MEMASARKAN PERGURUAN TINGGI BERBADAN
HUKUM (PT BHP) DENGAN PUBLIC RELATIONS
MARKETTING COLLEGE GETS LEGAL BODY (PT
BHP) WITH PUBLIC RELATIONS
Umar Farouk
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
ABSTRACT
The government’s policy to
change the status of higher educations from the state higher educations into
the corporate body higher educations
makes all higher educations have to market their educations by utilizing mega
marketing approach. This means that the roles of public relations cannot be
avoided. This article discusses the
importance of the roles of public relations to market higher educations and its
underlying reasons.
Key words:
state higher educations, body state higher educations, public relations
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) telah membawa perubahan
besar dalam pengelolaan Perguruan Tinggi. Pasal 53 Undang-Undang Sisdiknas ini mengamanatkan
dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 53 UU
Sisdikanas ini pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Sebagaimana yang
tertuang di dalam Rancangan Undang-Undang BHP, alasan pemerintah untuk
menetapkan UU tentang BHP adalah:
- bahwa
untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, diperlukan otonomi
dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis
sekolah/madarasah pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan
dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
- bahwa
otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dapat diwujudkan, jika
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum
pendidikan yang berfungsi memberikan pelayanan yang adil dan bermutu
kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara
mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
- bahwa
agar badan hukum pendidikan menjadi landasan hukum bagi penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan dalam mengelola pendidikan formal, maka badan
hukum pendidikan tersebut perlu diatur dengan undang-undang.
Hal
penting yang perlu
dicatat mengenai UU
tentang BHP ini adalah bahwa dengan
otonomi yang telah diberikan pemerintah ini maka perguruan tinggi tidak lagi
secara penuh didanai oleh pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD
45. Sebaliknya perguruan tinggi harus
mencari dana untuk mengembangkan perguruan tingginya itu. Dengan kata lain perguruan tinggi dikelola
dengan pendekatan korporat meskipun pemerintah menyatakan sebagai badan hukum
yang nirlaba.
Pembentukan
perguruan tinggi sebagai badan hukum pendidikan jika kita telusuri jejaknya ke
belakang sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61/1999 tentang
Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
Sebagaimana
yang tertuang dalam PP N0. 61/1999
tentang Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN),
pemerintah telah menetapkan kebijakan baru dalam pengelolaan Perguruan
Tinggi (PT). Perguruan Tinggi yang pada
saat kebijakan baru ini belum dikeluarkan oleh pemerintah merupakan institusi yang
bersifat cost center atau non profit (nirlaba), setelah penetapan
kebijakan baru kemudian menjadi institusi yang bersifat profit center atau profit
motive (mencari laba). Lepas dari kontroversi kebijakan baru ini jika
dilihat dari perspektif politik,
pemerintah berharap bahwa dengan model PT BHMN,
PT dapat menjual PT masing-masing untuk mendapatkan dana dari masyarakat
untuk meningkatkan mutu pendidikan di PT-PT tersebut. Dalam bahasa politik pemerintah, secara lebih
rinci dinyatakan bahwa perubahan status PT menjadi PT BHMN adalah untuk mendapatkan
manfaat (Jalal dan Supriadi, 2001: 398)
sebagai berikut:
- Mencegah
terjadinya dilema kualitas dan kuantitas.
- Memberikan
kontribusi kepada usaha nasional dalam melakukan pembenahan sturuktural.
- Meningkatkan
rasa memiliki dan efisiensi serta menjamin sustainabilitas.
- Meningkatkan
relevansi dan akuntabilitas.
- Meningkatkan
kinerja manajemen internal dan mengembangkan suasana akademik yang lebih
kondusif.
- Meningkatkan
efisiensi sistem secara keseluruhan.
