Laman

PEMBANGUNAN MODAL SOSIAL PADA IKM


Utami Tri Sulistyorini
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H.Sudarto, SH, Tembalang,Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061


ABSTRACT
This research is based on the important role of social capital development , So the objective of this research is to anwer how social capital will be developed  The outcome of this research is a model of social capital development in SM. This model is broken down into two models are  (1) An interaction model between trust, structural and cognitive social capital. (2) An interaction model between social capital and institution activities.
This research uses qualitative approach. The reason is the study will be conducted about behavior which has difficulty to account .SM furniture Jepara and Surakarta have been chosen as unit analysis. The choice is based on the characteristif of SM furniture in these two areas. SM Furnitur The amount unit analysis are 6 ; 3 in Jepara dan 3 in Surakarta. In each unit analysis at least 3 manager will be interview deeply.
The managerial implication is to develop social capital company should develop openness between partner. The successful of social capital development will reduce coordination and interaction cost significantly. Strategically involved in social activities and wisely build social relation can save transaction cost significantly in searching information dan economic opportunity. Knowledge sharing will increase trust dan further tied network. Because of social capital companies are interacted and result collective learning. Collective learning embedded organization system and all partner get benefit from technological  and managerial innovation
Because this research chose qualitative approach  so the weakness of qualitative approach can be a limitation of this research which is lack of generalization. So for further research should try another approach that can be more generalized. Beside that knowledge transfer may include as variable on social development research. Studi longitudinal study with sample size more broader is suggested for gaining notes of changing in social capital development in the company. 

Key words: Cognitive Social Capital, Structural Social Capital and Trust

PENDAHULUAN
Menurut Dinas Perindustrian di Jateng (2007) salah satu penyebab penurunan kinerja IKM di Jateng adalah kurang mampunya pelaku IKM furnitur kayu di Jateng untuk membangun jejaring hubungan interpersonal yang menjadi dasar keberhasilan perusahaan. Kurangnya kemampuan untuk membangun jejaring internal ini dapat diakibatkan oleh tidak adanya kepercayaan (trust) yang mendukung koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Hal ini berdampak pada sulitnya IKM untuk mengantisipasi ancaman dan mengeksploitasi peluang pasar.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pembangunan modal sosial merupakan salah satu dasar keberhasilan IKM. Pertanyaannya adalah bagaimana modal sosial dibangun oleh IKM. Jawaban pertanyaan ini dapat diawali dari hasil penelitian Melander dan Nordqvist (2002). Mereka menganalisis bagaimana social capital dan trust dibangun IKM dengan studi kasus IKM furnitur di Swedia. Pilihan IKM furnitur ini berdasarkan pada kegiatan yang dilakukan oleh IKM yang cenderung menggunakan teknologi dan melakukan aktivitas inovasi. Hal yang menarik dari penelitian Melander dan Nordqvist ini adalah bahwa pembangunan social capital dan trust pada IKM furnitur di Swedia membutuhkan tekanan eksternal (seperti institusi penyedia insentif) dan perubahan internal. Hal ini disebabkan karena:
1)      IKM furnitur di Swedia didominasi oleh tradisi, kerjasama rendah, autokratis dan sangat mandiri yang berdampak pada keinginan bersaing yang besar antar IKM dan sangat sulit untuk dibangun kerjasama antar IKM, khususnya pada saat peningkatan ekspor.
2)      IKM furnitur di Swedia sangat konservatif, mempertahankan daerahnya, mereka sangat sulit bekerjasama, mereka bahkan tidak tahu bagaimana bernegosiasi
3)      IKM furnitur di Swedia jarang memiliki hubungan dengan lingkungan luar, kehidupannya tertuju pada bisnisnya. 
Jelas sekali karakteristik IKM furnitur di Swedia sangat berbeda dengan karakteristik IKM furnitur di Jateng, meskipun sama – sama memasuki pasar ekspor dan sebagaian besar penjualannya karena pesanan, namun pelaku IKM furnitur di Jateng memiliki kemampuan bernegosiasi, serta terbuka untuk bekerjasama. Sehingga akan sangat menarik untuk meneliti lebih jauh tentang “apakah trust dan social capital dibangun dengan cara yang sama pada IKM furnitur yang memiliki perbedaan karekateristik ?”, dan apakah trust dan social capital dapat lebih berhasil dibangun IKM furnitur jayu di Jateng dengan memanfaatkan peran institusi bukan sebagai penekan melainkan sebagai pendukung ?”.
Berdasarkan pembahasan di atas maka penelitian ini akan berusaha mengkaji bagaimana modal sosial dibangun oleh IKM. Kajian ini juga diperkuat oleh pendapat Nooteboom (2007, hal. 31) yang menyatakan bahwa mungkin lebih dari Negara maju yang membutuhkan social capital untuk mencapai efisiensi, pembagian tenaga kerja, dan inovasi melalui kombinasi baru, Negara sedang berkembang yang sebagian dasar social capitalnya adalah trust personal, yang kemudian tidak dikombinasikan dengan dasar trust yang lain, mengunci orang ke dalam komunitas tertutup dan  sangat lokal, dan menahan mereka dari perspektif pembangunan yang lebih luas, dari efisiensi dan inovasi, dalam kelompok yang beragam dan lebih luas. Sehingga akan sangat menarik untuk menganalisis secara detail institusi yang mendukung munculnya trust dan memperluas dasar untuk trust

