
dilakukan dengan menggunakan ignorance – intelligence analysis dan mean analysis. Analisis ini dilakukan
untuk menjawab tujuan pertama dan kedua. Model diagram ignorance – intelligence seperti pada Gambar 1.
Setiap sel akan diisi nilai rata-rata (mean) dari hasil analisis yang telah dilakukan dengan mean analysis. Dengan diagram di atas dapat dihasilkan kecenderungan SDM lebih kearah mengabaikan atau memperhatikan secara cerdas terhadap human capital, organizational capital, serta relational capital.
Setiap sel akan diisi nilai rata-rata (mean) dari hasil analisis yang telah dilakukan dengan mean analysis. Dengan diagram di atas dapat dihasilkan kecenderungan SDM lebih kearah mengabaikan atau memperhatikan secara cerdas terhadap human capital, organizational capital, serta relational capital.
Gambar 1
Ignorance –
Intelligence Diagram
|
Ignorance
|
Intelligence
|
Human Capital
|
|
|
Organizational Capital
|
|
|
Relational Capital
|
|
|
2.
Alat
analisis yang digunakan untuk menentukan model pengembangan intelectual
capital dalam meraih keunggulan kompetitif Jurusan adalah
performance-importance analysis. Analisis ini digunakan untuk melihat
keberbedaan antara kondisi terkini yang disediakan (performance) dibandingkan dengan kondisi yang diharapkan (importance) oleh stakeholder. Dari
hasil analisis performance-importance
analysis, akan terlihat perbandingan gap antar semua variable yang
dianalisis. Masing-masing variable akan diurutkan secara descending berdasarkan nilai gap yang terjadi. Dengan analisis ini
akan dihasilkan pula posisi masing-masing variable berdasarkan pada pembagian
kuadran performance-importance diagram.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Untuk mengumpilkan data telah
dibagia kues sebanyak 40 buah. Dari
Jumlah kues yang telah disebar kembali 30 buah kues yang siap diolah. Dari 10 variabel penelitian
bisa dikelompokkan pad 3 variabel besar yang menggambarkan keseluruhan aspek
penelitian. Ketiga kelompok variabel tersebut adalah : human capital ,
organizational capital dan relational capital. Hasil analisis deskriptif ketiga variabel menghasilkan informasi seperti
digambarkpan pada pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Nilai
Mean Teori dan Empiris
|
|
Teori
|
Empiris
|
||||
|
N
|
Min
|
Max
|
Mean
|
Min
|
Max
|
Mean
|
Human Capital
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.25
|
7.00
|
4.58
|
Organizational Capital
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.33
|
7.00
|
4.56
|
Relational Capital
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.33
|
6.00
|
4.69
|
Sumber : Data
primer yang diolah 2011
Nilai minimum setiap komponen
secara teoritis adalah 1 dengan nilai maksimum sebesar 7 dan rata-rata nilai
teoritis bernilai 4. Sedangkan secara empiris nilai tersebut berbeda-beda.
Untuk komponen Human Capital, nilai minimum dimensi pengukuran ignorance –
intelligence adalah 2,25 dengan nilai maksimumnya 7 dan rata-rata sebesar 4,58.
Untuk komponen Organizational Capital, nilai minimum dimensi pengukuran
ignorance – intelligence adalah 2,33 dengan nilai maksimumnya 7 dan rata-rata
sebesar 4,56. Untuk komponen Relational Capital, nilai minimum dimensi
pengukuran ignorance – intelligence adalah 2,33 dengan nilai maksimumnya 6 dan
rata-rata sebesar 4,69.
Perbedaan nilai minimum antara
teori dengan empiris menunjukkan bahwa para responden memberikan penilaian pada
setiap komponen pernyataan dengan standar nilai yang lebih baik, yakni di atas
2. Pada sisi yang lain, untuk penilaian komponen Relational Capital para
responden tidak ada yang memberikan nilai maksimum seperti nilai maksimum teori
(yakni 7).
