FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
PRAKTEK PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN PADA
PERUSAHAAN MANUFAKTUR GO PUBLIK
Achmad Zaenuddin
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
Inclination
toward social and environmental consciousness has chances for competition attitude and profit oriented into social orientation. Management as an agent, could not avoid the truth from the impact of activity, which are not only generating profit and increasing share
price but also bring about social impact such as ecological destruction,
pollution and social deseases such discrimination and crime, and all of these are company social responsibility.
The study objective is to analyze the effect of
corporate characteristics: size, type of
industry and profitability toward social and environmental disclosure in annual
reports of companies in Indonesia. The
disclosure themes included are:
environment, energy, product/consumer, employee (health and safety) and
general. The sample of these study are
60 go-public manufacturing companies in Jakarta Stock Exchange
that have announced annual reports for 2005.
The data analysis used multiple regression analysis.
The results show that the corporate size (net sales)
has no affect on the social and environmental
disclosure. On the other hand, type of
industry affect positive significant toward social and environmental
disclosure, and profitabililty (ROA) affect negative significant toward social
and environmental disclosure.
Keyword: social and
environmental disclosure, sales, type of industry, ROA
PENDAHULUAN
Latar
Belakang Masalah
Pada
dekade terakhir ini pertumbuhan kesadaran publik terhadap peran perusahaan di
masyarakat semakin meningkat. Banyak perusahaan yang dianggap telah memberi
kontribusi bagi kemajuan ekonomi dan teknologi, tetapi perusahaan tersebut
mendapat kritik karena telah menciptakan masalah sosial. Polusi, penipisan
sumber daya, pemborosan, kualitas dan keamanan produk, hak dan status pekerja
dan kekuatan dari perusahaan besar merupakan isu-isu yang semakin menjadi
perhatian (Gray, R, Owen,D, dan Maunders, K, 1987).
Tekanan
dari berbagai pihak membuat sektor swasta menerima tanggung jawab terhadap
masyarakat atas pengaruh aktivitas bisnis. Perusahaan tidak hanya bertanggung
jawab kepada pemegang saham dan kreditur, tetapi juga diharuskan bertanggung
jawab kepada masyarakat yang lebih luas. Doktrin Friedman (1962) dalam Hackston
dan Milne (1996) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial dari unit bisnis
hanyalah memaksimumkan laba tidak bisa diterima secara universal. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesadaran yang makin meningkat pada
sebagian eksekutif perusahaan bahwa perusahaan memiliki kewajiban untuk
membantu masyarakat, meskipun hal itu dapat mengurangi laba (Holmes, 1976;
Ostlund, 1977 dalam Hackston dan Milne (1996)).
Pertumbuhan kesadaran
tanggung jawab sosial perusahaan mengakibatkan adanya kritik terhadap
penggunaan laba sebagai satu-satunya alat ukur kinerja perusahaan. Sebagai
respon, beberapa institusi akuntansi utama (AICPA, NAA, ICAEW) mulai memikirkan
akuntansi sosial perusahaan pada pertengahan tahun 1970 (Ramanathan,1976 dalam
Hackston dan Milne (1996)). Peneliti akuntansi telah mulai mengartikulasikan
perspektif teori yang berbeda untuk mendukung akuntansi sosial perusahaan yang
terdiri dari teori legitimasi, teori ekonomi politik akuntansi dan teori stakeholder
(Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray et al., 1987,1988,1995a; Guthrie
dan Parker, 1990; Pattern, 1991, 1992; Roberts, 1992). Meskipun demikian,
sampai saat ini masih belum ada kerangka teoritis dan akuntansi sosial
perusahaan yang bisa diterima secara universal (Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray
et al., 1995a; Guthrie dan Mathews,
1985). Meskipun terdapat kekurangan konsensus pada profesi akuntansi dan
literatur akuntansi teoritis tentang mengapa perusahaan mengungkapkan akuntansi
pertanggungjawaban sosial, tetapi terdapat peningkatan jumlah perusahaan yang
secara sukarela mengungkapkan aktivitas pertanggungjawaban sosial pada laporan
tahunan mereka.
Pengungkapan sosial
perusahaan didefinisikan sebagai ketentuan dari informasi keuangan dan non
keuangan yang berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan sosial
dan fisiknya sebagaimana yang dinyatakan dalam laporan tahunan perusahaan atau
laporan sosial yang terpisah (Guthrie dan Mathews, 1985). Pengungkapan sosial
mencakup detail tentang lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk
dan masalah keterlibatan masyarakat.
Laporan tahunan
perusahaan terdiri dari pengungkapan wajib (mandatory
disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure). Pengungkapan sukarela muncul karena adanya kesadaran
masyarakat akan lingkungan sekitar, keberhasilan perusahaan tidak pada laba
semata tetapi juga ditentukan dengan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat
di sekitar perusahaan.
Pelaporan non keuangan
ini secara umum telah diakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK). Dalam PSAK No. 1 (revisi 1998) paragraf sembilan tentang Penyajian
Laporan Keuangan dinyatakan bahwa “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan
tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup, laporan nilai tambah,
khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan
penting bagi industri”. Pernyataan di atas secara jelas menyebutkan bahwa
perusahaan bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya, terutama perusahaan
industri yang menghasilkan limbah yang apabila tidak diolah secara benar akan
mencemari lingkungan sekitar.
Sampai saat ini
kebanyakan penelitian empiris menyajikan gambaran dasar darimana pola
pengungkapan itu muncul. Penelitian lebih lanjut juga menemukan hubungan antara
beberapa karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial perusahaan.
Beberapa penelitian
empiris tentang praktek pengungkapan sosial perusahaan banyak berfokus di
Amerika Serikat, Inggris, Australia dan sedikit penelitian telah dilakukan di
negara-negara lain seperti Kanada, Jerman, Jepang, New Zealand, Malaysia, dan
Singapura. Kebanyakan
penelitian empiris tentang praktek Amerika Serikat cenderung untuk menggunakan
bukti survey empiris Ernst & Ernst (1978). Guthrie dan Parker (1990) yang
memberikan bukti survey empiris yang lebih baru. Gray et al. (1987, 1995a)
memberikan bukti survey empiris di lnggris, kemudian penelitian selanjutnya
yang mencakup tiap tahun mulai dari 1979 sampai dengan 1991. Penelitian di
Australia mencakup Trotman (1979) dan Guthrie (1983). Penelitian yang dilakukan
oleh Davey (1982), Ng (1985) serta Hackston dan Milne (1996) telah memberikan
beberapa gambaran bahwa ukuran perusahaan (company
size) mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan di New Zealand. Penelitian Guthrie dan Parker (1990) dan
Gray et
al. (1995a) menggambarkan suatu perbedaan penting antara
pengungkapan sukarela dan pengungkapan yang diwajibkan undang-undang. Di
Indonesia, tidak ada pengungkapan sosial yang diwajibkan o1eh undang-undang,
sehingga tidak ada ketentuan untuk membuat perbedaan antara sukarela dan wajib
dalam instrumen interogasi. Semua pengungkapan yang diklasifikasikan dianggap
sebagai pengungkapan sukarela.
