Laman

MODEL PENGEMBANGAN MODAL INTELEKTUAL DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN KBK PADA JURUSAN ADMINISTRSI NIAGA POLITEKNIK NEGERI SEMARANG


MODEL PENGEMBANGAN MODAL INTELEKTUAL
DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN KBK PADA JURUSAN ADMINISTRSI NIAGA
POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

Budi Prasetya
Karnowohadi
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang



ABSTRACT
The objective of this research was to define intelectual capital  development model in empowering teacher’s specialities group/KBK at Business Administration Department  in relation with achievement of its competitive advantage. The research variables were: human capital, organizational capital, and relational capital. The analysis instruments were: descriptive analysis and performance-importance analysis. It was found that: there were some aspects of intelectual capital that should be highly developed. They are: leadership, cohecssion,  learning and experiment.
Key words :   intelectual capital, KBK, Business Administration Department.

PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pusat perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini didasarkan atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan/knowledge-intensive organizations  (Bounfour 2005). Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin  pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya.
Pada tataran mikroorganisasi, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi pengembangan organisasi.  Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tan-wujud (intangible assets). Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya.

Dalam wacana pencarian cara/strategi  untuk unggul, maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis.
Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi (organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual. Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya penelitian  mengenai modal intelektual.  Terkait dengan hal tersebut, Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang sebagi sebuah Jurusan  dalam perguruan tinggi  vokasi yang didalamnya memiliki banyak knowledge worker (dosen) dan potensi serta aktivitas intelektual  sudah selayaknya mengetahui dan mengembangkan keunggulan sumber daya (manusia dan organisasi) yang dimilikinya dalam meraih keunggulan kompetitifnya melalui pemberdayaan kelompok bidang keahlian dosen-dosen yang dimilikinya. Pada saat sekarang Jurusan AN memiliki beberapa KBK diantarnya: manajemen, komuniksi, bahasa, bisnis, komputasi, bisnis dan administrasi/kesekretariatan. Permasalahnnya adalah secara empiris belum terlihat pola yang jelas terkait dengan strategi mengembangkan modal  intelektual yang dimiliki melalui KBK-KBK guna meraih keunggulan kompetitif jurusan. Dari 55 orang dosen  di Jurusan AN belum diidentifikasi kompetensi inti (core competence) mereka yang bernilai, bersifat jarang dimiliki, sulit ditiru dan sulit tergantikan oleh sumberdaya lain. Jurusan juga belum merumuskan arah dan strategi yang jelas dalam mengembangkan kepakarannya secara spesifik melalui KBK sesuai kebutuhan dan tuntutan pasar.  Kalaupun  kepakaran itu sudah secara sporadis dimiliki oleh para dosen,  lembaga jurusan belum mampu mengembangkan dan memanfaatkannya dalam meraih dan meningkatkan keunggulan kompetitif jurusan. KBK sekarang baru kelompok pengajar yang mengajar mata kuliah serumpun tetapi dalam aktivitasnya belumbanyak menyentuh aspek aspek substantial yang bernilai strategis dalam mengembangkan kepakaranya yang pada gilirannya bisa meningkatkan keunggulan kompetitif jurusan.  Oleh karena itu, penelitian  ini dibuat untuk mengetahui pemanfaatan sumberdaya organisasi dan  sumberdaya manusia yang bersifat strategis yang dikenal sebagai modal intelektual dan bagaimana upaya strategis  untuk mengembangkan modal intelektual melalui pemberdayaan dan pengembangan KBK guna meraih keunggulan kompetitif Jurusan Aministrasi Niaga. 

Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi oleh Jurusan Administrasi Niaga adalah belum diketahuinya kompetensi  inti sumberdaya manusia dan sumberdaya organisasi (modal intelektual)  pada Jurusan AN yang memiliki nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable), Selain itu Jurusan juga belum merumuskan strategi   bagaimana mengembangkan modal intelektual yang dimiliknya melalui pemberdayaan KBK untuk meraih keungulan kompetitif Jurusan AN Politeknik Negeri Semarang.
Secara spesifik masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah menjawab pertanyaan dasar sebagai berikut :
1.      Bagaimana kepemilikan dan pemanfaatan kompetensi inti sumberdaya manusia dan kapabilitas organisasi sebagai modal inetelktual di Jurusan Administrasi Niaga Polteknki Negeri Semarang
2.      Bagaimana kluster atribut atribut modal intelektual/intelectual capital yang memberikan sumbangan terbesar pada keunggulan kompetitif Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang
3.      Bagaimana model pengembangan modal intelktual/intelectual capital tersebut untuk meraih keunggulan kompetitif di Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Modal Intelektual.
Dalam konteks pengukuran investasi pengetahuan (knowledge investment), sebuah topik di bawah tema modal intelektual, Khan (2005) mengatakan bahwa belum ada definisi yang diterima bersama tentang investasi pengetahuan, walaupun mulai ada penyelarasan pemahaman tentangnya. Sebagaimana diungkapkan di atas, konsep modal intelektual kini mulai muncul sebagai konsep penting kehidupan dan pengembangan organisasi-organisasi dan kehidupan ekonomi yang lebih luas. Sebagai sebuah konsep, modal intelektual merujuk pada modal-modal non fisik atau yang tidak berwujud (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible) terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan.
Modal intelektual memiliki potensi memajukan organisasi dan masyarakat (Lonnqvist dan Mettanen, 2005). Secara ringkas Smedlund dan Poyhonen (2005) mewacanakan modal intelektual sebagai kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan transfer, dan mengimplementasikan pengetahuan. Tampak sebanding dengan itu, Nahapiet dan Ghoshal (1998) merujuknya sebagai knowledge dan knowing capability yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas sosial (misalnya organisasi, komunitas intelektual, komunitas profesi). Definisi ini digunakan mereka dengan pertimbangan kedekatannya dengan konsep modal manusia, salah satu unsur modal intelektual yang oleh Fitz-enz (2000) disebut sebagai katalisator yang mampu mengaktifkan intangibles, komponen lain yang inactive. Secara eksplisit, definisi ini terkesan tidak cukup memadai untuk menjelaskan secara empiris sampai sejauh mana cakupan makna intellectual capital, dalam kedua komponen. 
Modal manusia seperti dideskripsikan oleh Nahapiet dan Ghoshal (1998) adalah atribut-atribut kualitas populasi (manusia) yang diperoleh (acquired, vs. innate human abilities) yang diwariskan secara genetik, yang bernilai dan dapat ditingkatkan melalui investasi yang tepat. Diuraikan lebih jauh sebagai terdiri atas, 1) ciri-ciri pribadi yang dibawa ke dalam pekerjaan (seperti kecerdasan, energi, sikap positif, dapat dipercaya, berkomitmen), 2) kemampuan untuk belajar (ketrampilan, imajinasi, kreativitas, kelincahan berpikir dan bekerja, kapabilitas mengeksekusi), 3) motivasi untuk bberbagi  informasi dan pengetahuan tersebut, knowledge dan knowing capability. Namun, dalam penjelasannya, dibedakan dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan individual, baik yang eksplisit maupun yang tacit (automatic knowledge), serta pengetahuan sosial yang juga terdiri atas yang eksplisit (objectified knowledge) dan yang tacit (collective knowledge).

Komponen Modal Intelektual
Pembahasan tentang komponen-komponen modal intelektual sebetulnya merupakan bagian dari definisi atau cakupan konsep. Namun, dalam penelitian  ini, hal ini sengaja dipisahkan untuk mengurai unsur-unsur pembentuk modal intelektual ini sehingga relatif memudahkan untuk melihat kaitannya nanti dalam aspek pengukurannya. Lonnqvist dan Mettanen misalnya merujuk pada kerangka yang dipakai oleh Edvinsson dan Malone (1997). Edvinsson dan Malone memilahmoda intelektual  menjadi human, structural, dan customer capital. Guthrie and Petty ( 2000) menyebut komponennya adalah employee competence, internal structure, dan external structure. Makna setiap elemen hampir selaras, hanya sub komponen budaya  Human capital terdiri atas seluruh kemampuan, ketrampilan, dan pengalaman manusia pelaksana. Structural capital berisikan infrastruktur pendukung manusia seperti database dan paten. Sedangkan customer capital berisikan seluruh potensi terkait relasi dengan konsumen.
Sedangkan Brooking justru memecah menjadi 4 komponen, yakni human centered assets, infrastructural assets, intellectual property assets, serta market assets. Jika dicermati, tidak berbeda dari komponen-komponen Edvinsson dan Malone, kecuali bahwa komponen structural capital atau internal structure dipecah lagi oleh Brooking menjadi dua komponen yang terpisah. Aset aset infrastruktur termasuk di dalamnya adalah proses-proses, metode, dan teknologi. Sedangkan, properti intelektual berisikan hak cipta dan paten. Model Marr dkk pun sebetulnya tidak berbeda, walau dinamakan lain dan dikelompokkan menjadi 2 komponen besar yakni stakeholder resources (terdiri dari (external) stakeholder relationships dan human resources) dan structural resources (physical/tangible dan virtual/intangible).
Kerangka tambahan yang dapat diajukan yang cukup selaras adalah kerangkanya Pyke et al (2001) dan Fitz-enz (2000) . Menurut kedua sumber itu, modal intelektual tersusun atas 3 komponen, yakni 1) seluruh atribut human capital (seperti intelektual, skills, kreativitas, cara kerja), 2) organizational capital (property intelektual, data data proses-proses, budaya), dan 3) relational capital (seluruh relasi eksternal dengan konsumen, suppliers, partners, networks, regulators, dll). Keseluruhan hal itulah yang membentuk kesatuan entitas modal intelektual.