KAJIAN PUSTAKA
Modal Sosial
Social capital memiliki banyak intrerpretasi, seperti Schuller (2000, dalam Huang, 2003, hal. 5), menyatakan bahwa social capital bersifat fleksibel, dapat digunakan dalam berbagai cara dan dalam berbagai konteks. Para ahli ekonomi mendefinisikan social capital dengan cara sangat tangibel, sebagai infrastruktur fisik atau modal finansial. Disini social capital dapat berarti semua bentuk modal; modal alam, ekonomi ataupun modal manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila social capital sering disebut sebagai keranjang sampah. Terlepas dari kelemahan ini social capital dipandang oleh Putnam (2000), Fukuyama (1995), Coleman (1988), Bourdieu (1986), Narayan dan Cassidy (2001), dan Dasgupta dan Serageldin (2000) sebagai perspektif teoritis yang digunakan untuk memahami dan memprediksi norma dan hubungan sosial yang terdapat pada struktur sosial atau masyarakat. Hubungan sosial ini membentuk jejaring yang mampu memenuhi kebutuhan sumberdaya, yang digunakan untuk melakukan aktivitas, dan menyediakan modal sendiri yang dikumpulkan secara kolektif, sehingga mendorong peningkatan ekonomi baik bagi individu maupun komunitas dimana jejaring hubungan sosial tersebut terbentuk.
Putnam (2000) memandang social capital sebagai sekumpulan asosiasi horisontal antar orang yang memiliki dampak pada produktivitas masyarakat; social capital me-rupakan pola hubungan sosial yang mampu membuat orang mengkoordinasikan aktivitasnya untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Asosiasi ini meliputi jejaring masyarakat dan norma sosial. Dalam kaitan ini jejaring dan norma berhubungan secara empiris, dan keduanya memiliki konsekuensi ekonomi. Bagi Putnam social capital termasuk di dalamnya trust, norma, dan networks, yang mendorong kerjasama, yang berlangsung dalam jangka panjang. Dalam pembangunan social capital dalam perusahaan, Putnam memandang social capital sebagai fitur sosial perusahaan seperti jejaring, norma – norma, dan trust yang mendukung koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Menurut Putnam (2000, hal. 22) terdapat dua dimensi jejaring sosial yaitu; bonding dan bridging. Bonding merupakan hubungan ke dalam komunitas yang cenderung memunculkan eklusifitas identitas dan kelompok homogen. Sedangkan bridging merupakan jejaring terbuka yang memberikan kesempatan pada anggota untuk berhubungan dengan kelompok lainnya. Bonding di satu sisi membuat keluarga dan kerabat saling perduli, namun di sisi lain menimbulkan pembentukan jejaring yang berdasar pada eklusivitas agresif dan membahayakan masyarakat. Bonding social capital berkaitan dengan penggalian dampak ikatan internal kolektif dan hubungan jejaring dalam kolektif tersebut, sedangkan bridging social capital fokus pada individual dan hubungan jejaring. Dibandingkan dengan bonding, bridging menekankan pada ikatan sosial eksternal individual dan bagaimana social capital sebagai sumberdaya dalam jejaring tersebut digunakan untuk kepentingan atau keuntungan individual. Berbeda dengan Putnam, Woolcock (1998 dalam Patulny & Svendsen, 2007, hal.33) mengenalkan linking sebagai dimensi jejaring sosial. Linking merupakan hubungan yang dibangun oleh komunitas dengan institusi ekonomi, politik dan sosial. Menurut Patulny dan Svendsen, linking ini bukan merupakan bagian yang jelas dari interaksi sosial setiap hari, dan overlaping dengan konsep lain seperti kepercayaan kepada pemerintah dan kinerja demokrasi. Sehingga konsep linking ini menjadi prematur, oleh sebab itu penggunaan linking dalam pengukuran jejaring sosial perlu berhati – hati sebelum konsep linking ini jelas.
Fukuyama (1995) menggunakan social capital untuk menjelaskan mengapa suatu Negara lebih berhasil secara ekonomi dibandingkan Negara lain. Fukuyama memandang social capital sebagai trust, dan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama kelompok atau organisasi. Fukuyama membandingkan kekuatan social capital sejumlah Negara, dan menyimpulkan bahwa tingkat social capital dan loyalitas yang tinggi membuat individu bekerja secara kooperatif dalam perusahaan sehingga mendorong kemajuan ekonomi.
Menurut Coleman (1988) social capital setara dengan konsep modal finansial, fisik, dan manusia, hanya saja social capital menjadi dasar hubungan antar orang. Oleh Coleman konsep social capital dedifinisikan sesuai dengan fungsinya, bahwa social capital bukan tunggal melainkan beragam yang memiliki dua karakteristik yaitu; mengandung beberapa aspek struktur sosial dan memfasilitasi aktivitas tertentu individu dalam struktur tersebut. Dalam konsep ini, Coleman menggambarkan bagaimana struktur sosial kelompok dapat difungsikan sebagai sumberdaya bagi individu kelompok tersebut. Dalam kaitan ini Coleman menyebutkan tiga dimensi social capital yaitu; (1) Kewajiban dan harapan yang berdasar pada lingkungan sosial yang dapat dipercaya; (2) Kapasitas aliran informasi dari struktur sosial; (3) Norma yang dipaksa melalui hukuman. Dalam keluarga social capital adalah hubungan antara orang tua dan anak – anak. Di luar keluarga social capital adalah hubungan sosial yang terjadi antar orang tua. Dapat dikatakan bahwa social capital  muncul dengan tujuan non ekonomi namun membawa konsekuensi ekonomi. Disini Coleman, mendefinisikan social capital secara lebih luas dengan memasukkan baik hubungan horisontal maupun vertikal dan perilaku dalam pembangunan social capital. Konsep ini sangat berhubungan dengan perilaku perusahaan dalam institusional ekonomi, yang bertujuan meminimumkan biaya transaksi,  Hubungan vertikal dan horisontal dalam pembangunan social capital dapat bertujuan baik positif ataupun negatif. Sebagai misal social capital yang memiliki tujuan untuk membantu kegiatan sekelompok orang mungkin akan merugikan kelompok lainnya. Coleman menambahkan bahwa kenyataannya social capital tidak hanya meliputi struktur sosial namun juga pembauran norma yang menjadi dasar perilaku interpersonal.
Bourdieu (1986) memandang social capital sebagai keseluruhan sumberdaya aktual dan potensial yang dihubungkan dengan kepemilikan jejaring hubungan atau hubungan saling menguntungkan dalam komunitas. Hubungan sosial ini merupakan sumberdaya yang bernilai untuk melakukan pertukaran sosial maupun ekonomi, yang menimbulkan aset kolektif yang menguntungkan baik individu yang berada dalam komunitas tersebut maupun komunitas itu sendiri.  Social capital dapat diaktifkan dengan keanggotaan organisasi dan jejaring sosial, melalui (1) jejaring hubungan yang saling menguntungkan; (2) kontak atau hubungan yang dibawa oleh network; (3) jejaring khusus, yang memiliki keanggotaan yang terbatas.
Narayan dan Cassidy (2001, hal. 59) mengambil pendapat Portes (1998) tentang social capital, yang menyatakan bahwa social capital merupakan kemampuan aktor untuk memperoleh keuntungan melalui keanggotaan dari jejaring sosial atau struktur sosial lainnya. Dengan kata lain keuntungan diperoleh melalui sosialisasi. Disini sosialisasi berproses menuju internalisasi nilai – nilai dan norma – norma khusus yang dapat diambil keuntungannya oleh anggota lainnya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa social capital hanya akan dimiliki jika seseorang berhubungan dengan orang lain, yang mampu menghasilkan keuntungan bagi dirinya. Atau social capital hanya muncul jika dibagikan. Implikasi praktis social capital dapat jadi menguntungkan ataupun merugikan. Social capital dapat berdampak pada peningkatan pendapatan, melalui solidaritas dan kepercayaan yang menciptakan hasil positif yang adil bagi seluruh anggota. Di sisi lain social capital hanya menguntungkan kelompok sosial tertentu dan membebani kelompok sosial lainnya melalui peraturan yang dibuat.
Dasgupta dan Serageldin (2000) memandang perlunya untuk memahami social capital pada aras institusi makro dan mikro. Pemahaman ini dibutuhkan bukan hanya karena social capital mempengaruhi hasil ekonomi melainkan juga memperkuat dampak social capital.. Institusi makro dapat menyediakan lingkungan kondusif bagi institusi kecil untuk berkembang. Sebaliknya asosiasi lokal membantu keberlangsungan institusi regional dan nasional dan memberi mereka ukuran stabilitas. Kunci penting dalam interaksi institusi makro dan mikro ini adalah berbagi nilai, norma – norma, dan saling percaya.
