PENGARUH
UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP
PRAKTEK
PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN
PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR GO PUBLIK
Achmad Zaenuddin
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
The
tendency toward social and environmental consciousness leads an attitude from
profit oriented into social orientation.
Management as an agent, could not avoid the fact of company activity, whose
impact is not only generating profit and increasing share price but also bringing
about social impact such as ecological destruction, pollution and social
deseases like discrimination and crime of which are company social
responsibility.
The
study objective is to analyze the effect of corporate size toward social and
environmental disclosure in annual reports of companies in Indonesia. The disclosure themes included are: environment, energy, product/consumer,
employee (health and safety) and general.
The sample of these study are 60 go public manufacturing companies in
Jakarta Stock Exchange that have announced annual reports for 2005. The data analysis used is multiple regression
analysis.
The
results show that the corporate size (net sales) has no affect on the social
and environmental disclosure.
Keyword: social and environmental disclosure, sales
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Pada dekade terakhir
ini pertumbuhan kesadaran publik terhadap peran perusahaan di masyarakat
semakin meningkat. Banyak perusahaan yang dianggap telah memberi kontribusi
bagi kemajuan ekonomi dan teknologi, tetapi perusahaan tersebut mendapat kritik
karena telah menciptakan masalah sosial. Polusi, penipisan sumber daya,
pemborosan, kualitas dan keamanan produk, hak dan status pekerja dan kekuatan
dari perusahaan besar merupakan isu-isu yang semakin menjadi perhatian (Gray,
R, Owen,D, dan Maunders, K, 1987).
Tekanan dari berbagai
pihak membuat sektor swasta menerima tanggung jawab terhadap masyarakat atas
pengaruh aktivitas bisnis. Perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada
pemegang saham dan kreditur, tetapi juga diharuskan bertanggung jawab kepada
masyarakat yang lebih luas. Doktrin Friedman (1962) dalam Hackston dan Milne
(1996) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dari unit bisnis hanyalah
memaksimumkan laba tidak bisa diterima secara universal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat kesadaran yang makin meningkat pada sebagian
eksekutif perusahaan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk membantu
masyarakat, meskipun hal itu dapat mengurangi laba (Holmes, 1976; Ostlund, 1977
dalam Hackston dan Milne (1996)).
Pertumbuhan kesadaran tanggung jawab
sosial perusahaan mengakibatkan adanya kritik terhadap penggunaan laba sebagai
satu-satunya alat ukur kinerja perusahaan. Sebagai respon, beberapa institusi
akuntansi utama (AICPA, NAA, ICAEW) mulai memikirkan akuntansi sosial
perusahaan pada pertengahan tahun 1970 (Ramanathan,1976 dalam Hackston dan
Milne (1996)). Peneliti akuntansi telah mulai mengartikulasikan perspektif
teori yang berbeda untuk mendukung akuntansi sosial perusahaan yang terdiri
dari teori legitimasi, teori ekonomi politik akuntansi dan teori stakeholder
(Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray et al., 1987,1988,1995a; Guthrie
dan Parker, 1990; Pattern, 1991, 1992; Roberts, 1992). Meskipun demikian,
sampai saat ini masih belum ada kerangka teoritis dan akuntansi sosial
perusahaan yang bisa diterima secara universal (Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray
et al., 1995a; Guthrie dan Mathews,
1985). Meskipun terdapat kekurangan konsensus pada profesi akuntansi dan literatur
akuntansi teoritis tentang mengapa perusahaan mengungkapkan akuntansi
pertanggungjawaban sosial, tetapi terdapat peningkatan jumlah perusahaan yang
secara sukarela mengungkapkan aktivitas pertanggungjawaban sosial pada laporan
tahunan mereka.
Pengungkapan sosial perusahaan
didefinisikan sebagai ketentuan dari informasi keuangan dan non keuangan yang
berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan sosial dan fisiknya
sebagaimana yang dinyatakan dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan sosial
yang terpisah (Guthrie dan Mathews, 1985). Pengungkapan sosial mencakup detail
tentang lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk dan masalah
keterlibatan masyarakat.
Laporan tahunan perusahaan terdiri dari
pengungkapan wajib (mandatory disclosure)
dan pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure). Pengungkapan sukarela muncul karena adanya kesadaran
masyarakat akan lingkungan sekitar, keberhasilan perusahaan tidak pada laba
semata tetapi juga ditentukan dengan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat
di sekitar perusahaan.