Pengukuran Modal Intelektual
Merujuk Fitz-enz (2000), para pengelola organisasi telah menerima bahwa oranglah, dan bukannya kas, bangunan, dan peralatan, yang merupakan faktor pembeda kinerja. Apalagi ketika kini kita memasuki masyarakat atau perekonomian berbasis pengetahuan, peran modal manusia dan komponen modal intelektual lainnya menjadi sangat critical. Karena nilai kontribusinya yang makin signifikan, maka diperlukan suatu sistem pengukuran yang handal untuk maksud mengukur untuk mengetahui di mana letak nilai  Human capital dalam konteks otganisasi dimaknai sebagai pengetahuan, pendidikan, dan kompetensi pegawai. Process capital adalah penyimpan pengetahuan non-manusia, yakni dalam sistem ICT. Market capital adalah menyangkut kemampuan suatu organisassi membangun relasi-relasi domestiknya untuk menyediakan solusi yang atraktif dan kompetitif kepada clients eksternalnya (tergambar dalam aturan, dan jejaring sosial). Renewal capital adalah kapabilitas dan investasi untuk pembaruan dan pengembangan keunggulan bersaing, misalnya dalam aktivitas riset dan pengembangan, paten, publikasi ilmiah.(ekonomis) dan potensi-potensi sehingga dapat digunakan untuk mengelola modal intelektual bagi pertumbuhan. Namun, justru salah satu masalah penting yang dihadapi adalah bagaimana mengukur aset-aset tan wujud atau modal intelektual. Hal ini diduga demikian karena memang selama ini kita hidup dalam dan diwariskan oleh suatu rezim manajemen dan akuntansi yang mengabaikan modal intelektual sebagai asset organisasi.
Merujuk Khan (2005), pekerjaan mendefinisikan dan khususnya mengukur pengetahuan dan modal intelektual secara umum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru dan akan terus berkembang. Ia lebih jauh mengatakan, ada isu-isu konseptual yang belum tuntas  yang kemudian  Mulai terselesaikan seperti diungkapkan Pyke et al (2001). berdampak pada masalah pada level pengumpulan data dalam upaya pengukuran ini. Di samping itu, menurut Nakamura (2005), proses produksi untuk faktor intangible (intellectual capital) lebih beresiko, daripada tangible assets. Namun, walaupun sulit, sangat jelas seperti dikemukakan Fitz-enz (2000) dan Nakamura (2005), bahwa mengukur human capital atau intellectual capital adalah mungkin.Karena itu ada sejumlah sistem, pendekatan, atau pengukuran yang telah dikembangkan atau dapat digunakan, walaupun masih terdapat sejumlah persoalan dengan pengukuran-pengukuran itu. Secara cukup lengkap, Malhotra mencatat sejumlah pendekatan pengukuran itu, yakni Skandia Navigator (Edvinsson and Malone), Balanced Scorecard (BSC, Kaplan dan Norton), Intangible Assets Monitor (Sveiby), IC-Index Model and HVA Model (Roos et al.), Technology Broker Model (Brooking).
Metode-metode pengukuran yang ada dapat memunculkan hasil di mana suatu organisasi atau masyarakat berada pada kondisi modal intelektual yang tinggi ataupun rendah, sebuah kontinuum. Namun menarik bahwa secara eksplisit dalam konteks seperti, oleh North dan Kares (2005), diangkat dan diukur justru konsep atau kondisi pengabaian (ignorance), yakni kondisi kurangnya pengetahuan, pendidikan, dan informasi tentang  sesuatu atau ketidaksadaran (unawareness) akan sesuatu keadaan. Mereka menyebut pengukuran ini sebagai the ignorance meter.
Terdapat 10 pasang kriteria atau dimensi pengukuran kondisi ignorance vs.intelligence, yakni 1) autisme vs. openness, 2) blindness vs. vision, 3)followership vs. leadership, 4) disintegration vs. cohesion, 5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use of competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity, 9) lethargy vs. initiative, dan 10) no-risk vs.experimentation. Untuk mengukur ignorance North dan Kares menggunakan seperangkat kuesioner berisi 10 pertanyaan yang merefleksikan 10 kriteria di atas dengan jawaban berskala 1 (=not at all/not existent) hingga 7 (=very high).