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa dimensi utama dari social capital adalah jejaring social dan trust, karena trust memberikan dasar untuk jejaring sosial dan jejaring sosial merupakan kendaraaan bagi trust. Dalam kaitan ini trust dan jejaring sosial diciptakan melalui proses interaksi dan pembelajaran dalam suatu komunitas, dimana komunitas yang berbeda akan menghasilkan tingkat social capital yang berbeda. Perbedaan kepemilikan tingkat social capital, menyebabkan komunitas yang memiliki cadangan social capital lebih banyak akan mampu menyuburkan jejaring ekonomi. Trust membantu koordinasi dalam komunitas, dan jejaring sosial menurunkan biaya pencarian, maka dapat dikatakan bahwa social capital menurunkan biaya transaksi, dan dapat dipandang sebagai aset ekonomi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Melander dan Nordqvist (2002) yang mengacu hasil penelitian Putnam (1993) di Itali; Porter (1998) di USA, Itali, dan Portugal, dan Lorenzen (1999) di Denmark, yang menyimpulkan bahwa tingkat trust yang tinggi dan jejaring social yang ekstensif menunjukkan akumulasi social capital yang mendorong kapabilitas ekonomi.
Dalam kaitan penerapan sosial capital di perusahaan,  Nahapiet dan Ghosal (1998) menyatakan bahwa pembangunan sosial capital dalam perusahaan merupakan sumber keunggulan bersaing, karena social capital memperkuat jejaring hubungan interpersonal yang merupakan dasar keberhasilan perusahaan. Menurut Nahapiet dan Ghosal sosial capital memiliki tiga dimensi yaitu: structural social capital, relational social capital) dan cognitive social capital..
Structural social capital merupakan jejaring struktural dalam perusahaan seperti hubungan antar individu, bentuk hubungan dan keselarasan hubungan. Jejaring struktural ini meliputi pengikatan, pembentukan, dan kesesuaian jejaring. Pengikatan jejaring menghubungkan antar anggota dalam organisasi. Untuk menjelaskan bagaimana structurall social capital  ini bekerja dalam perusahaan, Nahapiet dan Ghosal mengambil hasil penelitian; Krachhard & Hanson (1993) yang menyatakan hubungan antar anggota dalam organisasi memiliki pengaruh yang penting dalam transfer informasi, pembelajaran organisasional (Fisher & Whiel, 2000), dan pelaksanaan aktivitas perusahaan (Shah, 2000). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa transfer informasi dan pengetahaun dalam perusahaan akan terjadi ketika karyawan saling berhubungan. Dengan demikian aktivitas perusahaan akan lebih efisien jika individu dalam perusahaan saling mengenal dengan baik atau terjadi hubungan interpersonal.
Jejaring formal maupun informal memiliki peran penting dalam keseluruhan pembangunan hubungan interpersonal. Pemahaman tentang pembentukan jejaring struktural ditentukan oleh dimensi - dimensi seperti: lingkaran struktural (terdapatnya hubungan antar pekerja ), sentralisasi (tingkat konsentrasi hubungan antar pekerja), dan densitas (jumlah pekerja yang saling berhubungan relatif terhadap jumlah hubungan potensial seluruh pekerja), (Ibarra, 1992, dalam Bolino, Turnley & Bloodgood, 2002, hal. 510) Ke tiga karakteristik ini merupakan determinan kunci bagi pergerakan informasi, pengetahuan, bantuan dalam organisasi, sepanjang hal ini berkaitan dengan hubungan individual sederhana. Berbeda dengan Ibarra (1992), Weven, Martens dan Vandenbempt ( 2005, hal. 1527) menyatakan terdapat dua dimensi atau dimensi dari structural social capital yaitu network structure dan structural features of the network. Struktur jejaring ini dapat diukur dari jumlah ikatan langsung dan tidak langsung, frekuensi interaksi, jumlah lubang struktural (tingkat dimana perusahaan partner saling terhubung), ekuivalen struktural (kesamaan ikatan). Sedangkan fitur jejaring dapat diukur melalui densitas dan sentralitas. Pengukuran fitur jejaring juga dapat dilakukan melalui jenis jejaring structural yang terbentuk seperti bonding, bridging ataupun linking. (Putnam, 2000, & Woolcock, 1998).
Kesesuaian jejaring dapat mempengaruhi secara signifikan aliran informasi dan bantuan dalam suatu jejaring. Kesesuaian jejaring berkaitan dengan kemudahan berbagai bentuk hubungan dapat ditransfer dalam jejaring. Sebagai contoh, seorang pekerja mungkin dapat menyelesaikan tugasnya dengan mudah karena ia memiliki teman yang ahli di bidang pekerjaan tersebut. Hubungan yang terbentuk antar individu adalah informal, sehingga jejaring yang terbentuk untuk satu tujuan tertentu mungkin berguna untuk tujuan yang lain.
Relational Social capital merupakan hubungan yang ditunjukkan dengan adanya tingkat kepercayaan yang tinggi, berbagi norma, pandangan, kewajiban, dan rasa saling memiliki. Pengertian ini sesuai dengan definisi Granovetter (1973, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 510), yang mendefinisikan relational social capital sebagai hubungan antar individu yang ditandai dengan kepercayaan, timbal balik, dan intensitas emosional. Sedangkan Krackhard dan Hanson (1993, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511) mendefinisikan relational social capital relational sebagai hubungan interpersonal yang terjadi secara alami. Dengan demikian relational social capital berkaitan dengan hubungan antar pekerja dalam satu perusahaan yang saling bekerjasama, saling percaya, dan saling terikat, yang akan berdampak pada kinerja perusahaan dimana kelompok tersebut berada.
Krackhard dan Hanson, menyatakan bahwa individual dalam kelompok merasa lebih nyaman dengan ketidakpastian dan tidak menolak perubahan ketika mereka saling menyukai. Sedangkan menurut Mullen & Cooper (1991, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511), ketertarikan interpersonal merupakan komponen kunci bagi keberhasilan kelompok, khususnya untuk kelompok kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok kerja dalam perusahaan (IKM) yang di dalamnya, para anggotanya saling menyukai akan lebih fleksibel, lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, dan memiliki kinerja yang lebih tinggi.
Saling percaya muncul dari keyakinan akan niat yang baik, keterbukaan, kompetensi, kehandalan dari individu/kelompok lain (Mishiro, 1996 dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002). Jones & George (1998, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511) menambahkan bahwa kepecayaan membantu pertukaran sosial dan sumberdaya, meningkatkan komunikasi, mengembangkan kerjasama antar anggota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi (trust) dalam perusahaan (IKM) akan mengembangkan tim kerja, dan memperbaiki fungsi organisasional perusahaan yang merupakan iklim yang kondusif bagi aktivitas inovasi..
Cognitive social capital berkaitan dengan kemampuan individu dalam perusahaan untuk memahami satu dengan lainnya. Saling memahami antar pekerja dicapai melalui saling tukar bahasa, dan berbagi cerita. Ketika berbagi bahasa dan cerita terjadi, pekerja dapat lebih mudah mendiskusikan masalahnya, mentransfer ide, berbagi pengetahuan, dan saling menolong. Aspek cognitive social capital berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa dan mengkomunikasikan bahasa tersebut kepada individu lain (Weich, 1995 dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511) Berbagi bahasa menolong anggota organisasi dengan kemampuan komunikasi yang lebih efektif (Boisot, 1995 dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511); sedangkan berbagi cerita membantu anggota organisasi mengartikan, dan memahami pengalaman masing – masing. Dengan demikian baik berbagi bahasa maupun cerita mampu meningkatkan tingkat pemahaman anggota organisasi yang berakibat pada; meningkatnya kemampuan untuk mengantisipasi dan memprediksi aktivitas rekan kerja, sehingga memfasilitasi penggunaan input dari berbagai anggota, dan mengadaptasi perubahan kondisi; dan meningkatnya efisiensi yang diperoleh melalui rasa saling menyadari, dan penurunan dari perilaku yang tidak dikehendaki dalam organisasi.
Liao & Welsch (2005, hal. 352) menyatakan bahwa ke tiga dimensi social capital (structural, relational, dan cognitive social capital) tidaklah berdiri sendiri melainkan saling terkait. Structural social capital merupakan bentuk dasar dari sosial capital yang mampu memunculkan modal sosial relasional dan kognitif. Tanpa jejaring perusahaan tidak akan mampu membentuk hubungan saling percaya, dan tidak mungkin berbagi norma dan nilai. Atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat interaksi akan semakin mudah untuk membangun kepercayaan, dan lebih mudah informasi, dan sumberdaya dipertukarkan dalam jejaring. Disatu sisi aktivitas perusahaan dibentuk oleh norma – norma dan nilai – nilai jejaring perusahaan, di sisi lain interaksi dan ikatan sosial yang kuat dalam jejaring perusahan memainkan peran penting dalam mempengaruhi dan pembentukan norma – norma dan nilai – nilai jejaring. Jejaring yang berbagi norma dan kepercayaan akan lebih dapat membangun hubungan saling percaya inter dan intra perusahaan.