Nilai yang diperoleh secara
empiris menunjukkan bahwa nilai rata-rata setiap komponen lebih besar jika
dibandingkan dengan nilai rata-rata teori. Hal ini menunjukkan bahwa para
responden memiliki kecenderungan berpandangan positif terhadap setiap komponen
berkaitan dengan pencapaian keunggulan kompetitif, baik dari sisi Human
Capital, Organizational Capital, maupun Relational Capital. Kecenderungan
paling tinggi pada komponen Relational Capital. Kondisi ini berarti bahwa para
responden melihat keunggulan kompetitif suatu lembaga, dalam hal ini adalah
Politeknik Negeri Semarang, salah satu pendorongnya adalah jalinan hubungan (networking)
dengan pihak lain yang terkait (relational capital).
Pada setiap komponen diukur
dengan menggunakan range ignorance – intelligence dalam 10 unsur, yaitu : 1)
autisme vs. openness, 2) blindness vs. vision, 3) followership vs.
leadership,4) disintegration vs. cohesion,
5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use of competencies, 7)
regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity,9) lethargy vs.
initiative, 10 ) no-risk
vs.experimentation
Nilai hasil analisis akan
menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang diberikan responden berarti semakin
cenderung pada intelligence dan sebaliknya semakin rendah nilainya berarti
semakin cenderung ignorance. Sebagai contoh pada unsur pertama (autism vs.
Openness), semakin tinggi nilai berarti semakin cenderung openness, sebaliknya
semakin rendah nilai berarti semakin cenderung autism.
Tabel 2.
Nilai Mean Teori
dan Empiris Tiap Unsur
|
|
Teori
|
Empiris
|
||||
|
N
|
Min
|
Max
|
Mean
|
Min
|
Max
|
Mean
|
Autism vs. Openness
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
6.00
|
5.07
|
Blindness vs. Vision
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
6.00
|
4.72
|
Followership vs. Leadership
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
6.33
|
4.39
|
Disintegration vs. Cohession
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.67
|
6.00
|
4.52
|
Vanity vs. Self Reflection
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
7.00
|
4.76
|
Abuse vs. Use of Competencies
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.00
|
6.67
|
4.67
|
Regression vs. Learning
|
30
|
1
|
7
|
4
|
2.67
|
7.00
|
4.64
|
Disruption vs. Connectivity
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.67
|
6.00
|
4.98
|
Lethargy vs. Initiative
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
6.00
|
4.62
|
No Risk vs. Experimentation
|
30
|
1
|
7
|
4
|
3.00
|
6.67
|
4.51
|
Sumber : Data
primer yang diolah 2011
Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap unsur pembentuk human,
organizational, maupun relational capital memiliki nilai rata-rata tinggi yang
berarti terdapat kecenderungan ke arah intelligence. Potensi paling tinggi pembentuk
keunggulan kompetetif menurut responden adalah keterbukaan (openness). Secara
logika dapat dijelaskan bahwa semakin terbuka dan transparan maka akan
meningkatkan tingkat kepercayaan pihak lain yang terkait dengan lembaga (jurusan
dan Politeknik Negeri Semarang). Dengan demikian lembaga akan lebih mudah
mencapai keunggulan kompetitif.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
nilai rata-rata komponen Human Capital adalah sebesar 4,58. Dari sepuluh unsur
di atas, terdapat 2 unsur yang cenderung ignorance, yaitu Followership vs
Leadership dan No Risk vs. Experimentation. Hal ini berarti bahwa para
responden lebih cenderung untuk memilih bersikap followership dan tidak mau
ambil resiko dalam mencapai keunggulan kompetitif. Namun demikian 8 unsur
lainnya memperlihatkan kecenderungan intelligence. Kondisi ini menunjukkan
bahwa responden lebih memilih unsur-unsur keterbukaan, visi ke depan yang
jelas, kerjasama, citra positif, peningkatan kompetensi, peningkatan belajar,
konektiviti, dan inisiatif untuk mendukung pencapaian keunggulan kompetitif
yang diharapkan. Nilai rata-rata komponen Human Capital (4,58) jika
dibandingkan dengan rata-rata nilai unsur yang cenderung ignorance (4,40) dan
cenderung intelligence (4,80), menunjukkan bahwa ditinjau dari sisi individu, untuk
mencapai keunggulan kompetitif, responden memiliki pendapat yang berbeda
(sebagian mengarah ignorance dan sebagian mengarah ke intelligence).
Gambar 2.