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Secara spesifik, penelitian ini dimaksudkan untuk : 1) Mengidentifikasi kepemilikan dan pemanfaatan kompetensi inti sumberdaya manusia dan kapabilitas organisasi sebagai intelectual capital pada Jurusan AN Politeknik Negeri Semarang 2) Menganalisis  kluster atribut atribut intelectual capital dalam sumbangannya  terhadap keunggulan kompetitif Jurusan AN Politeknik Negeri Semarang 3) Menentukan model pengembangan intelectual capital  dalam upaya memberdayakan KBK pada Jurusan AN untuk meraih keunggulan kompetitifnya

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian  dilaksanakan  pada  Jurusan AN Politeknik Negeri Semarang dengan subjek  penelitian  adalah  dosen. Dengan demikian sebagai populasi penelitian ini adalah semua dosen di lingkungan Jurusan AN Polines.

Sampel  Penelitian
Dengan pertimbangan bahwa jumlah populasi relatif kecil dan bersifat homogen maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30  orang yang dipilih secara random  dengan pertimbangan jumlah sampel sudah memenuhi ketentuan distribusi normal (Singarimbun 1986 ).

Pengumpulan Data
1)      Pengumpulan data dilakukan melalui survey dengan menggunakan questionaire dan  studi  dokumentasi  dengan  menggunakan  alat  berupa  pertanyaan/ kuesioner dan pedoman studi dokumentasi. 
2)      Pada  tahap  pengembangan  model  dilakukan  melalui  kajian kualitatif   untuk menghasilkan model terbaik berdasar data data statistik yang dilakukan pada tahap pendahuluan.

Analisis Data
  1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah modal intelektual yang bisa diartikan sebagai : kompetensi inti dan kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan transfer, dan mengimplementasikan pengetahuan. Indikator variabel ini  ini merujuk pada konsep seperti yang dikembangkan oleh Pyke et al (2001) dan Fitz-enz (2000) dimana modal intelektual tersusun atas 3 komponen, yaitu :
1)      human capital (seperti intelektual, skills, kreativitas, cara kerja),
2)      organizational capital (property intelektual, data tentang proses-proses, budaya),
3)      relational capital (seluruh relasi eksternal dengan konsumen, suppliers, partners, networks, regulators, dll).

  1. Alat Pengukuran
Pengukuran terhadap indikator tersebut mengunakan metode pengukuran yang disebut sebagai the ignorance meter. Terdapat 10 pasang kriteria atau dimensi pengukuran kondisi ignorance vs.intelligence, yang menjadi variabel penelitian ini yakni : 1) autisme vs. openness, 2) blindness vs. vision, 3) followership vs. leadership,4) disintegration vs. cohesion,  5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use of competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity,9) lethargy vs. initiative,  10 ) no-risk vs.experimentation.

Untuk mengukur ignorance menurut North dan Kares menggunakan seperangkat kuesioner berisi 10 pertanyaan yang merefleksikan 10 kriteria di atas dengan jawaban berskala 1 (=not at all/not existent) hingga 7 (=very high).

c.       Alat Analisis
1.      Clustering  dilakukan dengan menggunakan ignorance – intelligence analysis dan mean analysis. Analisis ini dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dan kedua. Model diagram ignorance – intelligence seperti pada Gambar 1.
Setiap sel akan diisi nilai rata-rata (mean) dari hasil analisis yang telah dilakukan dengan mean analysis. Dengan diagram di atas dapat dihasilkan kecenderungan SDM lebih kearah mengabaikan atau memperhatikan secara cerdas terhadap human capital, organizational capital, serta relational capital.


Gambar 1
Ignorance – Intelligence Diagram

Ignorance
Intelligence
Human Capital


Organizational Capital


Relational Capital




2.      Alat analisis yang digunakan untuk menentukan model pengembangan intelectual capital dalam meraih keunggulan kompetitif Jurusan adalah performance-importance analysis. Analisis ini digunakan untuk melihat keberbedaan antara kondisi terkini yang disediakan (performance) dibandingkan dengan kondisi yang diharapkan (importance) oleh stakeholder. Dari hasil analisis performance-importance analysis, akan terlihat perbandingan gap antar semua variable yang dianalisis. Masing-masing variable akan diurutkan secara descending berdasarkan nilai gap yang terjadi. Dengan analisis ini akan dihasilkan pula posisi masing-masing variable berdasarkan pada pembagian kuadran performance-importance diagram.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengumpilkan data telah dibagia  kues sebanyak 40 buah. Dari Jumlah kues yang telah disebar kembali 30 buah kues  yang siap diolah. Dari 10 variabel penelitian bisa dikelompokkan pad 3 variabel besar yang menggambarkan keseluruhan aspek penelitian. Ketiga kelompok variabel tersebut adalah : human capital , organizational capital dan relational capital. Hasil analisis deskriptif  ketiga variabel menghasilkan informasi seperti digambarkpan pada pada tabel di bawah ini.