Trust  dan Cognitive Social Capital
Studi Levin dan Cross (2004) mencoba menjelaskan arti penting relational dan structural social capital dalam penerimaan pengetahuan baik yang dinyatakan (explicit) maupun yang tidak dinyatakan (tacit). Dalam kaitan ini Levin dan Cross mengajukan model pertukaran dua kelompok pengetahuan tersebut.
Menurut Levin dan Cross ikatan kuat biasanya memperbaiki transfer pengetahuan antara ilmuwan dan pelaksana, namun trust dapat menggantikan tugas ini ketika ikatan lemah terjadi. Structural social capital manifestasi dari ikatan interaksi sosial yang merangsang trust, yang mengarahkan pada  pertukaran sumberdaya termasuk pengetahu-an antar departemen. Terdapat dua dimensi trust yang bisa digunakan yaitu : benevolence – based trust (yang memiliki komponen afektif) dan competence – based trust (yang memiliki komponen kognitif komponen).
Menggunakan pendapat pada umumnya peneliti, Levin dan Cross membedakan pengetahuan kedalam explisit (yaitu pengetahuan yang dapat dibuat kode) dan tacit (yaitu pengetahuan yang sulit untuk diartikan). Perolehan pengetahuan tacit tergantung pada kualitas hubungan antara pencari pengetahuan dengan sumber pengetahuan. Sehingga pencari pengetahuan harus mempercayai kompetensi sumber pengetahuan. Namun ketika pencari pengetahuan tacit tidak mempercayai kebaikan sumber, sedangkan mereka kekurangan akan pengetahuan itu, maka kekawatiran mereka akan menyebabkan pengetahuan diterima secara salah.
Ikatan kuat mempermudah pertukaran ke dua jenis pengetahuan ini lebih besar., dan membuat pencari pengetahuan memahami dan menerapkan pengetahuan baru yang diperolehnya. Hubungan ikatan kuat dan penerimaan pengetahuan ini dimediasi oleh benevolence dan competence – based trust, karena ikatan kuat dapat mempermudah pertukaran pengetahuan jika muncul trust di dalamnya. Percaya bahwa sumber pengetahuan adalah baik dan kompeten akan menaikkan kesempatan penerima pengetahuan belajar dari interaksi.
Ketika trust terhadap sumber informasi rendah, ikatan lemah akan menyediakan pengetahuan lebih bermanfaat dari pada ikatan kuat. Ketika trust tinggi, ikatan lemah juga akan menyediakan pengetahuan lebih bermanfaat dari pada ikatan kuat  Ikatan kuat mungkin akan menyediakan pengetahuan yang salah atau tidak tepat, tapi.ikatan kuat tidak diragukan lagi sangat menolong penyediaan pengetahuan. Meskipun demikian ikatan lemah lebih mampu menyediakan pengetahuan yang bermanfaat dibanding ikatan kuat.
Hasil studi Levin dan Cross ini menunjukkan: (1) hubungan antara ikatan kuat dan penerimaan pengetahuan yang bermanfaat yang dimediasi oleh competence - based trust (trust berdasar pada kompetensi) dan benevolence – based trust (trust berdasar pada kebaikan); (2) Munculnya manfaat struktural dari ikatan lemah akibat pengawasan terhadap dua dimensi trust ( hasil ini menunjukkan bahwa ikatan lemah menyediakan akses untuk informasi yang bermanfaat ); (3) Competence – based trust khususnya penting untuk penerimaan pengetahuan tacit. Sedangkan untuk penelitian mendatang Levin dan Cross menyarankan untuk mengukur dimensi social capital lainnya yaitu cognitive social capital dalam transfer pengetahuan.