Pelaporan non keuangan ini secara umum
telah diakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Dalam
PSAK No. 1 (revisi 1998) paragraf sembilan tentang Penyajian Laporan Keuangan
dinyatakan bahwa “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti
laporan mengenai lingkungan hidup, laporan nilai tambah, khususnya bagi
industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting bagi
industri”. Pernyataan di atas secara jelas menyebutkan bahwa perusahaan
bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya, terutama perusahaan industri
yang menghasilkan limbah yang apabila tidak diolah secara benar akan mencemari
lingkungan sekitar.
Sampai saat ini kebanyakan penelitian
empiris menyajikan gambaran dasar darimana pola pengungkapan itu muncul. Penelitian lebih lanjut juga menemukan
hubungan antara beberapa karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial
perusahaan.
Beberapa penelitian empiris tentang
praktek pengungkapan sosial perusahaan banyak berfokus di Amerika Serikat,
Inggris, Australia dan sedikit penelitian telah dilakukan di negara-negara lain
seperti Kanada, Jerman, Jepang, New Zealand, Malaysia, dan Singapura. Guthrie dan Parker (1990) yang memberikan
bukti survey empiris yang lebih baru. Gray et al. (1987, 1995a) memberikan
bukti survey empiris di lnggris, kemudian penelitian selanjutnya yang mencakup
tiap tahun mulai dari 1979 sampai dengan 1991. Penelitian di Australia Guthrie
(1983). Penelitian yang dilakukan oleh Davey (1982), Ng (1985) serta Hackston
dan Milne (1996) telah memberikan beberapa gambaran bahwa ukuran perusahaan (company size) mempengaruhi pengungkapan
sosial perusahaan di New Zealand. Penelitian
Guthrie dan Parker (1990) dan Gray et al. (1995a) menggambarkan suatu perbedaan
penting antara pengungkapan sukarela dan pengungkapan yang diwajibkan
undang-undang. Di Indonesia, tidak ada pengungkapan sosial yang diwajibkan o1eh
undang-undang, sehingga tidak ada ketentuan untuk membuat perbedaan antara
sukarela dan wajib dalam instrumen interogasi. Semua pengungkapan yang
diklasifikasikan dianggap sebagai pengungkapan sukarela.
Penelitian mengenai pengaruh karakteristik
perusahaan, ukuran perusahaan, tipe industri dan profitabilitas terhadap
pengungkapan sosial perusahaan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, misalnya
Belkoui dan Karpiks, 1989; Cowen et. al., 1987; Kelly, 1981; Pattern, 1981;
Davey, 1882.; Ng , 1985; Hackston dan Milne, 1996. Penelitian ini didasari oleh
penelitian Hackston dan Milne (1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengungkapan sosial perusahaan yang berbeda-beda di Amerika Serikat, Inggris,
Australia, Jepang, Malaysia dan Singapura. Penelitian empiris tentang praktek
pengungkapan sosial perusahaan sebagian besar dilakukan di negara-negara maju
daripada di negara berkembang. Hasil penelitian di negara maju tidak bisa
disamakan dengan di negara berkembang. Hal-hal diatas mendorong peneliti melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan di Indonesia.
Adanya perbedaan hasil-hasil penelitian tentang
pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan, misalnya penelitian Robert (1992) menyatakan ukuran perusahaan
tidak berpengaruh sedangkan tipe industri dan profitabilitas berpengaruh
terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Pernyataan diatas berbeda dengan
penelitian Hackston dan Milne (1996) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan
dan tipe industri mempengaruhi sedangkan profitabilitas tidak mempengaruhi
pengungkapan sosial perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah: Apakah ukuran perusahaan mempengaruhi pengungkapan sosial
dan lingkungan yang merupakan
pengungkapan sukarela di Indonesia.
Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi
item pengungkapan
sosial dan lingkungan, mengetahui dan menguji pengaruh ukuran perusahaan
terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan.
Adapun manfaat yang diharapkan
adalah dapat memberikan gambaran kepada perusahaan pentingnya praktek pengungkapan sosial
dan lingkungan, memberikan kontribusi pengembangan pengungkapan sukarela khususnya
pengungkapan sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan dan menyajikan suatu gambaran yang up to date tentang praktek pengungkapan
sosial perusahaan di Indonesia, dan menguji salah satu penentu potensial dari
pengungkapan sosial dan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan di
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Pengungkapan
Sosial dan Lingkungan
Beberapa teori menurut Gray et. al., (1996) yang digunakan untuk menjelaskan
kecenderungan pengungkapan sosial yaitu:
a.