Tabel 1.
Nilai Mean Teori dan Empiris


Teori
Empiris

N
Min
Max
Mean
Min
Max
Mean
Human Capital
30
1
7
4
 2.25
 7.00
 4.58
Organizational Capital
30
1
7
4
 2.33
 7.00
 4.56
Relational Capital
30
1
7
4
 2.33
 6.00
 4.69
            Sumber : Data primer yang diolah 2011


Nilai minimum setiap komponen secara teoritis adalah 1 dengan nilai maksimum sebesar 7 dan rata-rata nilai teoritis bernilai 4. Sedangkan secara empiris nilai tersebut berbeda-beda. Untuk komponen Human Capital, nilai minimum dimensi pengukuran ignorance – intelligence adalah 2,25 dengan nilai maksimumnya 7 dan rata-rata sebesar 4,58. Untuk komponen Organizational Capital, nilai minimum dimensi pengukuran ignorance – intelligence adalah 2,33 dengan nilai maksimumnya 7 dan rata-rata sebesar 4,56. Untuk komponen Relational Capital, nilai minimum dimensi pengukuran ignorance – intelligence adalah 2,33 dengan nilai maksimumnya 6 dan rata-rata sebesar 4,69.
Perbedaan nilai minimum antara teori dengan empiris menunjukkan bahwa para responden memberikan penilaian pada setiap komponen pernyataan dengan standar nilai yang lebih baik, yakni di atas 2. Pada sisi yang lain, untuk penilaian komponen Relational Capital para responden tidak ada yang memberikan nilai maksimum seperti nilai maksimum teori (yakni 7).
Nilai yang diperoleh secara empiris menunjukkan bahwa nilai rata-rata setiap komponen lebih besar jika dibandingkan dengan nilai rata-rata teori. Hal ini menunjukkan bahwa para responden memiliki kecenderungan berpandangan positif terhadap setiap komponen berkaitan dengan pencapaian keunggulan kompetitif, baik dari sisi Human Capital, Organizational Capital, maupun Relational Capital. Kecenderungan paling tinggi pada komponen Relational Capital. Kondisi ini berarti bahwa para responden melihat keunggulan kompetitif suatu lembaga, dalam hal ini adalah Politeknik Negeri Semarang, salah satu pendorongnya adalah jalinan hubungan (networking) dengan pihak lain yang terkait (relational capital).
Pada setiap komponen diukur dengan menggunakan range ignorance – intelligence dalam 10 unsur, yaitu : 1) autisme vs. openness, 2) blindness vs. vision, 3) followership vs. leadership,4) disintegration vs. cohesion,  5) vanity vs. selfreflection,6) abuse vs. use of competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity,9) lethargy vs. initiative,  10 ) no-risk vs.experimentation
Nilai hasil analisis akan menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai yang diberikan responden berarti semakin cenderung pada intelligence dan sebaliknya semakin rendah nilainya berarti semakin cenderung ignorance. Sebagai contoh pada unsur pertama (autism vs. Openness), semakin tinggi nilai berarti semakin cenderung openness, sebaliknya semakin rendah nilai berarti semakin cenderung autism.


Tabel 2.
Nilai Mean Teori dan Empiris Tiap Unsur


Teori
Empiris

N
Min
Max
Mean
Min
Max
Mean
Autism vs. Openness
30
1
7
4
 3.00
 6.00
 5.07
Blindness vs. Vision
30
1
7
4
 3.00
 6.00
 4.72
Followership vs. Leadership
30
1
7
4
 3.00
 6.33
 4.39
Disintegration vs. Cohession
30
1
7
4
 2.67
 6.00
 4.52
Vanity vs. Self Reflection
30
1
7
4
 3.00
 7.00
 4.76
Abuse vs. Use of Competencies
30
1
7
4
 2.00
 6.67
 4.67
Regression vs. Learning
30
1
7
4
 2.67
 7.00
 4.64
Disruption vs. Connectivity
30
1
7
4
 3.67
 6.00
 4.98
Lethargy vs. Initiative
30
1
7
4
 3.00
 6.00
 4.62
No Risk vs. Experimentation
30
1
7
4
 3.00
 6.67
 4.51
         Sumber : Data primer yang diolah 2011