Trust dan Structural Social Capital
Dalam studinya Weven, Martens dan Vandenbempt (2005), membangun model konseptual pengaruh trust terhadap akuisisi sumberdaya stratejik melalui jejaring inter-organisasional.  Dalam model ini, trust yang berfungsi sebagai pendorong efektivitas jejaring interganisasional, mempengaruhi akuisisi sumberdaya stratejik. Berdasarkan model ini Weven, Martens dan Vandenbempt, mencoba menjawab pertanyaan – pertanyaan; bagaimana jejaring interorganisasional mempengaruhi efektivitas jejaring; dan bagaimana trust mempengaruhi pertukaran sumberdaya.
Dalam membangun model konseptualnya Weven, Martens dan Vandenbempt mengacu pada hasil penelitian Ahuja (2000), serta Human dan Provan (1997). Hasil penelitian Ahuja menunjukkan bahwa ikatan langsung maupun tidak langsung dalam jejaring interorganisasional memiliki dampak positif pada kinerja yang berupa hasil inovasi. Hal ini disebabkan ikatan langsung memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan, dan membawa keterampilan dari perusahan yang berbeda, sedangkan ikatan tidak langsung bertindak sebagai mekanisme aliran pengetahuan. Dapat dikatakan ikatan kuat maupun lemah memiliki sumbangan positif dan signifikan terhadap hasil inovasi, namun ketika jejaring interorganisasional memiliki banyak structural holes hasil inovasi berkurang.
Sedangkan hasil penelitian Human dan Provan menunjukkan ketika jejaring memiliki densitas yang tinggi dan tersentralisasi, kinerja yang berbeda terjadi. Akibatnya ikatan dan fitur dapat menjadi saluran akses sumberdaya, dan saluran pertukaran sumberdaya. Dalam kaitan ini Weven, Martens dan Vandenbempt, mengajukan argumentasi bahwa struktur jejaring dan fitur jejaring mempengaruhi efektivitas jejaring interorganisasional dalam mengakses, mempertukarkan dan membantu akuisisi sumberdaya stratejik. Lebih tepatnya Weven, Martens dan Vandenbempt, menyatakan jumlah ikatan langsung maupun tidak langsung dapat secara positif mempengaruhi efektivitas jejaring interorganisasional , dimana structural holes dapat menurunkan efektivitas ini. Densitas yang tinggi  dan ketiadaan jejaring partner yang dominant (yang ditunjukkan dari rendahnya tingkat sentralitas), memiliki dampak positif terhadap efektivitas jejaring interorganisasional. Meskipun ikatan jejaring dapat menunjukkan aliran sumberdaya yang signifikan, mereka tidak dapat menjamin transfer aktual atau pertukaran sumberdaya stratejik didalam jejaring. Terdapat tiga hambatan transfer sumberdaya stratejik antara anggota jejaring yaitu : kurangnya kapasitas penerima, ambiguitas, dan jarak hubungan antara sumber dan penerima.
Trust, dapat menolong untuk menghilangkan ke tiga hambatan ini, dan membantu terjadinya pertukaran sumberdaya. Tanpa trust, perusahaan tidak berkehendak melakukan pertukaran sumberdaya stratejik, untuk menghindari risiko pertukaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa trust membantu ikatan jejaring interorganisasional dan fitur structural secara nyata melakukan transfer sumberdaya. Jika trust tidak ada, maka transfer sumberdaya dianggap terlalu berisiko.
Weven, Martens dan Vandenbempt , menyatakan untuk penelitian mendatang sebaiknya memperluas model dengan memasukkan jejaring intraorganisasional, cognitive social capital, dan perhatian harus diberikan pada evolusi dinamik trust dalam jejaring interorganisasional.
Studi Liao dan  Welsch (2005) menggunakan dimensi social capital dari Nahapiet dan Ghosal (1998) : structural, relational dan cognitive social capital untuk menjawab pertanyaan tentang : Apakah terdapat perbedaan dalam social capital antara perusahaan baru atau sedang tumbuh (nascent entrepreneurs) dengan perusahaan pada umunya ?; Apakah terdapat perbedaan dalam social capital antara perusahaan yang menggunakan teknologi dan tidak menggunakan teknologi?; Bagaimana tiga dimensi social capital ini berinteraksi satu dengan lainnya pada kelompok yang berbeda ?.
Salah satu penekanan Liao dan Welsch (2005) dalam studinya adalah perilaku entrepreneurs sebagai individu yaitu : kemauan (propensity to entreprise) dan kemampuan untuk menjalankan perusahaan (ability to enterprise). Propensity to enterprise berkaitan dengan karakteristik psikologis dan perilaku entrepreneurs. Untuk menentukan dimensi dari  propensity to enterprise ini Laio dan Welsch mengambil dimensi dari beberapa ahli seperti ; kebutuhan untuk mencapai keberhasilan (McClelland dan Winter, 1969), kapasitas untuk melakukan aktivitas inovasi (Schumpeter, 1934), pengawasan internal (Shapero, 1975), dan kemauan untuk mengambil risiko (Brockhaus, 1980). Sedangkan ability to enterprise menekankan pada modal manusia untuk nascent entrepreneurs, seperti pengalaman professional, dan latar belakang pendidikan. Dapat dikatakan bahwa entrepreneurs, yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjalankan perusahaan akan memiliki kesempatan lebih besar dalam menciptakan perusahaan baru.
Structural social capital kapasitas potensial nascent entrepreneurs untuk mengakses informasi, sumberdaya, dan dukungan yang sangat penting untuk penciptaan perusahaan baru. Structural social capital ini memfasilitasi pembangunan bentuk baru dari hubungan dan aktivitas inovasi. Interaksi dan jejaring social yang kuat merupakan sumberdaya produktif entrepreneurs yang berkaitan dengan pertukaran informasi, pengenalan peluang sumberdaya, serta pertukaran sumberdaya. Penciptaan perusahaan baru sering kali terperangkap dalam mengakses sumberdaya dan informasi yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya, karena keterbatasan sumberdaya tersebut. Strategi kunci entrepreneurs untuk menghilangkan perangkap ini adalah dengan menggunakan jejaring personal dan interaksi social. Karena individu yang berada dalam posisi sentral jejaring personal lebih mampu mengenal peluang bisnis, dan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa structural social capital akan meningkatkan kemampuan entrepreneurs dalam menjalankan perusahaan.
Relational social capital memungkinkan entrepreneurs mampu menerima dukungan informasi, fisik dan emosi dalam penciptaan perusahaan baru. Semakin tinggi tingkat interaksi semakin mudah nascent entrepreneurs membangun trust, dan semakin mudah informasi, sumberdaya, dan bentuk transaksi lain terjadi dalam jejaring entrepreneurial. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa ketika trust dibangun antar kelompok, maka kemauan untuk melakukan kerjasama semakin tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa trust merupakan dasar akuisisi sumberdaya, pengetahuan, kombinasi dan pertukaran. Atau relational social capital akan mendorong kemauan entrepreneurs untuk menjalankan perusahaan.
Cognitive social capital mendorong proses penciptaan perusahaan baru melalui perbaikan akses pembelajaran sumberdaya eksternal, melalui peningkatan kemauan rekan kerja untuk terlibat dalam pertukaran, dan melalui peningkatan efisiensi transfer dan asimilasi pengetahuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa cognitive social capital bukan saja meningkatkan kemauan, namun juga kemampuan dalam menjalankan perusahaan.
Hasil studi Liao dan Welsch ini menunjukkan bahwa ke tiga dimensi social capital tersebut dalam nascent entrepreneurs dan perusahaan pada umumnya, memiliki perbedaan secara signifikan. Perbedaan antara dua kelompok perusahaan ini bukan disebabkan oleh jumlah social capital, melainkan pola asosiasi di antara ke tiga dimensi ini. Selain itu nascent entrepreneurs yang berdasar pada teknologi cenderung memiliki tingkat relational social capital yang lebih tinggi  Liao dan Welsch (2005) menyarankan penelitian mendatang sebagai berikut:
1)      Penelitian mendatang sebaiknya memfokuskan pada mekanisme, strategi, dan taktik entrepreneurs dalam menggunakan structural social capital dalam cognitive social capital dan merubahnya untuk menciptakan relational social capital.
2)      Penelitian mendatang sebaiknya menginvestigasi bagaimana asosiasi dan aktivitas dari ke tiga dimensi social capital berdampak pada proses penciptaan perusahaan baru.
3)      Penelitian mendatang sebaiknya mengidentifikasikan proses bagaimana setiap dimensi dari social capital berakumulasi. Penelitian ini memiliki implikasi penting untuk  nascent entrepreneurs khususnya berdasar pada teknologi..