Teori stakeholder
Stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang dapat
mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Organisasi
memiliki banyak stakeholder seperti karyawan, masyarakat, negara, supplier,
pasar modal, pesaing, badan industri, pemerintah asing dan lain-lain. Hal
pertama mengenai teori stakeholder
adalah bahwa stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada
pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling
mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk
kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model
akuntabilitas. Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan
sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena
itu organisasi memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya.
Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi.
Varian dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan
pandangan Trekers (1983) mengenai emprical
accountability. Teori stakeholder mungkin digunakan dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centered- way organization). Robert
(1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana
yang sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya.
b.
Teori
Legimitasi
Teori
legitimasi menyatakan bahwa suatu organisasi hanya bisa bertahan jika
masyarakat dimana dia berada merasa bahwa organisasi beroperasi berdasarkan
sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat.
Organisasi mungkin menghadapi ancaman terhadap legitimasinya. Lindblom (1994)
menyatakan bahwa suatu organisasi mungkin menerapkan empat strategi legitimasi
ketika menghadapi berbagai ancaman legimitasi. Oleh karena itu untuk menghadapi
kegagalan kinerja perusahaan (seperti kecelakaan yang serius atau skandal
keuangan), organisasi mungkin:
a.
Mencoba untuk mendidik stakeholdernya tentang
tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
b.
Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu
kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi).
c.
Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah yang
menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang
tidak berhubungan dengan kegagalan - kegagalan).
d.
Mencoba
untuk merubah ekspektasi eksternal tentang kinerjanya.
Teori
legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan yang penting terhadap praktek
pengungkapan sosial perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial
perusahaan bisa ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi yang
disarankan oleh Lindblom. Sebagai misal kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk
menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi dibandingkan dengan
elemen yang negatif.
c.
Teori ekonomi politik
Dua varian teori ekonomi politik: klasik (biasanya sebagian besar
berhubungan dengan Marx) dan Bourgeois (biasanya
sebagian besar berhubungan dengan John Stuart Mill dan ahli ekonomi berikutnya)
(Gray et. al., 1996). Perbedaan penting
antara keduanya terletak pada tingkat analisis pemecahan, yakni konflik
struktural dalam masyarakat. Ekonomi politik klasik meletakkan konflik
struktural, ketidakadilan dan peran negara pada analisis pokok. Sedangkan
Ekonomi politik Bourgeois cenderung
menganggap hal-hal tersebut merupakan suatu yang given dan oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak dimasukkan dalam
analisis. Hasilnya, Ekonomi politik Bourgeois
cenderung memperhatikan interaksi antar kelompok dalam suatu dunia
pluralistik (sebagai misal, negosiasi antara perusahaan dan kelompok penekan
masalah lingkungan, atau dengan pihak yang berwenang).
Ekonomi politik Bourgeois
bisa digunakan dengan baik untuk menjelaskan tentang praktek pengungkapan
sosial. Sedangkan Ekonomi politik Klasik hanya sedikit menjelaskan praktek pengungkapan sosial perusahaan,
mempertahankan bahwa pengungkapan sosial perusahaan dihasilkan secara sukarela.
Ekonomi politik Klasik memiliki pengetahuan tentang aturan pengungkapan
wajib, dalam hal ini biasanya negara telah memilih untuk menentukan beberapa
pembatasan terhadap organisasi. Ekonomi politik klasik akan menginterpretasikan
hal ini sebagai bukti bahwa negara bertindak "seakan-akan" atas
kepentingan kelompok yang tidak diuntungkan (sebagai misal, orang yang tidak
mampu, ras minoritas) untuk menjaga legitimasi sistem kapitalis secara
keseluruhan (Gray et. al., 1996)
Ukuran Perusahaan
Hubungan
antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan telah
ditunjukkan dalam beberapa penelitian empiris (sebagai misal, Belkaoui dan
Karpik, 1989; Cowen et. al., 1987;
Kelly, 1981; Ng, 1981; Patten 1991, 1992; Trotman dan Bradley, 1981). Teori legitimasi memiliki alasan tentang
hubungan ukuran dan pengungkapan. Perusahaan yang lebih besar melakukan
aktivitas yang lebih banyak sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap masyarakat, memilik lebih banyak pemegang saham yang punya perhatian
terhadap program sosial yang dilakukan perusahaan dan laporan tahunan merupakan
alat yang efisien untuk mengkomunikasikan informasi ini (Cowen et. Al., 1987). Meskipun demikian,
tidak semua penelitian mendukung hubungan ukuran-pengungkapan. Penelitian
Robert (1992) di Amerika Serikat menemukan tidak ada hubungan antara ukuran
perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Davey (1982) dan
Ng (1985) di New Zeland gagal untuk mendukung hubungan ukuran perusahaan dan
praktek pengungkapan sosial perusahaan yang telah dihipotesiskan. Guthrie dan
Mathews menyatakan bahwa hasil Davey (1982) dan Ng (1985) yang demikian itu
disebabkan oleh kecilnya sampel yang digunakan. Penelitian Hackston dan Milne (1996) di New Zealand berhasil untuk mendukung
pengaruh ukuran perusahaan dan praktek pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan di New Zealand. Penelitian ini menguji pengaruh ukuran perusahaan
terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di Indonesia
Kerangka Pemikiran Teoritis
Dari uraian teoritis, dapat
dibangun suatu model teori untuk sebagai berikut :
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Hipotesis
Dari
kerangka pemikiran teoritis diatas maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ukuran perusahaan berpengaruh positif secara
signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber
Data
Penelitian
ini menggunakan data sekunder yang berasal dari perusahaan di Bursa Efek Jakarta
pada tahun 2005. Data yang digunakan adalah laporan tahunan 2005 yang
dipublikasikan pada awal 2006. Alasan dipilihnya periode waktu tersebut karena
laporan tahunan 2005 merupakan data terbaru yang bisa diperoleh di Pusat
Referensi Pasar Modal di Bursa Efek Jakarta.