Penelitian mengenai
pengaruh karakteristik perusahaan, ukuran perusahaan, tipe industri dan
profitabilitas terhadap pengungkapan sosial perusahaan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti, misalnya Belkoui dan Karpiks, 1989; Cowen et. al., 1987; Kelly, 1981;
Pattern, 1981; Davey, 1882.; Ng , 1985; Hackston dan Milne, 1996. Penelitian
ini didasari oleh penelitian Hackston dan Milne (1996). Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan yang berbeda-beda di Amerika
Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Malaysia dan Singapura. Penelitian empiris
tentang praktek pengungkapan sosial perusahaan sebagian besar dilakukan di
negara-negara maju daripada di negara berkembang. Hasil penelitian di negara
maju tidak bisa disamakan dengan di negara berkembang. Hal-hal diatas mendorong peneliti melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan di
Indonesia.
Adanya perbedaan hasil-hasil
penelitian tentang pengaruh karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan
sosial dan lingkungan perusahaan, misalnya penelitian Robert (1992) menyatakan
ukuran perusahaan tidak berpengaruh sedangkan tipe industri dan profitabilitas
berpengaruh terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Pernyataan diatas berbeda
dengan penelitian Hackston dan Milne (1996) yang menyatakan bahwa ukuran
perusahaan dan tipe industri mempengaruhi sedangkan profitabilitas tidak
mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah karakteristik perusahaan; ukuran
perusahaan, tipe industri, dan profitabilitas mempengaruhi pengungkapan
sosial dan lingkungan yang
merupakan pengungkapan sukarela di Indonesia.
Penelitian ini ditujukan untuk
mengidentifikasi item pengungkapan sosial dan lingkungan, mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan, menguji pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas dan tipe
industri terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan.
Adapun
manfaat yang diharapkan adalah dapat memberikan gambaran kepada perusahaan
pentingnya praktek pengungkapan sosial dan lingkungan,
memberikan kontribusi pengembangan pengungkapan sukarela khususnya pengungkapan
sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan dan menyajikan suatu gambaran yang up to date tentang praktek pengungkapan
sosial perusahaan di Indonesia, dan menguji beberapa penentu potensial dari
pengungkapan sosial dan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan di
Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Pengungkapan Sosial dan Lingkungan
Beberapa teori menurut Gray et. al., (1996) yang
digunakan untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan sosial yaitu:
a.
Teori stakeholder
Stakeholder merupakan pihak-pihak yang
berkepentingan pada perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi
oleh aktivitas perusahaan. Organisasi memiliki banyak stakeholder seperti karyawan, masyarakat,
negara, supplier, pasar modal, pesaing, badan industri, pemerintah asing dan
lain-lain. Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada
pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling
mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk
kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model
akuntabilitas. Stakeholder dan organisasi saling
mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya yang
berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi
memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi.
Varian dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan
Trekers (1983) mengenai emprical accountability. Teori stakeholder mungkin digunakan dengan ketat
dalam suatu organisasi arah terpusat (centered- way organization). Robert
(1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana
yang sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya.
b.
Teori Legimitasi
Teori legitimasi menyatakan bahwa suatu organisasi
hanya bisa bertahan jika masyarakat dimana dia berada merasa bahwa organisasi
beroperasi berdasarkan sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai yang
dimiliki oleh masyarakat. Organisasi mungkin menghadapi ancaman terhadap
legitimasinya. Lindblom (1994) menyatakan bahwa suatu organisasi mungkin
menerapkan empat strategi legitimasi ketika menghadapi berbagai ancaman
legimitasi. Oleh karena itu untuk menghadapi kegagalan kinerja perusahaan
(seperti kecelakaan yang serius atau skandal keuangan), organisasi mungkin:
a. Mencoba untuk mendidik stakeholdernya tentang
tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
b. Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu
kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi).
c. Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah yang
menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang
tidak berhubungan dengan kegagalan - kegagalan).
d.
Mencoba untuk merubah ekspektasi eksternal tentang
kinerjanya.
Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan
pandangan yang penting terhadap praktek pengungkapan sosial perusahaan.
Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan bisa ditelusuri pada
satu atau lebih strategi legitimasi yang disarankan oleh Lindblom. Sebagai
misal kecenderungan umum bagi pengungkapan
sosial perusahaan untuk menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi
dibandingkan dengan elemen yang negatif.
c.
Teori ekonomi politik
Dua varian teori ekonomi politik:
klasik (biasanya sebagian besar berhubungan dengan Marx) dan Bourgeois (biasanya sebagian besar
berhubungan dengan John Stuart Mill dan ahli ekonomi berikutnya) (Gray et. al., 1996). Perbedaan penting
antara keduanya terletak pada tingkat analisis pemecahan, yakni konflik
struktural dalam masyarakat. Ekonomi politik klasik meletakkan konflik
struktural, ketidakadilan dan peran negara pada analisis pokok. Sedangkan
Ekonomi politik Bourgeois cenderung
menganggap hal-hal tersebut merupakan suatu yang given dan oleh karena itu, hal-hal tersebut tidak dimasukkan dalam
analisis. Hasilnya, Ekonomi politik Bourgeois
cenderung memperhatikan interaksi antar kelompok dalam suatu dunia
pluralistik (sebagai misal, negosiasi antara perusahaan dan kelompok penekan
masalah lingkungan, atau dengan pihak yang berwenang).
Ekonomi politik Bourgeois bisa digunakan dengan baik
untuk menjelaskan tentang praktek pengungkapan sosial. Sedangkan Ekonomi
politik Klasik hanya sedikit menjelaskan praktek pengungkapan sosial perusahaan,
mempertahankan bahwa pengungkapan sosial perusahaan dihasilkan secara sukarela.