Social Capital Dan Institusi
Setiap Negara memiliki insititusi yang berbeda untuk mendukung trust. Trust bisa terbentuk tanpa dukungan institusi dimana trust dibangun dari hubungan yang ada, namun trust jenis ini tidak tahan lama. Dalam masyarakat industri orang –orang menjadi anggota masyarakat dalam kelompok – kelompok yang berbeda, dengan keterlibatan yang kecil, dan ketergantungan kurang berdasarkan pada personal trust, namun lebih pada hukum, perantara, dan pola kompleks saling ketergantungan.
Hubungan antara trust pada orang dan trust pada institusi tergantung pada posisi dan peranan orang yang berada dalam organisasi, dan pada bagaimana koordinasi perilaku dilakukan dalam institusi. Dalam kaitan perilaku yang dapat dipercaya perlu dilakukan pembedaan antara trust pada kompetensi atau kemampuan untuk memenuhi harapan dan trust pada tujuan atau berusaha bertindak sesuai dengan kompetensi terbaik.Dalam kaitan ini Noteboom (2007, hal. 44) memandang trust sebagai sumber yang menjembatani antara institusi dan hubungan internal.
Social capital mungkin menggantikan peran institusi atau menutup kelemahan institusional (seperti mendukung mekanisme reputasi sebagai pengganti pengawasan kontraktual ketika dasar hukum tidak tersedia) , dan mendukung hubungan sumberdaya internal. Ketika hubungan sumberdaya internal terjadi maka trust dibangun baik trust pada kompetensi (competence trust), maupun trust pada tujuan (intentional trust). Namun social capital seringkali membangun intentional trust, yang mungkin merupakan fungsi utamanya. Pembangunan ini dilakukan oleh social capital melalui berbagi norma dan nilai sepanjang institusi.(Noteboom, 2007, hal 45)
Tanpa kerangka kerja institusional, kombinasi antara ketergantungan yang saling menguntungkan dan pembangunan trust dalam hubungan individual, akan sangat rentan, karena biaya transaksi sangat tinggi. Kerangka kerja institusional ini dapat juga diterangkan melalui konsep bonding dan bridging yang dikemukakan oleh Putnam (2000). Bridging dapat dikatakan lebih memiliki dampak positif terhadap kinerja ekonomi, karena tujuan khusus kelompok tidak begitu intens seperti yang terjadi pada bonding, dan membantu pelaksanaan berbagi norma. Selain itu bridging mampu menggunakan pengetahuan yang bervariasi untuk membangun aktivitas inovasi. Ketika kerangka kerja institusional memfasilitasi bridging, dampak positif mungkin diharapkan, dibanding bonding. Namun ketika dukungan institusional tidak ada, maka orang cenderung kembali pada bonding. (Noteboom, 2007, hal. 48)
Menurut Servalli dan Woller (2001), peran institusi adalah mengatasi masalah dari kegiatan kolektif. Dalam kaitan ini institusi mengurangi ketidakpastian, dan mendukung pembentukan social capital. Selain itu institusi memainkan peran penting dalam mengurangi biaya koordinasi dengan memecahkan masalah koordinasi, memiliki koordinasi internal sumberdaya interorganisasional yang lebih besar, melakukan penyesuaian struktur, dan berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan kolektif. Namun di satu sisi, kinerja institusi tergantung pada tingkat trust dan keberadaan social capital , karena aktivitas insititusional dapat dilihat sebagai hasil langsung dari social capital. Sedangkan di sisi lain, institusi menikmati kewenangan relatif yang dimilikinya dalam melakukan intervensi yang dapat mempengaruhi konteks sosial.