Populasi dan
Sampel
Sesuai dengan
tujuan penelitian, maka populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur
yang listing di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2005.
Sampel diambil dengan rumus dengan kriteria kelayakan sampel yang
digunakan sebagai berikut:
a. Perusahaan manufaktur yang telah listing minimal selama tiga tahun untuk
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memenuhi kriteria going concern.
b. Perusahaan yang telah melakukan publikasi
laporan tahunan (annual report) selama tiga tahun untuk memenuhi
konsistensi dalam aktivitas perusahaan.
Perusahaan yang melakukan praktik pengungkapan sosial dan lingkungan
ditunjukkan dengan minimal melakukan pengungkapan salah satu tema voluntary
disclosure (lingkungan, kemasyarakatan, tenaga kerja, produk, konsumen
atau energi) dalam laporan tahunannya menurut metode content analysis
(Hackston dan Milne, 1996).
Dari jumlah populasi 146 perusahaan
manufaktur ditentukan ukuran sampel dengan menggunakan rumus (Babbie, Earl;
1983, dalam Rizal hasibuan; 1999)
N.pq
n =
(N-1) D + pq
Dimana :
n = Jumlah sampel yang diinginkan
N = Jumlah
populasi (146 perusahaan manufaktur)
p = Untuk meminimumkan sampling error
dipakai 0.5
q = (1-p) = 0.5
B = Bound of Error atau kelonggaran
kesalahan diperkirakan berinterval range tidak lebih dari 10 %
D = B² :
4
= (0.1)²
: 4
= 0.0025
Maka dari rumus tersebut
diketahui :
146(0,5)(0,5)
n =
(146-1)0,0025+(0,5)(0,5)
36,5
n =
0,6125
= 59,59 atau 60 perusahaan
manufaktur sebagai sampel
Definisi Operasional Variabel
Pengungkapan Sosial dan
LingkunganPerusahaan
Analisis isi (content
analysis) digunakan untuk
mengukur pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Analisis isi adalah
suatu metode kodifikasi teks (atau konteks) dari suatu tulisan menjadi beberapa kelompok (atau kategori)
tergantung dari yang dibuat (Weber,
1988). Pemberian kode akan menghasilkan data yang digunakan untuk analisis selanjutnya.
Krippendorff (1980) dalam Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa
"analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi yang replicable
dan valid dari data tergantung dari konteksnya". Dalam satu
bentuk atau bentuk lainnya, metode itu telah diadopsi dalam penelitian
pengungkapan pertanggungjawaban sosial terdahulu (sebagai misal, Guthrie dan
Mathews, 1985; Guthrie dan Parker, 1990; Hackston dan Milne 1996).
Agar analisis
isi bisa dilaksanakan dengan cara yang replicable, maka dibuat instrumen interogasi, cheklist, dan aturan
keputusan. Cheklist ada pada apendiks. Instrumen interogasi digunakan
untuk mencatat jumlah pengungkapan sosial perusahaan dalam kategori yang
berbeda. Kategori instrumen yang digunakan dibuat oleh Hackston dan Milne
(1996), yang didasarkan pada penelitian terdahulu dari Ernst & Erns (1978),
Guthrie dan Paker (1990), dan Gray et.
al., (1995a) dan mencakup dimensi dari tema pengungkapan (lingkungan,
energi, produk/konsumen, masyarakat, karyawan/sumber daya manusia,
umum/lainnya); bukti (kualifikasi moneter, nonkuantitaif moneter, deklarasi);
jenis berita berita baik (good news),
berita buruk (bad news) dan berita
netral (neutral news) dan total
(jumlah dari kalimat).