Ignorance –
Intelligence Diagram
|
Ignorance
|
Intelligence
|
Human Capital
|
4,40
(LE, EXP)
|
4,80
(OP, VI, CH, RE, CP, LR, CN, INT)
|
Organizational Capital
|
4,55
(LE, CH, CP, INT, EXP)
|
4,79
(OP, VI, RE, LR, CN)
|
Relational Capital
|
4,51
(LE, CH, LR, INT, EXP)
|
4,87
(OP, VI, RE, CP, CN)
|
Rata-rata nilai komponen
Organizational Capital sebesar 4,56 yang meliputi 10 unsur penilaian. Dari
sepuluh unsur yang dinilai, masing-masing imbang jumlah unsur yang cenderung
ignorance maupun cenderung intelligence. Unsur-unsur yang cenderung ignorance
berjumlah 5 unsur, yaitu Followership vs Leadership, Disintegration vs.
Cohession, Abuse vs. Use of Competencies, Lethargy vs. Initiative, dan No Risk
vs. Experimentation. Sedangkan 5 unsur lainnya cenderung pada intelligence,
yaitu Autism vs. Opennes, Blindness vs. Vision, Vanity vs. Self Refection,
Regression vs. Learning, dan Disruption vs. Connectivity. Kecenderungan ke arah
ignorance sebesar 4,55 sedangkan nilai kecenderungan ke arah intelligence
sebesar 4,79. Dari kedua nilai rata-rata tersebut jika dibandingkan dengan
nilai rata-rata Organizational Capital (4,56) memiliki arti bahwa kecenderungan
responden (ditinjau dari sisi kelembagaan) lebih pada intelligence dimana
terdapat arah positif untuk mencapai keunggulan kompetitif yang diharapkan.
Komponen Relation Capital
memiliki nilai rata-rata sebesar 4,69 dengan komposisi sebanyak 5 unsur
cenderung ignorance dan 5 unsur cenderung intelligence. Lima unsur yang cenderung ignorance adalah unsur
Followership vs Leadership, Disintegration vs. Cohession, Regression vs.
Learning, Lethargy vs. Initiative, dan No Risk vs. Experimentation., Sedangkan
5 unsur lainnya cenderung pada intelligence, yaitu Autism vs. Opennes,
Blindness vs. Vision, Vanity vs. Self Refection, Abuse vs. Use of Competencies
dan Disruption vs. Connectivity. Kecenderungan ke arah ignorance sebesar 4,51
sedangkan nilai kecenderungan ke arah intelligence sebesar 4,87. Dari kedua
nilai rata-rata tersebut jika dibandingkan dengan nilai rata-rata Relational
Capital (4,69) memiliki arti bahwa kecenderungan responden (ditinjau dari sisi
hubungan dengan pihak lain/relasi) seimbang antara yang cenderung condong ke
arah kiri maupun yang cenderung ke arah kanan.
Gambar 3.
PERFORMANCE
– IMPORTANCE DIAGRAM
KOMPONEN
INTELEKTUAL CAPITAL
4,70
Hasil analisis Performance –
Importance untuk Human Capital, Organizational Capital, dan Relational Capital
diperoleh hasil yang sama, yaitu didapatkan bahwa terdapat beberapa unsur yang
berada di kuadran 1 (yakni Cp1, Cp3, Lr1, dan Int1), yang berada di kuadran 2
(yakni Op1, Op2, Op3, Vi1, Vi2, Re1, Re3, Cn1, Cn2, dan Cn3), di kuadran 3
(yakni Le1, Le2, Le3, Ch1, Ch2, Ch3, Cp2, Lr1, Lr3, Int2, Int3, Exp1, Exp2, dan
Exp3), yang berada di kuadran 4 (yakni Vi3, dan Re2). Kondisi ini menunjukkan
bahwa unsur yang berada di kuadran 1 perlu dijaga stabilitasnya (jika
memungkinkan ditingkatkan), sedangkan yang harus mendapat perhatian adalah pada
unsur yang berada di kuadran 4 karena unsur-unsur tersebut dianggap penting
tetapi kondisi saat ini kurang begitu diperhatikan.