Model Konseptual
Model konseptual ini memberikan gambaran bagaimana social capital dibangun oleh entrepreneur. Berlandaskan penjelasan teori di atas dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai penggerak aktivitas IKM. Untuk menggerakkan aktivitas IKM trust tidak berdiri sendiri melainkan terintegrasi dengan structural dan cognitive social capital, mengingat keberadaan trust disebabkan oleh keberadaan jejaring dan saling berbagi cerita. Dapat dikatakan bahwa trust dapat dibangun melalui social capital lainnya, kemudian trust tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan aktivitas IKM.
Peran modal sosial diperkuat oleh keberadaan institusi.. Hal ini disebabkan bukan hanya karena institusi mengurangi ketidakpastian, dan mendukung pembentukan social capital dengan menutup kelemahan dari kegiatan kolektif yang berupa biaya koordinasi, namun juga karena institusi memfasilitasi pembangunan melalui IKM. Oleh sebab itu dalam model konseptual ini terdapat empat variabel yang saling berinteraksi yaitu: Trust, Structural Social Capital, Cognitive Social Capital dan Institution.




METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian kualitatif meliputi studi pada sifat natural subyek, dimana peneliti berupaya menterjemahkan dan memberi makna suatu fenomena dan arti yang ditujukan orang terhadap fenomena tersebut (Shank,2002) Dalam penelitian yang akan dilakukan itu fenomena yang muncul adalah penurunan kinerja IKM akibat kurang mampunya IKM membangun hubungan atau jejaring interpersonal. Oleh sebab itu studi ini lebih sesuai menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan kata lain pendekatan kualitatif ini dipilih karena studi yang akan dilaksanakan merupakan penelitian tentang pola berfikir dan perilaku, yang meskipun tidak muskil namun sangat sulit untuk diangkakan, oleh sebab itu pendekatan kualitatif lebih tepat.
Studi yang akan dilakukan ini, direncanakan menggunakan studi kasus. Metode studi kasus ini dipilih karena studi yang akan dilaksanakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana hubungan interaksi antara trust, cognitive social capital, structural social capital dan institusi pada IKM furniture di Jateng, dimana jawaban tersebut tidak menghasilkan hasil yang pasti dan dapat digeneralisasi. Sesuai pendapatan Yin (2002, hal.1) yang menyatakan bahwa studi kasus lebih dipilih ketika pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” diajukan.
Menurut Yin (2002, hal.13) studi kasus merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan kondisi kontekstual yang diyakini sangat berarti bagi fenomena penelitian yang ada. Kondisi kontekstual dalam studi ini adalah kondisi bagaimana intstitusi bernteraksi dengan social capital, yang diyakini mampu meningkatkan kinerja IKM. Dalam penelitian ini studi kasus akan digunakan untuk menjelaskan asumsi hubungan yang kompleks antara trust, cognitivie social capital, structural social capital dan institusi.
Terdapat beberapa kelemahan studi kasus seperti pandangan peneliti kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian, kurang menyediakan dasar untuk generalisasi, dan hasil penelitian merupakan dokumen yang tidak dapat dibaca. Untuk mengatasi kelemahan dari studi kasus ini, studi yang akan dilaksanakan menggunakan acuan referensi sehingga paling tidak prosedur sistematis dapat dikembangkan dalam studi ini