Ekonomi politik Klasik memiliki pengetahuan tentang aturan pengungkapan
wajib, dalam hal ini biasanya negara telah memilih untuk menentukan beberapa
pembatasan terhadap organisasi. Ekonomi politik klasik akan menginterpretasikan
hal ini sebagai bukti bahwa negara bertindak "seakan-akan" atas
kepentingan kelompok yang tidak diuntungkan (sebagai misal, orang yang tidak
mampu, ras minoritas) untuk menjaga legitimasi sistem kapitalis secara
keseluruhan (Gray et. al., 1996)
2.2 Ukuran
Perusahaan
Hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan
sosial perusahaan telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian empiris (sebagai
misal, Belkaoui dan Karpik, 1989; Cowen et.
al., 1987; Kelly, 1981; Ng, 1981; Patten 1991, 1992; Trotman dan Bradley,
1981). Teori legitimasi memiliki alasan
tentang hubungan ukuran dan pengungkapan. Perusahaan yang lebih besar melakukan
aktivitas yang lebih banyak sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar
terhadap masyarakat, memilik lebih banyak pemegang saham yang punya perhatian
terhadap program sosial yang dilakukan perusahaan dan laporan tahunan merupakan
alat yang efisien untuk mengkomunikasikan informasi ini (Cowen et. Al., 1987). Meskipun demikian,
tidak semua penelitian mendukung hubungan ukuran-pengungkapan. Penelitian
Robert (1992) di Amerika Serikat menemukan tidak ada hubungan antara ukuran
perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Davey (1982) dan
Ng (1985) di New Zeland gagal untuk mendukung hubungan ukuran perusahaan dan
praktek pengungkapan sosial perusahaan yang telah dihipotesiskan. Guthrie dan
Mathews menyatakan bahwa hasil Davey (1982) dan Ng (1985) yang demikian itu
disebabkan oleh kecilnya sampel yang digunakan. Penelitian Hackston dan Milne (1996) di New Zealand berhasil untuk
mendukung pengaruh ukuran perusahaan dan praktek pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan di New Zealand. Penelitian ini menguji pengaruh ukuran
perusahaan terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di
Indonesia
2.3 Tipe
industri
Sifat dari industri perusahaan telah diidentifikasi
sebagai suatu faktor yang mempengaruhi praktek pengungkapan sosial perusahaan.
Dierkes dan Preston (1977) dalam Hackston dan Milne (1996) berpendapat bahwa
kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan, seperti industri extractive akan
lebih suka mengungkapkan informasi tentang pengaruh terhadap lingkungan mereka dibandingkan dengan perusahaan di
industri lain. Perusahaan yang berorientasi pada konsumen diduga akan
memberikan perhatian yang lebih besar dengan menunjukkan tanggungjawab sosial
mereka, karena hal ini akan menambah image perusahaan dan mempengaruhi penjualan
(Cowen et al., 1987). Penelitian
Patten (1991), menyatakan bahwa seperti halnya ukuran perusahaan mempengaruhi
pandangan politis, hal ini akan membuat pengungkapan sosial menangkal tekanan
yang tak semestinya dan kritikan dari aktivitas sosial. Penelitian Cowen et
al., (1987) menemukan bahwa industri mempengaruhi pengungkapan energi dan
keterlibatan masyarakat.
Beberapa penelitian empiris telah menemukan hubungan
positif antara industri dan pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Kelly
(1981) di Australia menemukan bahwa perusahaan industri utama dan sekunder
mengungkapkan lebih banyak informasi yang berhubungan dengan lingkungan dan
energi dibandingkan dengan perusahaan di bidang industri tersier, sedangkan hubungan yang
berkebalikan ditemukan untuk informasi yang berhubungan dengan interaksi masyarakat. Dalam penelitian
pada perusahaan Amerika yang mirip dalam desain Kelly, Cowen et al., (1987) menemukan bahwa kategori
industri mempengaruhi pengungkapan energi dan keterlibatan masyarakat. Namun
demikian, hasil mereka secara jelas mengindikasikan bahwa kejadian dan jumlah
total pengungkapan sosial perusahaan tidak berhubungan dengan indusri.
Berlawanan dengan penemuan ini, Patten (1991) dan Robert (1992) telah menemukan
hubungan positif antara industri high profile dan jumlah pengungkapan
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Untuk ukuran baik Davey (1982) dan Ng
(1985) gagal untuk menemukan hubungan antara industri dan pengungkapan
sosial perusahaan untuk perusahaan New Zealand. Sedangkan Hackston dan Milne
(1996) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara tipe industri dan
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di New Zealand. Penelitian ini
menguji kembali hubungan tipe industri dan pengungkapan sosial perusahaan .
2.4 Profitabilitas
perusahaan
Hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan dan
profitabilitas perusahaan telah menjadi postulat untuk menggambarkan pandangan
bahwa tanggapan sosial memerlukan gaya manajerial yang sama seperti apa yang
perlu dilakukan untuk membuat perusahaan menghasilkan laba [Bowman & Haire,
1916 dalam Hackston dan Milne (1996)]. Pengungkapan sosial perusahaan dipercaya
mencerminkan suatu pendekatan manajemen adaptif yang berhubungan dengan suatu
lingkungan yang dinamik, multidemensinal, mempunyai kemampuan untuk menghadapi
tekanan sosial dan tanggap terhadap kebutuhan sosial. Kemampuan manajemen
seperti dianggap perlu untuk dipertahankan dalam lingkungan perusahaan sekarang
ini (Cowen el al., 1987) meskipun
demikian Bowman & Haire, (1976) dalam Hackston dan Milne (1996) menyatakan
bahwa profitabilitas adalah faktor yang memungkinkan manajemen bebas dan
fleksibel untuk melakukan dan menyatakan pada pemegang saham program-program
pertanggungjawaban sosial yang ekstensif.
Robert (1992) menemukan hubungan antara laba sebelumnya
dan pengungkapan sosial perusahaan, Patten
(1991) menggunakan ukuran berganda untuk profitabilitas termasuk laba sebelumnya dan gagal menemukan
hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas. Penelitian
Davey (1982), Ng (1985) dan Hackston dan Milne (1996) tidak dapat menemukan
bukti hubungan pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas di perusahaan di New Zeland.