Instrumen
yang digunakan memiliki perbedaan dari penelitian terdahulu, yakni:
a.
Jumlah pengungkapan. Jumlah pengungkapan tiap
perusahaan dan per kategori isi diukur
dengan jumlah kalimat seperti yang dilakukan Hackston dan Milne (1996). Dalam
banyak penelitian terdahulu, kuantifikasi dari tiap kategori pengungkapan terdiri dari pencatatan apakah perusahaan
membuat atau tidak membuat pengungkapan dalam kategori, dan total jumlah
perusahaan diukur ke yang terdekat ke kesepuluh atau seperempat dari suatu
halaman. Ng (1985) mengkritik porsi dari pengukuran halaman karena ukuran hasil
cetakan, ukuran kolom, dan ukuran halaman bisa berbeda antara satu laporan
tahunan dengan laporan tahunan lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Ng
(1985) menggunakan jumlah kata. Mengukur jumlah pengungkapan sosial perusahaan dengan
jumlah kata, meskipun demikian, hal tersebut membuat para peneliti harus
mempertimbangkan dengan hati-hati mana kata yang merupakan suatu pengungkapan
sosial perusahaan dan mana yang tidak. Akibatnya, terdapat kemungkinan adanya
ketidaksepakatan antara pengkodean yang berbeda. Unit pengukuran kalimat
mengatasi masalah porsi dari halaman dan menghilangkan kebutuhan untuk
menghitung dan menstandarisasi jumlah kata.
Kemudian
diputuskan untuk kembali dan mengukur jumlah absolut pengungkapan sosial per perusahaan
(tidak tiap kategori) dengan proporsi dari laporan tahunan ke yang terdekat
keseratus dari suatu halaman.
b.
Dalam semua tiga pengukuran jumlah pengungkapan sosial,
tidak ada usaha untuk menstandarisasi panjang laporan tahunan. Tidak ada
batasan atas jumlah laporan tahunan yang bisa dimasukkan, dan jika perusahaan
mempertimbangkan pengungkapan tambahan cukup penting, maka mereka akan
memasukkan halaman ekstra dalam laporan. Penggunaan ketiga ukuran pengungkapan
sosial memungkinkan perbandingan dengan penelitian lain memungkinkan analisis
komparatif untuk menilai seberapa penting pemilihan ukuran.
Penyelesaian
dari instrumen interogasi maka dibuat suatu cheklist dari item-item yang dimasukkan
dalam tiap kategori dimensi tema. Diperoleh dari Ng (1985), yang dibuat
pertamakali oleh Ernst&Ernst (1978), cheklist ini telah direvisi oleh
Hackston dan Milne (1996) yang menambahkan sejumlah aturan keputusan untuk
memfasilitasi suatu interpretasi yang konsisten dari cheklist. Sebagai
perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu, tema karyawan dibagi menjadi
kesehatan dan keselamatan karyawan. Pengembangan ini konsisten dengan
penelitian Gray et al., (1995a).
Ukuran Perusahaan
Dalam
penelitian terdahulu, ukuran perusahaan telah diukur dengan jumlah karyawan, nilai
total aset, volume penjualan, atau ranking indeks (seperti Fortune 500).
Belkoui dan Karpik (1989) menggunakan log penjulan bersih dalam penelitian mereka, sedangkan Trotman dan Bradley (1981)
menggunakan penjualan dan total aset. Cowen et. al. (1987) menggunakan rangking
Fortune. Robert (1992) menggunakan rata-rata
pendapatan selama empat tahun. Patten (1991) menggunakan log penjualan, tetapi
juga mengulang analisis dengan ranking fortune 500. Jumlah karyawan, penjualan
dan total aset telah tampak berkorelasi (Kimberly, 1976).
Meskipun demikian, tidak ada alasan teoritis yang
ada untuk suatu ukuran dari ukuran perusahaan pada penelitian ini maupun
penelitian pengungkapan lainnya.
Penelitian ini menggunakan penjualan bersih untuk pengukuran ukuran perusahaan
seperti yang dilakukan oleh Belkoui dan Karpiks (1989).
Teknik Analisis
Statistik Deskriptif
Statistik Deskriptif
digunakan untuk menggambarkan variabel-variabel dalam penelitian ini. Alat
analisis yang digunakan adalah rata-rata, maksimal, minimal dan standar deviasi
untuk mendiskripsikan variabel penelitian.