IMPLIKASI HASIL
PENELITIAN
Dari hasil analisis diatas, ditemukan
aspek aspek berikut yang berada di kuadran 3 dimana kinerja dari aspek berikut
masih dirasakan rendah sedangkan tingkat kepentingannya dirasakan tinggi oleh
responden; oleh karena itu aspek tersebut berikut ini perlu mendapat perhatian
lebih dari manajemen jurusan / prodi dalam memanfaatkan dan mengembangkan modal
intelektual yang dimiliki oleh jurusan / prodi .
Aspek aspek yang perlu mendapat
fokus perhatian dalam pengembangannya adalah sebagai berikut :
a.
Kepemimpinan/leadership: Jurusan
perlu mengambil peran secara aktif dalam mengembangkan
produk produk baru yang inovatif di bidang akademis, Jurusan
perlu menunjukkan diri sebagai pemimpin dibanding jurusan yang sama pada Politeknik
lain di Indonnesia, Jurusan menjadi
kelompok yang terkemuka dalam hal
kualitas dibanding dengan jurusan yang sama padaPoliteknik lain di Indonesia
b.
Kohesivitas antar
dosen : Semua dosen dan laboran perlu menunjukkan
usaha yang searah dan terintegrasi dalam upaya meningkatkan kualitas lembaga , Semua
staff harus memiliki ikatan yang kuat yang mampu mendorong
pencapaian visi misi jurusan secara efektif dan efisien, Jurusan
perlu mengintegrasikan seluruh potensi dan modal yang
dimiliki ( modal manusia , organisasi dan relasi ) dalam mengembangkan lembaga
Jurusan , Jurusan
perlu mengembangkan kompetensi dosen secara spesifik dan
mendalam menuju suatu kepakaran tertentu
c.
Proses Pembelajaran
: Jurusan
perlu menggunakan penglaman masa lalu dalam meningkatkan kualitas lembaga dan
kualitas layanannya , Jurusan perlu mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dalam menjalankan proses bisnisnya / akade misnya di semua
lini, Dosen
perlu mengambil inisiatif mandiri dalam mmenentukan dan
melaksanakan program program pengembangan diri dosen melalui KBK yang ada , Dosen
didorong memiliki inisiatif aktif membentuk kajian kajian
keilmuandan teknologi dengan wadah KBK
yang ada di Jurusan ,
d.
Experimentasi : Melalui KBK Dosen diidorong
gemar melakukan
suatu eksperimen baru terkait dengan model belajar / mengajar dalam rangka
peningkatan kualitas PBM., Jurusan
mendorong dan memberikan ruang yang memadai bagi dosen dan KBK melakukan
eksperimentasi terkait peningkatan kualitas PBM dan layanan pada mahasiswa , Jurusan
menerima dan menghargai segala bentuk usulan perubahan dan usaha peningkatan
kualitasa dari dosen / KBK dalam rangka meningkatkan kualtas pembelajaran dan
layanan pada mahasiswa
Selain itu aspek berikut juga
masih perlu dikembangkan karena kinerjanya juga masih rendah meskipun tingkay
kepentingannya rendah.
a.
Dosen
dan staff administrasi didorong menunjukkan
komitmen yang tinggi dalam usaha mencapai visi yang telah ditetapkan
b.
Jurusan
perlu menunjukkan citra positif yang membuat dosen bangga
menjadi sivitas akademika Jurusan AN.
KESIMPULAN
Dari
uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.
Pada aspek human
capital Responden
memiliki kecenderungan memilih unsur-unsur keterbukaan,
visi ke depan yang jelas, kerjasama, citra positif lembaga,
peningkatan kompetensi dosen, peningkatan proses pembelajaran,
konektiviti, dan inisiatif untuk mendukung pencapaian keunggulan kompetitif
yang diharapkan.
b.
Pada spek organizational capital responden
memiliki kecenderungan untuk bersifat terbuka /Opennes, visi lembaga, refleksi
diri,aspek pembelajran, dan konektivitas perlu diraih untuk mengembangkan daya saing kompetitif lembaga.
c.
Pada aspek
relational capital kecenderungan
responden (ditinjau dari sisi hubungan dengan pihak lain/relasi) seimbang
antara yang cenderung condong ke arah kiri/ ignorance maupun yang cenderung ke arah kanan inteligence.
d.