Riset penelitian empiris terhadap hubungan
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan - profitabilitas memberikan hasil
yang sangat beragam. Bowman dan Haire (1976) dan Preston (1978) menyajikan
hasil yang mendukung hubungan profitabilitas pengungkapan sosial perusahaan.
Penelitian Bowman dan Haire (1976) melaporkan perbedaan yang signifikan untuk
rata - rata ROE selama 5 tahun antara perusahaan yang mengungkapkan dengan
perusahaan yang tidak mengungkapkan. Penelitian Preston (1978) dalam Hackston
dan Milne (1996) melaporkan ROE satu tahun yang lebih tinggi untuk perusahaan
yang lebih mengungkapkan dibandingkan perusahaan lain yang termasuk Fortune
500. Penelitian Cowen et al., (1987) gagal untuk mendukung
hubungan profitability - pengungkapan
sosial perusahaan. Hasil penelitian Belkaoui dan Karpiks (1989) untuk hubungan
pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas
bertentangan dan sulit untuk diinterpretasikan.
2.5 Kerangka
Pemikiran Teoritis
Dari uraian
teoritis, dapat dibangun suatu model teori untuk sebagai berikut :
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.7 Hipotesis
Dari kerangka pemikiran teoritis diatas maka hipotesis-hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Hipotesis 1
Ukuran perusahaan
berpengaruh positif secara signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan.
Hipotesis 2
Tipe industri berpengaruh
positif secara signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan.
Hipotesis 3
Profitabilitas berpengaruh positif secara signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan.
Hipotesis 4
Ukuran perusahaan, tipe industri dan profitabilitas secara bersama-sama
berpengaruh positif secara signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari perusahaan di
Bursa Efek Jakarta pada tahun 2005. Data yang digunakan adalah laporan tahunan
2005 yang dipublikasikan pada awal 2006. Alasan dipilihnya periode waktu
tersebut karena laporan tahunan 2005 merupakan data terbaru yang bisa diperoleh
di Pusat Referensi Pasar Modal di Bursa Efek Jakarta.
3.2
Populasi dan
Sampel
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka populasi
penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Jakarta
pada tahun 2005.
Sampel diambil dengan rumus dengan kriteria kelayakan sampel yang
digunakan sebagai berikut:
a. Perusahaan manufaktur
yang telah listing minimal selama
tiga tahun untuk menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memenuhi kriteria going concern.
b. Perusahaan yang telah
melakukan publikasi laporan tahunan (annual report) selama tiga tahun
untuk memenuhi konsistensi dalam aktivitas perusahaan.
Perusahaan yang melakukan
praktik pengungkapan sosial dan
lingkungan ditunjukkan dengan minimal melakukan pengungkapan salah satu
tema voluntary disclosure (lingkungan, kemasyarakatan, tenaga
kerja, produk, konsumen atau energi) dalam laporan tahunannya menurut metode content
analysis (Hackston dan Milne, 1996).
Dari jumlah populasi 146
perusahaan manufaktur ditentukan ukuran sampel dengan menggunakan rumus
(Babbie, Earl; 1983, dalam Rizal hasibuan; 1999)
N.pq
n =
(N-1) D + pq
Dimana :
n = Jumlah sampel yang diinginkan
N = Jumlah
populasi (146 perusahaan manufaktur)
p = Untuk meminimumkan sampling error
dipakai 0.5
q = (1-p) = 0.5
B = Bound of Error atau kelonggaran
kesalahan diperkirakan berinterval range tidak lebih dari 10 %
D = B² :
4
= (0.1)²
: 4
= 0.0025
Maka dari
rumus tersebut diketahui :
146(0,5)(0,5)
n =
(146-1)0,0025+(0,5)(0,5)
36,5
n =
0,6125
= 59,59
atau 60 perusahaan manufaktur sebagai sampel
3.3 Definisi
Operasional Variabel
3.3.1
Pengungkapan Sosial dan
LingkunganPerusahaan
Analisis isi (content analysis) digunakan untuk mengukur pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan. Analisis isi adalah suatu metode kodifikasi teks (atau konteks)
dari suatu tulisan menjadi beberapa
kelompok (atau kategori) tergantung dari yang
dibuat (Weber, 1988). Pemberian kode akan menghasilkan data yang
digunakan untuk analisis selanjutnya. Krippendorff (1980) dalam Hackston dan
Milne (1996) menyatakan bahwa "analisis isi adalah teknik penelitian untuk
membuat inferensi yang replicable dan valid dari data tergantung
dari konteksnya". Dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, metode itu telah
diadopsi dalam penelitian pengungkapan pertanggungjawaban sosial terdahulu
(sebagai misal, Guthrie dan Mathews, 1985; Guthrie dan Parker, 1990; Hackston
dan Milne 1996).
Agar analisis isi bisa dilaksanakan dengan cara yang replicable,
maka dibuat instrumen
interogasi, cheklist, dan aturan keputusan. Cheklist ada pada
apendiks. Instrumen interogasi digunakan untuk mencatat jumlah pengungkapan
sosial perusahaan dalam kategori yang berbeda. Kategori instrumen yang
digunakan dibuat oleh Hackston dan Milne (1996), yang didasarkan pada
penelitian terdahulu dari Ernst & Erns (1978), Guthrie dan Paker (1990),
dan Gray et. al., (1995a) dan
mencakup dimensi dari tema pengungkapan (lingkungan, energi, produk/konsumen,
masyarakat, karyawan/sumber daya manusia, umum/lainnya); bukti (kualifikasi
moneter, nonkuantitaif moneter, deklarasi); jenis berita berita baik (good news), berita buruk (bad news) dan berita netral (neutral news) dan total (jumlah dari
kalimat).
Instrumen yang digunakan memiliki perbedaan dari
penelitian terdahulu, yakni:
a. Jumlah pengungkapan. Jumlah pengungkapan tiap
perusahaan dan per kategori isi diukur
dengan jumlah kalimat seperti yang dilakukan Hackston dan Milne (1996). Dalam
banyak penelitian terdahulu, kuantifikasi dari tiap kategori pengungkapan terdiri dari pencatatan apakah perusahaan
membuat atau tidak membuat pengungkapan dalam kategori, dan total jumlah
perusahaan diukur ke yang terdekat ke kesepuluh atau seperempat dari suatu halaman.