Uji Asumsi Klasik
Setelah data berhasil dikumpulkan, sebelum
dilakukan analisis terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap penyimpangan
Asumsi Klasik, dengan tahapan sebagai berikut:
1.
Uji Multikolinieritas (Multicolinearity):
Uji Multikolinieritas digunakan untuk
menunjukkan adanya hubungan linier diantara variabel-variabel bebas dalam model
regresi. Nilai Tolerance dan Variance Inflacation Factor (VIF) digunakan untuk mendeteksi
adanaya Multikolinearitas. Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas
mana yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Tolerance
mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas
lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi
karena (VIF=1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang
tinggi. Nilai batas yang digunakan dalam penilaian ini adalah nilai tolerance yang mendekati 1atau sama dengan nilai VIF disekitar angka 10. Gejala
multikolinearitas akan diidentifikasi jika VIF lebih besar dari 10 (Gujarati,
1995).
2.
Uji
Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance residual dari pengamatan satu ke pengamatan yang lain.
Jika variance residual dari pengamatan
satu ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini cara untuk mendeteksi
ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan uji Glejser (Gujarati,
1995). Uji Glejser dilakukan dengan meregres nilai absolut residual terhadap
variabel bebasnya. Apabila terdapat variabel bebas yang signifikan berpengaruh
terhadap nilai absolut residual, maka disimpulkan terjadi heteroskedastisitas.
Analisis Regresi
Hipotesis akan menguji pengaruh ukuran
perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Adapun
model regresi ini ditunjukkan dalam persamaan :
|
Keterangan:
Y = Jumlah Pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan
Ln Penj. Bersih = Logaritma Natural
dari Penjualan Bersih
Sedangkan prosedur
pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2005), uji normalitas bertujuan
untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan uji f
mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi
ini dilanggar, maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel
kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau
tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji ststistik.
Salah satu cara yang termudah dalam melihat normalitas residual
adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi
dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Namun demikian hanya dengan
melihat grafik dapat menyesatkan khususnya untuk jumlah sampel yang kecil.
Metode yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plot yang
membandingkan antara distribusi kumulatif
dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk garis lurus
diagonal dan ploting data residual akan
dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual
normal, maka garis yang menggambarkan data yang sebenarnya akan mengikuti garis
diagonalnya.
Uji t
Uji t dilakukan untuk mengatahui apakah variabel
independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Adapun
langkah-langkah dalam pengujiannya antara lain sebagai berikut:
1)
Menentukan formulasi Ho dan Ha
Ho : b = 0 (tidak ada pengaruh antara variabel
independen terhadap variabel dependen)
Ha : b ¹ 0 (terdapat pengaruh antara variabel independen
terhadap variabel dependen)
2)
Level of significant a = 0,05
3)
Menentukan kriteria pengujian;
a. Ho diterima jika Sig ³ 0.05 maka Ha ditolak yang berarti tidak
ada pengaruh yang signifikan antara variabel independen terhadap variabel
dependen.
b. Ha diterima jika Sig. < 0.05 maka Ho
ditolak yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
independen terhadap variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis
Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk
mengetahui gambaran mengenai responden yang dilihat dari nilai maksimum, nilai
minimum, nilai rata-rata, dan nilai standar deviasi. Berdasarkan analisis
statistik deskriptif diperoleh gambaran perusahaan sebagai berikut:
Tabel 1
Sumber: Data Sekunder yang Diolah;
2007
Berdasarkan tabel 1 di atas menjelaskan mengenai
gambaran responden atas variabel yang diteliti. Untuk variabel yang pertama
yaitu pengungkapan sosial memiliki nilai minimum sebesar 2, nilai maksimum
sebesar 38, dan dengan nilai rata-rata sebesar
20.03 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 8.369. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa pengungkapan sosial pada perusahaan yang menjadi sampel
rata-rata adalah cukup besar, sedangkan untuk nilai standar deviasi yang lebih
kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa pengungkapan sosial dari
masing-masing perusahaan sampel memiliki besaran yang hampir sama antar
masing-masing sampel perusahaan. Untuk variabel yang kedua yaitu ukuran
perusahaan yang dinilai dengan logaritma dari penjualan bersih, nilai minimum
yang diperoleh yaitu sebesar 10.62, nilai maksimum sebesar 17.93, dan dengan
nilai rata-rata sebesar 13.94 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 1.50,
yang berarti bahwa ukuran perusahaan pada perusahaan sampel memiliki jumlah
yang relatif besar atau memiliki pendapatan dari hasil penjualan yang relatif
tinggi, sedangkan nilai standar deviasi yang lebih kecil dari nilai rata-rata
menunjukkan bahwa data ukuran perusahaan yang diukur dengan logaritma dari
penjualan bersih untuk perusahaan sampel memiliki perbedaan yang relatif kecil
atau hampir sama antar masing-masing perusahaan.