Bagi
PT konsekwensi logis dari diberlakukannya
kebijakan ini adalah wajib melaksanakan
kebijakan pemerintah tersebut tanpa syarat apa pun karena PT adalah bagian dari
birokrasi pemerintah. Dengan demikian berarti PT harus mengelola institusinya
dengan pendekatan komersial. PT harus
mulai mencari pasar yang dapat memberikan profit yang memadai. Kiat-kiat
pemasaran pun harus ditempuh sebagaimana yang dilakukan oleh sebuah perusahaan
pada umumnya. Kompetisi antar PT untuk
menjual jasa pendidikannya dan produk-produk PT lainnya tak terhindarkan lagi
pasti akan terjadi. Hukum pasar ekonomi
pun tak bisa dielakkan lagi. Ada
hukum demand and supply yang harus
menjadi pertimbangan dalam rangka menjaga mutu produk-produk PT. Artinya besarnya keinginan masyarakat untuk
membeli produk PT sangat tergantung pada pelayanan seperti apa yang dapat
diberikan oleh PT-PT tersebut kepada masyarakat. Perguruan Tinggi yang dapat
menjual produk-produk yang bermutu akan lebih diminati oleh masyarakat
yang menjadi konsumennya daripada PT yang mutunya rendah.
Menghadapi
kenyataan tersebut banyak PT yang mulai menata dengan lebih sungguh-sungguh
sistem manajemen pengelolaan perguruan tingginya. Hal ini dapat dilihat seperti yang dilakukan
oleh empat PT yang saat ini telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai pilot project PT BHMN, yaitu UI, ITB,
UGM, dan IPB. Keempat PT BHMN ini telah secara periodik mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk meningkatkan penyelenggaran pendidikan di PT BHMN-nya
masing-masing. Pada tanggal 19 Agustus
2003, misalnya, empat PT BHMN mengadakan pertemuan di UGM (Yogya – Round) untuk membahas landasan hukum
bagi PT BHMN; strategi mutu, pendidikan dan kelembagaan PT BHMN; sistem
akuntansi dan manajemen keuangan PT BHMN; dan peran bidang Marketing dan Public
Relations untuk lebih dapat meningkatkan pemasaran PT BHMN yang memang
harus dipasarkan dengan lebih profesional layaknya sebuah business enterprise.( http//www .itb.ac.id)
Sebelum
dikeluarkannya PP No. 61/1999 tentang BHMN, upaya pemerintah
untuk menjadikan PT sebagai badan yang otonom telah
tampak dengan dibentuknya PT sebagai Badan Umum Milik Universitas (BUMU)
dan Badan Umum Milik
Institut (BUMI) yang melegalkan Universitas
dan Institut untuk mencari dana
secara komersial untuk mendanai pengembangan perguruan tinggi masing-masing.
(http//www//zkarnain.tripod.com)
Dari
tahapan kronologis perjalanan pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi
pendidikan di perguruan tinggi ini, yakni dimulai dengan BUMU atau BUMI, PT
BHMN dan yang terakhir PT BHP, jelas dapat dirasakan kesungguhan pemerintah
untuk benar-benar menjadikan PT sebagai badan yang otonom meskipun resistensi
masyarakat dapat dikatakan sangat besar.
Untuk itulah bagaimanapun juga PT harus mempersiapkan diri untuk mengelola PT
masing-masing dengan manajemen yang lebih profesional. Disamping peningkatan
mutu layanan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang tercakup
dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, perlu pula mulai diterapkan sistem pemasaran
yang efektif dan pelaksanaan kegiatan public
relations.
II.
Memasarkan PT BHP dengan Public Relations
Bidang marketing (pemasaran) saat ini telah memasuki tahapan yang amat
penting karena marketing tidak lagi hanya membicarakan masalah produk atau
barang tetapi juga membicarakan masalah manusia. Para pemain bisnis telah menyadari bahwa
ketika kita berhubungan dengan konsumen maka sesungguhnya kita tengah
berhadapan dengan manusia yang ketika membeli produk tidak semata-mata
mempertimbangkan mutu produknya saja tetapi juga mempertimbangkan unsur-unsur
subjektif lainnya. Unsur-unsur subjektif tersebut seperti rasa suka atau tidak suka terhadap
produsen atau penjual dan citra (image)
yang dipersepsikan oleh konsumen itu terhadap perusahaan yang memproduksi
barang yang dijual tersebut.