Ng (1985) mengkritik porsi dari pengukuran halaman karena ukuran hasil cetakan,
ukuran kolom, dan ukuran halaman bisa berbeda antara satu laporan tahunan
dengan laporan tahunan lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Ng (1985)
menggunakan jumlah kata. Mengukur jumlah pengungkapan sosial perusahaan dengan
jumlah kata, meskipun demikian, hal tersebut membuat para peneliti harus
mempertimbangkan dengan hati-hati mana kata yang merupakan suatu pengungkapan
sosial perusahaan dan mana yang tidak. Akibatnya, terdapat kemungkinan adanya
ketidaksepakatan antara pengkodean yang berbeda. Unit pengukuran kalimat
mengatasi masalah porsi dari halaman dan menghilangkan kebutuhan untuk
menghitung dan menstandarisasi jumlah kata.
Kemudian diputuskan untuk kembali dan
mengukur jumlah absolut pengungkapan sosial per perusahaan (tidak tiap
kategori) dengan proporsi dari laporan tahunan ke yang terdekat keseratus dari
suatu halaman.
b. Dalam semua tiga pengukuran jumlah pengungkapan
sosial, tidak ada usaha untuk menstandarisasi panjang laporan tahunan. Tidak
ada batasan atas jumlah laporan tahunan yang bisa dimasukkan, dan jika
perusahaan mempertimbangkan pengungkapan tambahan cukup penting, maka mereka
akan memasukkan halaman ekstra dalam laporan. Penggunaan ketiga ukuran
pengungkapan sosial memungkinkan perbandingan dengan penelitian lain
memungkinkan analisis komparatif untuk menilai seberapa penting pemilihan
ukuran.
Penyelesaian dari instrumen interogasi maka dibuat
suatu cheklist
dari item-item yang dimasukkan dalam tiap kategori dimensi tema.
Diperoleh dari Ng (1985), yang dibuat pertamakali oleh Ernst&Ernst (1978), cheklist ini
telah direvisi oleh Hackston dan Milne (1996) yang menambahkan sejumlah aturan
keputusan untuk memfasilitasi suatu interpretasi yang konsisten dari cheklist. Sebagai
perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu, tema karyawan dibagi menjadi
kesehatan dan keselamatan karyawan. Pengembangan ini konsisten dengan
penelitian Gray et al., (1995a).
3.3.2
Ukuran Perusahaan
Dalam penelitian terdahulu, ukuran perusahaan telah
diukur dengan jumlah karyawan, nilai total aset, volume penjualan, atau ranking
indeks (seperti Fortune 500). Belkoui dan Karpik (1989) menggunakan log
penjulan bersih dalam penelitian mereka,
sedangkan Trotman dan Bradley (1981) menggunakan penjualan dan total aset.
Cowen et.
al. (1987) menggunakan rangking Fortune. Robert (1992) menggunakan rata-rata pendapatan selama empat tahun.
Patten (1991) menggunakan log penjualan, tetapi juga mengulang analisis dengan
ranking fortune 500. Jumlah karyawan, penjualan dan total aset telah tampak
berkorelasi (Kimberly, 1976).
Meskipun demikian, tidak ada
alasan teoritis yang ada untuk suatu ukuran dari ukuran perusahaan pada
penelitian ini maupun penelitian pengungkapan
lainnya. Penelitian ini menggunakan penjualan
bersih untuk pengukuran ukuran perusahaan seperti yang dilakukan oleh Belkoui
dan Karpiks (1989).
3.3.3
Profitabilitas Perusahaan
Profitabilitas dapat diartikan
sebagai kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Profitabilitas dapat diukur
dengan menggunakan Return on Asset (EBIT/ total
asset), hal ini dilakukan dalam penelitian Hackston dan Milne (1996); Cowen et. al., (1987).
3.3.4
Tipe industri
Variabel industri dalam penelitian
ini diukur sebagai suatu klasifikasi dikotomi industri menjadi high profile dan low profile. Robert
(1992) mendefinisikan industri high profile sebagai industri yang memiliki
visibilitas konsumen, resiko politik yang tinggi, atau kompetisi yang tinggi.
Robert (1992) menyatakan bahwa penelitian terdahulu yang mencakup industri
telah terdapat suatu hubungan sistematis antara karakteristik-karakteristik
tersebut dengan aktivitas pertanggung jawaban sosial. Tentu saja, semua
klasifikasi itu merupakan hal yang subyektif.
Patten
(1991) mengidentifikasi industri minyak, kimia, hutan dan kertas sebagai high profile untuk satu
penelitian. Dierkes dan
Preston (1977) menyatakan bahwa industri extractive adalah sangat visibel dan
karenanya menghadapi batasan-batasan hukum.
Robert (1992) memasukkan industri
automobil, penerbangan, dan minyak sebagai high
profile, sedangkan makanan, kesehatan dan produk personal, hotel dan produk
alat sebagai low profile. Hackston
dan Milne (1996) memasukkan semua industri yang diidentifikasi sebagai high profile pada penelitian diatas
sebagai high profile dengan
menambahkan industri pertanian, minuman keras dan rokok, serta media komunikasi
sebagai high profile karena industri
tersebut dominan
3.4
Teknik Analisis
3.4.1
Statistik Deskriptif
Statistik
Deskriptif digunakan untuk menggambarkan variabel-variabel dalam penelitian
ini. Alat analisis yang digunakan adalah rata-rata, maksimal, minimal dan
standar deviasi untuk mendiskripsikan variabel penelitian.
3.4.2 Uji Asumsi Klasik
Setelah data berhasil dikumpulkan,
sebelum dilakukan analisis terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap
penyimpangan Asumsi Klasik, dengan tahapan sebagai berikut :
1.
Uji Multikolinieritas (Multicolinearity):
Uji Multikolinieritas
digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linier diantara variabel-variabel
bebas dalam model regresi. Nilai Tolerance dan Variance Inflacation
Factor (VIF) digunakan untuk mendeteksi adanaya Multikolinearitas. Kedua
ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas mana yang dijelaskan oleh variabel
bebas lainnya. Tolerance mengukur
variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh
variabel bebas lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi
karena (VIF=1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang
tinggi. Nilai batas yang digunakan dalam penilaian ini adalah nilai tolerance yang mendekati 1atau sama dengan nilai VIF disekitar angka 10. Gejala
multikolinearitas akan diidentifikasi jika VIF lebih besar dari 10 (Gujarati,
1995).
2.
Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas
bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance
residual dari pengamatan satu ke
pengamatan yang lain. Jika variance residual
dari pengamatan satu ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut
homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Dalam
penelitian ini cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas
adalah dengan uji Glejser (Gujarati, 1995). Uji Glejser dilakukan dengan
meregres nilai absolut residual terhadap variabel bebasnya. Apabila terdapat
variabel bebas yang signifikan berpengaruh terhadap nilai absolut residual,
maka disimpulkan terjadi heteroskedastisitas.
3.4.3 Analisis Regresi
Hipotesis pertama, kedua,
ketiga dan keempat akan menguji pengaruh ukuran perusahaan, tipe industri, dan
profitabilitas terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Adapun model regresi ini ditunjukkan dalam persamaan :
|
Keterangan:
Y = Jumlah Pengungkapan sosial dan lingkungan
perusahaan
Ln Penj. Bersih = Logaritma
Natural dari Penjualan Bersih
Industri = Klasifikasi industri, variabel dummy dengan;
1 = high prpfile dan 0 = low
profile
R o A = Rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap
total aset
Sedangkan
prosedur pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2005), uji
normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa
uji t dan uji f mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal.
Kalau asumsi ini dilanggar, maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah
sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi
normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan uji ststistik.
Salah satu cara yang termudah dalam melihat normalitas residual
adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi
dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Namun demikian hanya dengan
melihat grafik dapat menyesatkan khususnya untuk jumlah sampel yang kecil. Metode
yang lebih handal adalah dengan melihat normal probability plot yang
membandingkan antara distribusi kumulatif
dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk garis lurus
diagonal dan ploting data residual akan
dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual
normal, maka garis yang menggambarkan data yang sebenarnya akan mengikuti garis
diagonalnya.
Uji t
Uji t dilakukan untuk mengatahui
apakah masing-masing atau secara parsial variabel independen berpengarus secara
signifikan terhadap variabel dependen.. Adapun langkah-langkah dalam
pengujiannya antara lain sebagai berikut:
1) Menentukan formulasi Ho dan Ha
Ho : b = 0 (tidak ada pengaruh
antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen)
Ha : b ¹ 0 (terdapat pengaruh
antara masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen)
2) Level of significant a = 0,05
3) Menentukan kriteria pengujian;
a. Ho diterima jika Sig ³ 0.05 maka Ha ditolak
yang berarti tidak ada pengaruh yang signifikan antara masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen.
b. Ha diterima jika Sig.
< 0.05 maka Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen.
Uji F
Uji F digunakan untuk menguji tingkat signifikan pengaruh
seluruh variabel-variabel bebas atau independent (X) terhadap variabel terikat
atau variabel dependent (Y). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan taraf
nyata (level of significant) sebesar
0.05. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 13, adapaun cara pengujiannya
adalah sebagai berikut:
Ho : β = 0, Variabel independen (X) tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen (Y)
Ha :
β ≠
0, Variabel independen (X)
berpengaruh terhadap variabel dependen (Y)
Dan kriteria keputusannya adalah sebagai berikut:
Ho diterima jika Sig ≥ 0.05, maka
Ha ditolak yang berarti bahwa variabel independen tidak berpengaruh secara
simultan terhadap variabel dependen.
Ha diterima jika Sig. < 0.05,
maka Ho ditolak yang berarti bahwa terdapat pengaruh secara simultan antara
variabel independen terhadap variabel dependen.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Statistik
Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai
responden yang dilihat dari nilai maksimum, nilai minimum, nilai rata-rata, dan
nilai standar deviasi. Berdasarkan analisis statistik deskriptif diperoleh
gambaran perusahaan sebagai berikut:
Tabel 1
Sumber: Data Sekunder yang Diolah; 2007
Berdasarkan tabel 1 di atas
menjelaskan mengenai gambaran responden atas variabel yang diteliti. Untuk
variabel yang pertama yaitu pengungkapan sosial memiliki nilai minimum sebesar
2, nilai maksimum sebesar 38, dan dengan nilai rata-rata sebesar 20.03 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 8.369. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan sosial pada perusahaan yang menjadi
sampel rata-rata adalah cukup besar, sedangkan untuk nilai standar deviasi yang
lebih kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa pengungkapan sosial dari
masing-masing perusahaan sampel memiliki besaran yang hampir sama antar
masing-masing sampel perusahaan. Untuk variabel yang kedua yaitu ukuran
perusahaan yang dinilai dengan logaritma dari penjualan bersih, nilai minimum
yang diperoleh yaitu sebesar 10.62, nilai maksimum sebesar 17.93, dan dengan
nilai rata-rata sebesar 13.94 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 1.50,
yang berarti bahwa ukuran perusahaan pada perusahaan sampel memiliki jumlah
yang relatif besar atau memiliki pendapatan dari hasil penjualan yang relatif
tinggi, sedangkan nilai standar deviasi yang lebih kecil dari nilai rata-rata
menunjukkan bahwa data ukuran perusahaan yang diukur dengan logaritma dari
penjualan bersih untuk perusahaan sampel memiliki perbedaan yang relatif kecil
atau hampir sama antar masing-masing perusahaan.
Sedangkan statistik deskriptif
untuk gambaran variabel yang ketiga yaitu Return
On Asset (ROA) memiliki nilai
minimum sebesar -27.34, nilai maksimum 29.99 dan dengan nilai rata-rata sebesar
2.37 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 7.79. Kondisi ini menunjukkan
bahwa Return On Asset dari
masing-masing perusahaan sampel memiliki nilai yang relatif kecil kecil atau
dapat dikatakan bahwa rata-rata perusahaan sampel memiliki nilai keuntungan
setelah pajak yang relatif kecil. Dan untuk variabel yang terakhir yaitu profil
perusahaan yang diukur dengan vaiabel dummy, yaitu 1 untuk high profile dan nilai 0 untuk perusahaan yang low profile memiliki nilai minimum sebesar 0, nilai maksimum
sebesar 1 dan dengan nilai rata-rata sebesar 0.63 serta dengan nilai standar
deviasi sebesar 0.49. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar rata-rata
untuk sampel perusahaan memiliki jenis perusahaan yang high profile yaitu ditunjukkan dengan nilai rata-rata sebesar 0.63
atau lebih besar dari 0.05. sedangkan untuk nilai standar deviasi yang lebih
kecil dari nilai rata-rata berarti data yang terkumpul mengenai tipe industri
memiliki besaran yang hampir sama antar masing-masing perusahaan.
4.2 Uji Asumsi Klasik
Untuk
mendukung kenbenaran interpretasi hasil analisis dengan model regresi, maka
dilakukan uji asumsi klasik berupa uji multikolienaritas dan
heteroskedastisitas.
Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan
untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
independent. Uji multikolinieritas dapat dilakukan dengan mencari nilai VIF,
nilai Tolerancce dan nilai Condition Index.
Berdasarkan tabel coefficients pada output regresi pertama
dapat terlihat bahwa nilai tolerance,
VIF, dan Condition Index untuk masing-masing variabel adalah:
Tabel 2
Nilai Tolerance dan VIF masing-masing variabel
Sumber: Data
sekunder yang diolah, 2007
Berdasarkan tabel 2 diatas
ditunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai Tolerance
menunjukan tidak ada variabel independen yang memiliki nilai Tolerance kurang dari 0.10 selain itu
hasil perhitungan nilai Variance
Inflation Factor (VIF) juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak ada satu
variabel independen yang memiliki nilai VIF lebih dari 10, serta untuk nilai Condition Index yang memiliki nilai
kurang dari 30. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi unsur
multikolinieritas antar variabel independen dalam model regresi.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dalam
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Uji Gletjer. Berdasarkan hasil regresi antara variabel independen
dengan variabel dependen yaitu nilai absolute
residual dari pengungkapan sosial adalah
sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil
Perhitungan Regresi Berganda Antara Variabel Independen (X)
Terhadap Absolut Residual dari Pengungkapan
Sosial (AbsUi)
Sumber: Data sekunder yang diolah; 2007
Berdasarkan perhitungan diatas
menunjukkan bahwa nilai signifikansi dari semua variabel independen adalah
tidak signifikan yaitu memiliki nilai yang lebih besar dari nilai batas
signifikansi 0.05, Hasil ini menunjukkan bahwa dalam data model empiris yang
diestimasi tidak terdapat Heteroskedastisitas atau data empiris yang diestimasi
terdapat Homoskedastisitas atau dapat dikatakan bahwa model persamaan sudah
baik.
Uji Normalitas
Model regresi yang baik adalah yang memiliki
distribusi normal atau mendekati normal. Untuk itu diperlukan uji normalitas,
yang dimaksudkan untuk menguji apakah variabel independent (terikat) dan
variabel dependen (bebas) dalam model regresi mempunyai distribusi normal apa
tidak. Pengujian distribusi normal dilakukan dengan cara melihat histogram yang
membandingkan data observasi dengan distribusi yang mendekati normal. Selain
itu uji normalitas dapat juga dengan menggunakan normal probability plot yang membandingkan distribusi komulatif
dari data yang sesungguhnya dengan distribusi komulatif dari data distribusi
normal. Jika distribusi normal maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya
akan mengikuti garis diagonalnya.
Gambar 2
Uji
normalitas
Gambar 3
Uji Normalitas
Pada grafik normal plot terlihat
titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, dengan penyebaran mengikuti arah
garis diagonal, selain itu untuk grafik histogram juga menunjukkan suatu pola
yang tidak menceng baik kekanan maupun kekiri. Dengan memperhatikan kedua
grafik tersebut dapat dikatakan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas
sehingga layak untuk digunakan..
4.3 Analisis Data
Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda dan dengan bantuan
program SPSS versi 13. Untuk
pengujian hipotesis pertama sampai pengujian hipotesis ketiga dilakukan dengan
menggunakan uji t. pegujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel
independen secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen. Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan alat analisis regresi
linier berganda di peroleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4
Ringkasan Hasil Persamaan Regresi Linier Berganda
Sumber:
Data Sekunder yang Diolah; 2007
Berdasarkan tabel di atas maka
dapat dibentuk suatu persamaan regresi yaitu sebagai berikut:
Y =
0.055X1 - 0.210X2 + 0.697X3 + 5.94
4.3.1
Pengujian Hipotesis
Pertama
Hipotesis
pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan sosial. Dalam rangka untuk pengujian hipotesis pertama
tersebut, maka dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda
dan berdasarkan pengujian hipotesis dengan menggunakan regresi linier berganda
yang telah dirangkum pada tabel 4 di atas, diperoleh hasil sebagai berikut:
Berdasarkan hasil tabel 4 di
atas, dapat diketahui bahwa secara parsial, ukuran perusahaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
variabel penungkapan sosial. Hasil perhitungan variabel ukuran perusahaan
terhadap pengungkapan sosial diperoleh nilai p-value sebesar 0.562, dimana nilai p-value tersebut lebih besar dari nilai level of significance 0,05. Hal ini membuktikan bahwa ukuran
perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sosial.
Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh nilai hubungan yang positif yaitu
ditunjukkan dari nilai koefisien regresi dan nilai thitung yang
positif sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan semakin tinggi ukuran
perusahaan maka kecenderungan pengungkapan sosial yang terjadi pada perusahaan akan mengalami peningkatan secara
tidak signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penungkapan sosial
maka hipotesis pertama yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
secara signifikan terhadap pengungkapan sosial tidak dapat dibuktikan atau hipotesis pertama yang diajukan dalam
penelitian ini ditolak.
4.3.2
Pengujian Hipotesis Kedua
Hipotesis
ketiga yang diajukan dalam penelitian ini adalah tipe industri berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan sosial. Dalam rangka pengujian hipotesis ketiga tersebut,
maka dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda.
Berdasarkan pengujian dengan
menggunakan regresi linier berganda yang telah dirangkum pada tabel 4 dapat
dijelaskan bahwa secara parsial, tipe
industri memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel pengungkapan
sosial. Hasil ini ditunjukkan dengan p-value
sebesar 0.000, dimana nilai tersebut
lebih kecil dari nilai level of
significance 0,05. Hal ini membuktikan bahwa profil industri berpengaruh
secara signifikan terhadap pengungkapan sosial. Berdasarkan hasil analisis
tersebut diperoleh nilai hubungan yang positif yaitu ditunjukkan dari nilai
koefisien regresi yang positif sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan
dengan jenis high profile maka
pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan tersebut akan lebih besar
bila dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki jenis low profile.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut yang menyatakan bahwa profil industri berpengaruh secara signifikan
terhadap pengungkapan sosial, maka hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa
profil perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sosial
dapat dibuktikan atau hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini
diterima.