Uji Asumsi Klasik
Untuk mendukung
kenbenaran interpretasi hasil analisis dengan model regresi, maka dilakukan uji
asumsi klasik berupa uji multikolienaritas dan heteroskedastisitas.
Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independent. Uji
multikolinieritas dapat dilakukan dengan mencari nilai VIF, nilai Tolerancce dan nilai Condition Index.
Berdasarkan tabel coefficients pada output regresi pertama dapat terlihat bahwa nilai
tolerance, VIF, dan Condition Index untuk masing-masing variabel adalah:
Tabel 2
Nilai Tolerance dan VIF masing-masing variabel
Sumber: Data sekunder yang
diolah, 2007
Berdasarkan tabel 2 diatas ditunjukkan bahwa hasil
perhitungan nilai Tolerance menunjukan
bahwa ukuran perusahaan memiliki nilai Tolerance
tidak kurang dari 0.10 selain itu hasil perhitungan nilai Variance Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang sama
yaitu tidak ada satu variabel ukuran perusahaan memiliki nilai VIF lebih dari
10, serta untuk nilai Condition Index yang
memiliki nilai kurang dari 30. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi unsur
multikolinieritas antar variabel independen dalam model regresi.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan Uji
Gletjer. Berdasarkan hasil regresi antara variabel independen dengan
variabel dependen yaitu nilai absolute
residual dari pengungkapan sosial adalah
sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil Perhitungan Regresi
Berganda Antara Variabel Independen (X)
Terhadap Absolut Residual dari Pengungkapan
Sosial (AbsUi)
Sumber: Data
sekunder yang diolah; 2007
Berdasarkan perhitungan diatas menunjukkan bahwa
nilai signifikansi dari ukuran perusahaan adalah tidak signifikan yaitu
memiliki nilai yang lebih besar dari nilai batas signifikansi 0.05, Hasil ini
menunjukkan bahwa dalam data model empiris yang diestimasi tidak terdapat
Heteroskedastisitas atau data empiris yang diestimasi terdapat
Homoskedastisitas atau dapat dikatakan bahwa model persamaan sudah baik.
Uji Normalitas
Model regresi yang baik adalah yang memiliki distribusi normal atau
mendekati normal. Untuk itu diperlukan uji normalitas, yang dimaksudkan untuk
menguji apakah variabel independent (terikat) dan variabel dependen (bebas)
dalam model regresi mempunyai distribusi normal apa tidak. Pengujian distribusi
normal dilakukan dengan cara melihat histogram yang membandingkan data
observasi dengan distribusi yang mendekati normal. Selain itu uji normalitas
dapat juga dengan menggunakan normal
probability plot yang membandingkan distribusi komulatif dari data yang
sesungguhnya dengan distribusi komulatif dari data distribusi normal. Jika
distribusi normal maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan
mengikuti garis diagonalnya.
Gambar 2
Uji normalitas
Pada grafik normal plot terlihat titik-titik
menyebar disekitar garis diagonal, dengan penyebaran mengikuti arah garis
diagonal, selain itu untuk grafik histogram juga menunjukkan suatu pola yang
tidak menceng baik kekanan maupun kekiri. Dengan memperhatikan kedua grafik
tersebut dapat dikatakan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas sehingga
layak untuk digunakan.
Gambar
3
Uji
Normalitas
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis regresi linier berganda dan dengan bantuan program SPSS versi 13. Untuk pengujian hipotesis
pertama sampai pengujian hipotesis ketiga dilakukan dengan menggunakan uji t.
pegujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara
parsial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Berdasarkan
hasil pengujian dengan menggunakan alat analisis regresi linier berganda di
peroleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4
Ringkasan
Hasil Persamaan Regresi Linier Berganda
Sumber: Data
Sekunder yang Diolah; 2007
Berdasarkan tabel di atas maka dapat dibentuk
suatu persamaan regresi yaitu sebagai berikut:
Y =
0.055X1 + 5.94
Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan sosial. Dalam
rangka untuk pengujian hipotesis pertama tersebut, maka dilakukan dengan
menggunakan persamaan regresi linier berganda dan berdasarkan pengujian
hipotesis dengan menggunakan regresi linier berganda yang telah dirangkum pada
tabel 4 di atas, diperoleh hasil sebagai berikut:
Berdasarkan hasil tabel 4 di atas, dapat diketahui
bahwa secara parsial, ukuran perusahaan
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel penungkapan sosial.