Tabel di atas menunjukkan bahwa setiap unsur pembentuk human, organizational, maupun relational capital memiliki nilai rata-rata tinggi yang berarti terdapat kecenderungan ke arah intelligence. Potensi paling tinggi pembentuk keunggulan kompetetif menurut responden adalah keterbukaan (openness). Secara logika dapat dijelaskan bahwa semakin terbuka dan transparan maka akan meningkatkan tingkat kepercayaan pihak lain yang terkait dengan lembaga (jurusan dan Politeknik Negeri Semarang). Dengan demikian lembaga akan lebih mudah mencapai keunggulan kompetitif.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai rata-rata komponen Human Capital adalah sebesar 4,58. Dari sepuluh unsur di atas, terdapat 2 unsur yang cenderung ignorance, yaitu Followership vs Leadership dan No Risk vs. Experimentation. Hal ini berarti bahwa para responden lebih cenderung untuk memilih bersikap followership dan tidak mau ambil resiko dalam mencapai keunggulan kompetitif. Namun demikian 8 unsur lainnya memperlihatkan kecenderungan intelligence. Kondisi ini menunjukkan bahwa responden lebih memilih unsur-unsur keterbukaan, visi ke depan yang jelas, kerjasama, citra positif, peningkatan kompetensi, peningkatan belajar, konektiviti, dan inisiatif untuk mendukung pencapaian keunggulan kompetitif yang diharapkan. Nilai rata-rata komponen Human Capital (4,58) jika dibandingkan dengan rata-rata nilai unsur yang cenderung ignorance (4,40) dan cenderung intelligence (4,80), menunjukkan bahwa ditinjau dari sisi individu, untuk mencapai keunggulan kompetitif, responden memiliki pendapat yang berbeda (sebagian mengarah ignorance dan sebagian mengarah ke intelligence).



Gambar 2.
Ignorance – Intelligence Diagram

Ignorance
Intelligence
Human Capital
Oval: 4,584,40
(LE, EXP)
4,80
(OP, VI, CH, RE, CP, LR, CN, INT)
Organizational Capital
Oval: 4,564,55
(LE, CH, CP, INT, EXP)
4,79
(OP, VI, RE, LR, CN)
Relational Capital
Oval: 4,594,51
(LE, CH, LR, INT, EXP)
4,87
(OP, VI, RE, CP, CN)


Rata-rata nilai komponen Organizational Capital sebesar 4,56 yang meliputi 10 unsur penilaian. Dari sepuluh unsur yang dinilai, masing-masing imbang jumlah unsur yang cenderung ignorance maupun cenderung intelligence. Unsur-unsur yang cenderung ignorance berjumlah 5 unsur, yaitu Followership vs Leadership, Disintegration vs. Cohession, Abuse vs. Use of Competencies, Lethargy vs. Initiative, dan No Risk vs. Experimentation. Sedangkan 5 unsur lainnya cenderung pada intelligence, yaitu Autism vs. Opennes, Blindness vs. Vision, Vanity vs. Self Refection, Regression vs. Learning, dan Disruption vs. Connectivity. Kecenderungan ke arah ignorance sebesar 4,55 sedangkan nilai kecenderungan ke arah intelligence sebesar 4,79. Dari kedua nilai rata-rata tersebut jika dibandingkan dengan nilai rata-rata Organizational Capital (4,56) memiliki arti bahwa kecenderungan responden (ditinjau dari sisi kelembagaan) lebih pada intelligence dimana terdapat arah positif untuk mencapai keunggulan kompetitif yang diharapkan.
Komponen Relation Capital memiliki nilai rata-rata sebesar 4,69 dengan komposisi sebanyak 5 unsur cenderung ignorance dan 5 unsur cenderung intelligence. Lima unsur  yang cenderung ignorance adalah unsur Followership vs Leadership, Disintegration vs. Cohession, Regression vs. Learning, Lethargy vs. Initiative, dan No Risk vs. Experimentation., Sedangkan 5 unsur lainnya cenderung pada intelligence, yaitu Autism vs. Opennes, Blindness vs. Vision, Vanity vs. Self Refection, Abuse vs. Use of Competencies dan Disruption vs. Connectivity. Kecenderungan ke arah ignorance sebesar 4,51 sedangkan nilai kecenderungan ke arah intelligence sebesar 4,87. Dari kedua nilai rata-rata tersebut jika dibandingkan dengan nilai rata-rata Relational Capital (4,69) memiliki arti bahwa kecenderungan responden (ditinjau dari sisi hubungan dengan pihak lain/relasi) seimbang antara yang cenderung condong ke arah kiri maupun yang cenderung ke arah kanan.