4.3.3
Pengujian Hipotesis
Ketiga
Pengujian hipotesis kedua
dilakukan untuk menguji pengaruh antara Return
On Asset terhadap peungkapan sosial. Untuk mengetahui apakah variabel Return On Asset berpengaruh signifikan
terhadap pengungkapan sosial dan
seberapa kuat pengaruh Return On Asset terhadap
pengungkapan sosial, maka digunakan alat analisis regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil pengujian
dengan alat analisis regresi linier berganda yang dirangkum dalam tabel 4
diperoleh hasil bahwa secara langsung atau parsial variabel Return On Asset memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap pengungkapan sosial, hasil ini ditunjukkan dengan p-valuei sebesar 0.028 atau diatas nilai
level of significance (a=0.05). Berdasarkan perhitungan itu juga diperoleh
nilai koefisien regresi yang negatif, hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah
nilai Return On Asset maka
pengungkapan sosial yang dilakukan
oleh perusahaan akan semakin meningkat secara signifikan dan sebaliknya
perusahaan dengan nilai Return On Asset yang
semakin tinggi maka pengungkapan sosial yang dilakukan akan semakin menurun.
Berdasarkan hasil analisis
regresi linier berganda yang menyatakan bahwa variabel Return On Asset secara parsial memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap pengungkapan sosial, maka hipotesis kedua yang mengatakan
bahwa variabel Return On Asset berpengaruh
secara signifikan terhadap pengungkapan sosial dapat dibuktikan dalam
penelitian ini atau hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini
diterima..
4.3.4 Pengujian Hipotesis Keempat
Pengujian hipotesis yang terakhir
atau yang keempat yaitu apakah variabel independen secara simultan dapat
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk pengujian
hipotesis tersebut juga dilakukan dengan menggunakan alat analisis regresi
linier berganda yaitu dengan uji t. Adapun hasil pengujian tersebut dapat
dirangkum pada tabel berikut ini:
Tabel 5
ANOVA(b)
Model
|
Sum of
Squares
|
Df
|
Mean
Square
|
F
|
Sig.
|
|
1
|
Regression
|
2155.876
|
3
|
718.625
|
20.365
|
.000(a)
|
Residual
|
1976.058
|
56
|
35.287
|
|||
Total
|
4131.933
|
59
|
a
Predictors: (Constant), Tipe industri, ROA, Ukuran Perusahaan
b
Dependent Variable: Pengungkapan Sosial
Berdasarkan tabel di atas tersebut diperoleh hasil bahwa secara
simultan variabel independen (X) mempunyai kemampuan dalam mempengaruhi
variabel dependen secara signifikan. Hasil ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung
yaitu sebesar 20.365 dan dengan nilai signifkansi sebesar 0.000 atau lebih
kecil dari batas nilai signifkansi (α = 0.05). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa dalam rangka untuk menjelaskan pengungkapan sosial maka variabel ukuran
perusahaan, tipe industri dan ROA dapat digunakan secara bersama-sama.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut maka hipotesis keempat yang menyatakan bahwa secara simultan variabel
independen dapat mempengaruhi variabel dependen secara signifikan dapat
diterima atau hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini diterima.
5. KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Hasil analisis data menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan
antara ukuran perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan, yang
berarti bahwa semakin besar ukuran perusahaan, pengungkapan sosial dan
lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tidak selalu luas.
- Hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh yang negatif dan
signifikan antara Return On Asset
terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan, yang berarti bahwa semakin rendah Return On Asset maka pengungkapan sosial dan lingkungan yang
dilakukan perusahaan akan semakin luas.
- Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linier berganda
menunjukkan bahwa variabel tipe industri memiliki pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap pengungkapan sosial,
- Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan regresi linier berganda
yaitu dengan uji t bahwa secara simultan variabel independen (X) mempunyai
kemampuan dalam mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
5.2 Keterbatasan
- Sampel yang digunakan dalam penelitian ini hanya sedikit yaitu dengan
jumlah sampel sebanyak 60 perusahaan yang disebabkan karena penggunaan
sampel hanya pada sebagian perusahaan manufaktur yang melakukan pengungkapan
sosial dan lingkungan.
- Penelitian ini hanya
menggunakan indikator ukuran perusahaan, Return On Asset, dan tipe industri. Oleh karena itu untuk
penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel yang lain
dengan tujuan agar hasil yang didapatkan dalam menjelaskan pengungkapan
sosial dan lingkungan akan semakin
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Belkaoui, .A dan
Karpik, P.G. (1989), " Determinant of the corporate decision to disclose
social information", Accounting, Auditing and
Accountability Journal, vol. 2 No. l. pp. 36-51
Gray, R., Kouhy, R
dan Laver, S. (1995a), “Corporate social and environmental reporting: a review
of the literature and a longitudinal study of UK disclosure”, Accounting, Auditing and
Accountubility Journal, Vol. 8 No. 2 pp. 78-101.
Gray, R, Owen D., dan
Adams, C. (1996), Accounting and Accountability, Prentice Hall Europe.
Gray, R., Owen, D.
dan Maunders, K. (1987), Corporate Social Reporting:
Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London.
Gujarati, Damodar N.,
1995. Basic Econometrics. Third Edition. Me. Graw-Hill.
Guthrie, J. dan
Mathews, M.R. (1985), "Corporate social accounting in Australia" in
Preston, LE. (Ed.), Research in Corporate Social
Performance and Policy, Vol. 7. Pp.251-77
Guthrie, J. dan
Parker, L.D. (1990), "Corporate social disclosure practice: a comparative
international analysis", Advances
in Public Interest Accounting, Vol. 3. Pp. 159-75.
Hackston, David. dan Markus, J Milne, (1996), "Some determinants
of social and environmental disclosures in New Zealand Companies", Accounting,
Auditing and Accountability Journal, Vol. 9 No. 1, pp. 77-108.
Kelly, G.J (1981) "Australian social
responsibility disclosure: some insights into contempory measurement", Accounting
and Finance, Vol. 21 No. 2, pp. 97-104.
Krippendorff, K. (1980), Content Analysis: An
Introduction to its Methodology, Sage, London.
Ng, L. W. (1985), "Social
responsibility disclosures of selected New Zealand companies for 1981, 1982, 1983",
Occasional paper No. 54, Massey University, Palmerston
North.
Patten, D. M. (1991), "Exposure,
legitimacy, and social disclosure", Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308.
PSAK (revisi
1998)
Roberts, R.W. (1992), "Determinants
of corporate social responsibility disclosure: an application of stakeholder
theory", Accounting, Organizations and Society Vol. 17 No. 6, pp. 595-612