Hasil perhitungan variabel ukuran perusahaan terhadap pengungkapan sosial
diperoleh nilai p-value sebesar
0.562, dimana nilai p-value tersebut
lebih besar dari nilai level of
significance 0,05. Hal ini membuktikan bahwa ukuran perusahaan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sosial. Berdasarkan hasil
analisis tersebut diperoleh nilai hubungan yang positif yaitu ditunjukkan dari
nilai koefisien regresi dan nilai thitung yang positif sehingga
dapat disimpulkan bahwa dengan semakin tinggi ukuran perusahaan maka
kecenderungan pengungkapan sosial yang
terjadi pada perusahaan akan mengalami peningkatan secara tidak signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang menyatakan
bahwa ukuran perusahaan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap penungkapan sosial maka hipotesis
pertama yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh secara signifikan
terhadap pengungkapan sosial tidak
dapat dibuktikan atau hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini
ditolak.
KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
- Hasil
analisis data menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan antara
ukuran perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan, yang
berarti bahwa semakin besar ukuran perusahaan, pengungkapan sosial dan
lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tidak selalu luas.
Keterbatasan Penelitian
- Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini hanya sedikit yaitu dengan jumlah
sampel sebanyak 60 perusahaan yang disebabkan karena penggunaan sampel
hanya pada sebagian perusahaan manufaktur yang melakukan pengungkapan
sosial dan lingkungan.
- Penelitian
ini hanya menggunakan indikator ukuran perusahaan, oleh karena itu untuk
penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel yang lain
dengan tujuan agar hasil yang didapatkan dalam menjelaskan pengungkapan
sosial dan lingkungan akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Belkaoui, .A dan Karpik, P.G. (1989),
" Determinant of the corporate decision to disclose social
information", Accounting, Auditing and Accountability Journal,
vol. 2 No. l. pp. 36-51
Cowen, S.S, Ferreri, L.B dan Parker,
L.D. (1987), “The impact of corporate characteristic and social responsibility
disclosure, a typology and frequency – based analysis”, Accounting, Auditing and Accountubility Journal, Vol. 12 No. 2 pp. 111-122.
Gray, R., Kouhy, R dan Laver, S.
(1995a), “Corporate social and environmental reporting: a review of the literature
and a longitudinal study of UK disclosure”, Accounting,
Auditing and Accountubility Journal, Vol. 8 No. 2 pp. 78-101.
Gray, R, Owen D., dan Adams, C.
(1996), Accounting and Accountability, Prentice Hall Europe.
Gray, R., Owen, D. dan Maunders, K. (1987),
Corporate
Social Reporting: Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London.
Gujarati, Damodar N., 1995. Basic
Econometrics. Third Edition. Me.
Graw-Hill.
Guthrie, J. dan Mathews, M.R. (1985),
"Corporate social accounting in Australia" in Preston, LE. (Ed.), Research
in Corporate Social Performance and Policy, Vol. 7. Pp.251-77
Guthrie, J. dan Parker, L.D. (1990),
"Corporate social disclosure practice: a comparative international
analysis", Advances in Public
Interest Accounting, Vol. 3. Pp.
159-75.
Hackston, David. dan Markus, J
Milne, (1996), "Some determinants of social and environmental disclosures
in New Zealand Companies", Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9 No. 1, pp. 77-108.
Imam Ghozali, (2001), “Aplikasi
analisis multivariate dengan program SPSS”, Badan
Penerbit BP UNDIP
Kelly, G.J (1981) "Australian social responsibility disclosure:
some insights into contempory measurement", Accounting and Finance, Vol. 21 No. 2, pp. 97-104.
Krippendorff, K. (1980), Content Analysis: An Introduction to its
Methodology, Sage, London.
M. Rizal Hasibuan (2001), “Pengaruh Karakteristik Perusahaan terhadap
pengungkapan social dalam laporan tahunan emiten di BEJ dan BES” Tesis Program Magister Undip (tidak
dipublikasikan)
Ng, L. W. (1985), "Social responsibility disclosures of selected New
Zealand companies for 1981, 1982, 1983", Occasional paper No. 54, Massey
University, Palmerston North.
Patten, D. M. (1991), "Exposure, legitimacy, and
social disclosure", Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308.
PSAK (revisi 1998)
Roberts, R.W. (1992), "Determinants of corporate
social responsibility disclosure: an application of stakeholder theory", Accounting,
Organizations and Society Vol. 17 No. 6, pp. 595-612