Terdapat
beberapa aspek modal intelektual yang perlu mendapat perhatian serius jurusan
guna pengembangan KBK, yaitu: aspek
leadership, kohesivitas, proses pembelajaran
dan keberaniaan bereksperimentasi
DAFTAR
PUSTAKA
Aubert,
Jean-Eric. 2005. Knowledge Economies: A Global Perspective. Dalam Bounfour and
Edvinsson.
Barney,
Jay B. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of
Management vol 17 no 1, pp. 99-120.
Barney,
Jay B. 2001. Resource-based Theories of Competitive Advantage: A Ten Year
Retrospective on the Resource-based View. Journal of Management vol 27, pp.
643-650.
Barney,
Jay B. 2007. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. US:Pearson Prentice
Hall.
Bontis,
Nick. 2005. National Intellectual Capital Index: The Benchmarking of Arab
Countries.
Boudreau,
John W. and Peter M. Ramstad. 1996. Measuring Intellectual Capital: Learning
from Financial History. School of Industrial and Labor Relations, Cornell
University,
Boudreau,
John W. and Peter M. Ramstad. 2007. Beyond HR: The New Science of Human
Capital. Boston: Harvard Business School Press.
Bounfour,
Ahmed and Leif Edvinsson. 2005. Intellectual Capital for Communities Nations,
Regions, Cities. Oxford: Elsevier.
Danish
Reseach Unit for Industrial Dynamics (DRUID) Working Paper No. 96-1.Malhotra,
Yogesh. 2003. Measuring Knowledge Assets of a Nation: Knowledge Systems for
Development. A research paper delivered at the UN Advisory Meeting of the Dept
of Economic and Social Affairs. UN Headquarters, New York, 4-5 September 2003.
Drucker,
Peter F. 1997. Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Drucker,
Peter F. 2001. The Essential Drucker. New York: Harper Collins. Fitz-enz, Jac.
2000. The ROI of Human Capital: Measuring the Economic Value of Employee
Performance. New York: AMACOM.
Guthrie,
James and Richard Petty. 2000. Intellectual Capital: Australian Annual
Reporting Practices. Journal of Intellectual Capital Vol 1 No 3, 241-251.
Khan,
Mosahid. 2005. Estimating the Level of Investment in Knowledge Across the OECD
Countries. Dalam Bounfour and Edvinsson.
Lewin,
Peter and Steven E. Phelan. 1999. Rent and Resources: A Market Process
Perspective. An unpublished draft of report. Dallas, Texas: University of Texas.
Lonnqvist,
Antti and Paula Mettane. 2005. Criteria of Sound Intellectual Capital Measures.
Finland: Institute of Industrial Managemtn, Tampere University of Technology.
Lundvall, Bengt-Ake. 1996. The Social Dimension of the Learning Economy.
Mauritsen,
J., H.T. Larsen, and P.N.D. Bukh. 2001. Intellectual Capital and the Capable
Firm: Narrating, Visualising and Numbering for Managing Knowledge. Accounting,
Organization and Society. No 7/8.
Nahapiet,
Janine and Sumantra Ghoshal. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and
the Organizational Advantage. Academy of Management Review Vol 23 No 2,
242-266.
Nakamura,
Leonard. 2005. Investing in Intangibles: Is a Trillion Dollars Missing from the
Gross Domestic Product? Dalam Bounfour and Edvinsson. North, Klaus and Stefanie
Kares. 2005. Ragusa or How to Measure Ignorance: The Ignorance Meter. Dalam
Bounfour and Edvinsson.
Patrick
M., Gary C. McMahan, and Abagail McWilliams. 1994. Human Resources and
Sustained Competitive Advantage: A Resource-based Perspective. International
Journal of Human Resource Management Vol 5 No
Pfeffer,
Jeffrey. 1996. Keunggulan Bersaing Melalui Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Pyke,
Steve, Anna Rylander, and Goran Roos. 2001. Intellectual Capital Management and
Disclosure. Chapter Submitted to Nick Bontis and Chun Wei Choo. The Strategic
Management of Intellectual Capital and OrganizationalKnowledge. New York:
Oxford University Press.
Smedlund,
Anssi and Aino Poynonen. 2005. Intellectual Capital Creation in Regions: A Knowledge
System Approach. Dalam Bounfour and Edvinsson.
Ulrich,
Dave. 1997. Human Resouce Champions. Boston: Harvard Business School Press.
Wright