Gambar 3.
PERFORMANCE – IMPORTANCE DIAGRAM
KOMPONEN INTELEKTUAL  CAPITAL
Importance
 

Performance
                                                                        4,70

Hasil analisis Performance – Importance untuk Human Capital, Organizational Capital, dan Relational Capital diperoleh hasil yang sama, yaitu didapatkan bahwa terdapat beberapa unsur yang berada di kuadran 1 (yakni Cp1, Cp3, Lr1, dan Int1), yang berada di kuadran 2 (yakni Op1, Op2, Op3, Vi1, Vi2, Re1, Re3, Cn1, Cn2, dan Cn3), di kuadran 3 (yakni Le1, Le2, Le3, Ch1, Ch2, Ch3, Cp2, Lr1, Lr3, Int2, Int3, Exp1, Exp2, dan Exp3), yang berada di kuadran 4 (yakni Vi3, dan Re2). Kondisi ini menunjukkan bahwa unsur yang berada di kuadran 1 perlu dijaga stabilitasnya (jika memungkinkan ditingkatkan), sedangkan yang harus mendapat perhatian adalah pada unsur yang berada di kuadran 4 karena unsur-unsur tersebut dianggap penting tetapi kondisi saat ini kurang begitu diperhatikan.

IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Dari hasil analisis diatas, ditemukan aspek aspek berikut yang berada di kuadran 3 dimana kinerja dari aspek berikut masih dirasakan rendah sedangkan tingkat kepentingannya dirasakan tinggi oleh responden; oleh karena itu aspek tersebut berikut ini perlu mendapat perhatian lebih dari manajemen jurusan / prodi dalam memanfaatkan dan mengembangkan modal intelektual yang dimiliki oleh jurusan / prodi .
Aspek aspek yang perlu mendapat fokus perhatian dalam pengembangannya adalah sebagai berikut  :
a.       Kepemimpinan/leadership: Jurusan perlu mengambil peran secara aktif dalam mengembangkan produk produk baru yang inovatif di bidang akademis, Jurusan perlu menunjukkan diri sebagai pemimpin  dibanding jurusan yang sama pada Politeknik lain di Indonnesia, Jurusan menjadi kelompok yang terkemuka  dalam hal kualitas dibanding dengan jurusan yang sama padaPoliteknik lain di Indonesia
b.      Kohesivitas antar dosen : Semua  dosen dan laboran perlu menunjukkan usaha yang searah  dan terintegrasi  dalam upaya meningkatkan kualitas lembaga , Semua staff harus memiliki ikatan yang kuat yang mampu mendorong pencapaian visi misi jurusan secara efektif dan efisien, Jurusan perlu mengintegrasikan seluruh potensi dan modal yang dimiliki ( modal manusia , organisasi dan relasi ) dalam mengembangkan lembaga Jurusan , Jurusan perlu mengembangkan kompetensi dosen secara spesifik dan mendalam menuju suatu kepakaran tertentu
c.       Proses Pembelajaran : Jurusan perlu menggunakan penglaman masa lalu  dalam meningkatkan kualitas lembaga dan kualitas layanannya , Jurusan perlu mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam menjalankan proses bisnisnya / akade misnya di semua lini, Dosen perlu mengambil inisiatif mandiri dalam mmenentukan dan melaksanakan program program pengembangan diri dosen melalui KBK yang ada , Dosen didorong memiliki inisiatif aktif membentuk kajian kajian keilmuandan teknologi dengan wadah  KBK yang ada di Jurusan ,
d.      Experimentasi : Melalui KBK  Dosen diidorong gemar melakukan suatu eksperimen baru terkait dengan model belajar / mengajar dalam rangka peningkatan kualitas PBM., Jurusan mendorong dan memberikan ruang yang memadai bagi dosen dan KBK melakukan eksperimentasi terkait peningkatan kualitas PBM dan layanan pada mahasiswa , Jurusan menerima dan menghargai segala bentuk usulan perubahan dan usaha peningkatan kualitasa dari dosen / KBK dalam rangka meningkatkan kualtas pembelajaran dan layanan pada mahasiswa

Selain itu aspek berikut juga masih perlu dikembangkan karena kinerjanya juga masih rendah meskipun tingkay kepentingannya rendah.
a.       Dosen dan  staff administrasi didorong  menunjukkan komitmen yang tinggi dalam usaha mencapai visi yang telah ditetapkan
b.      Jurusan perlu menunjukkan citra positif yang membuat dosen bangga menjadi sivitas akademika Jurusan AN.

KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.       Pada aspek human capital Responden memiliki kecenderungan memilih unsur-unsur keterbukaan, visi ke depan yang jelas, kerjasama, citra positif lembaga, peningkatan kompetensi dosen, peningkatan proses pembelajaran, konektiviti, dan inisiatif untuk mendukung pencapaian keunggulan kompetitif yang diharapkan.
b.      Pada spek organizational capital responden memiliki kecenderungan untuk bersifat terbuka /Opennes, visi lembaga, refleksi diri,aspek pembelajran, dan konektivitas perlu diraih untuk mengembangkan daya saing kompetitif lembaga.
c.       Pada aspek relational capital kecenderungan responden (ditinjau dari sisi hubungan dengan pihak lain/relasi) seimbang antara yang cenderung condong ke arah kiri/ ignorance  maupun yang cenderung ke arah kanan inteligence.
d.      Terdapat beberapa aspek modal intelektual yang perlu mendapat perhatian serius jurusan guna pengembangan KBK, yaitu: aspek leadership, kohesivitas, proses pembelajaran dan keberaniaan bereksperimentasi

DAFTAR PUSTAKA
Aubert, Jean-Eric. 2005. Knowledge Economies: A Global Perspective. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Barney, Jay B. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management vol 17 no 1, pp. 99-120.

Barney, Jay B. 2001. Resource-based Theories of Competitive Advantage: A Ten Year Retrospective on the Resource-based View. Journal of Management vol 27, pp. 643-650.

Barney, Jay B. 2007. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. US:Pearson Prentice Hall.

Bontis, Nick. 2005. National Intellectual Capital Index: The Benchmarking of Arab Countries.

Boudreau, John W. and Peter M. Ramstad. 1996. Measuring Intellectual Capital: Learning from Financial History. School of Industrial and Labor Relations, Cornell University,

Boudreau, John W. and Peter M. Ramstad. 2007. Beyond HR: The New Science of Human Capital. Boston: Harvard Business School Press.

Bounfour, Ahmed and Leif Edvinsson. 2005. Intellectual Capital for Communities Nations, Regions, Cities. Oxford: Elsevier.

Danish Reseach Unit for Industrial Dynamics (DRUID) Working Paper No. 96-1.Malhotra, Yogesh. 2003. Measuring Knowledge Assets of a Nation: Knowledge Systems for Development. A research paper delivered at the UN Advisory Meeting of the Dept of Economic and Social Affairs. UN Headquarters, New York, 4-5 September 2003.

Drucker, Peter F. 1997. Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Drucker, Peter F. 2001. The Essential Drucker. New York: Harper Collins. Fitz-enz, Jac. 2000. The ROI of Human Capital: Measuring the Economic Value of Employee Performance. New York: AMACOM.

Guthrie, James and Richard Petty. 2000. Intellectual Capital: Australian Annual Reporting Practices. Journal of Intellectual Capital Vol 1 No 3, 241-251.

Khan, Mosahid. 2005. Estimating the Level of Investment in Knowledge Across the OECD Countries. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Lewin, Peter and Steven E. Phelan. 1999. Rent and Resources: A Market Process Perspective. An unpublished draft of report. Dallas, Texas: University of Texas.

Lonnqvist, Antti and Paula Mettane. 2005. Criteria of Sound Intellectual Capital Measures. Finland: Institute of Industrial Managemtn, Tampere University of Technology. Lundvall, Bengt-Ake. 1996. The Social Dimension of the Learning Economy.

Mauritsen, J., H.T. Larsen, and P.N.D. Bukh. 2001. Intellectual Capital and the Capable Firm: Narrating, Visualising and Numbering for Managing Knowledge. Accounting, Organization and Society. No 7/8.

Nahapiet, Janine and Sumantra Ghoshal. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and the Organizational Advantage. Academy of Management Review Vol 23 No 2, 242-266.

Nakamura, Leonard. 2005. Investing in Intangibles: Is a Trillion Dollars Missing from the Gross Domestic Product? Dalam Bounfour and Edvinsson. North, Klaus and Stefanie Kares. 2005. Ragusa or How to Measure Ignorance: The Ignorance Meter. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Patrick M., Gary C. McMahan, and Abagail McWilliams. 1994. Human Resources and Sustained Competitive Advantage: A Resource-based Perspective. International Journal of Human Resource Management Vol 5 No

Pfeffer, Jeffrey. 1996. Keunggulan Bersaing Melalui Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.

Pyke, Steve, Anna Rylander, and Goran Roos. 2001. Intellectual Capital Management and Disclosure. Chapter Submitted to Nick Bontis and Chun Wei Choo. The Strategic Management of Intellectual Capital and OrganizationalKnowledge. New York: Oxford University Press.

Smedlund, Anssi and Aino Poynonen. 2005. Intellectual Capital Creation in Regions: A Knowledge System Approach. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Ulrich, Dave. 1997. Human Resouce Champions. Boston: Harvard Business School Press. Wright