Unit Analisis
Unit analisis dalam studi ini adalah IKM furniture di Jateng yang melayani pasar ekspor dan berdasar pada teknologi IKM furniture ini akan diklasifikasikan sesuai dengan dua bentuk kontras dari system operasional IKM yaitu IKM dengan struktur organic dan IKM dengan struktur mekanik, mengacu pada hasil penelitian Burns dan Stalker (1961, dalam Lumpkin dan Des, 1996 hal.155) yang mengenalkan dua jenis struktur organisasi yaitu organic dan mekanik. Dari hasil penelitian mereka terhadap 20 perusahaan di Scotland dan Inggris, mereka menyimpulkan bahwa perusahaan terbagi ke dalam dua struktur formal yang kontras. Perusahaan organic cenderung pada desentralisasi, informal, menekankan pada hubungan lateral, dan pengetahuan didistribusikan secara adil melalui jejaring organisasi. Sedangkan perusahaan mekanik cenderung pada sentralisasi, formal, memiliki karakteristik tingkat interaksi vertical, dan memiliki perbedaan khusus antar fungsi.
Unit analisis dalam penelitian ini akan ditentukan IKM furniture di Jepara  karena mewakili ciri – ciri IKM dengan strukutr organic dan IKM di Surakarta karena mewakili ciri – ciri IKM dengan struktur mekanik. Jumlah unit analisis atau sample tidak akan ditentukan saat ini, karena jumlahnya akan disesuaikan dengan data di lapangan.

Uji Kualitas dan Instrumen Penelitian
Uji kelayakan instrument ini akan dilakukan melalui (Yin, 20002 hal.34)
1)      Construct validity; yaitu dengan menyediakan ukuran operasional yang tepat untuk konsep yang diteliti.
2)      Internal validity. Karena penelitian ini merupakan studi kasus eksplanatori maka validitas internal dibutuhkan. Dalam kaitan uji validitas internal penelitian akan dilakukan dengan cara membandingkan data di lapangan dengan model yang menjelaskan hubungan antara modal sosial.
3)      Reliability. Dalam studi ini akan dilakukan uji ulang hanya untuk beberapa subyek yang diteliti yang merespon baik. Uji ulang ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa instrument penelitian yang digunakan adalah dapat dipercaya.

Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam studi ini akan dilakukan dengan dua cara yaitu (Yin 2002, hal. 89 – 92)
1)      Indepth interview. Dalam penelitian ini peneliti akan bertanya secara mendalam kepada subyek yang diteliti kenyataan yang terjadi dan pendapat mereka mangapa dan bagaimana modal sosial dibangun.
2)      Observation. Dalam pengumpulan data peneliti akan melakukan interaksi secara pasif dengan wirausaha sebagai subyek yang diteliti untuk melihat bagaimana modal sosial dibangun.

Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah (Yin, 2002 hal. 110-138)
1)            Pattern – matching. Dalam penelitian ini pola – pola empiris yang telah dibangun dibandingkan dengan prediksi di lapangan. Yang dimaksud dengan pola – pola empiris disini adalah kerangka pemikiran teoritis yang telah dibangun sebelumnya.
2)            Explanation building. Penelitian ini akan melakukan analisis data melalui pembangunan penjelasan tentang kasus yang diteliti. Yang dimaksudkan disini adalah penjelasan tentang bagaimana modal sosial dibangun. Meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama namun karena jenis penelitian ini adalah studi kasus maka analisis data ini sebaiknya dilakukan.
3)            Logic model. Penelitian ini akan menguji data di lapangan atau jawaban subyek yang diteliti berulang kali untuk melihat perubahan proses bagaimana modal sosila dibangun. Pelaksanaan pengujian dilakukan dengan penyesuaian data empiris hasil observasi dengan teori yang dijadikan referensi.

TEMUAN PENELITIAN
Subyek penelitian menekankan dengan sedikit berlebihan bahwa cara paling efisien bagi mereka untuk berhasil adalah dengan melakukan komunikasi langsung dengan partner mereka. Yang mereka sebut partner disini bisa berasal dari industri yang sejenis ataupun tidak sejenis yang membangun hubungan saling menguntungkan dengan mereka.. Mereka mengekspresikan kepercayaan tingkat tinggi kepada partner mereka.  Kepercayaan tinggi ini ditunjukkan dengan kemampuan mereka untuk mendiskusikan isu manajerial, pasar maupun perkembangan teknologi.. Dengan kepercayaan yang mereka bangun ini mampu mengurangi biaya transaksi
Kepercayaan ini pula yang membuat mereka tidak ingin mengambil peluang partner mereka yang pada waktu muncul peluang tidak mampu mengeksploitasinya, mereka malah membantu keuangan partner agar mampu memanfaatkan peluang tersebut.  Karena kesempatan yang mereka ambil dari partner yang lemah akan merugikan hubungan mereka di masa mendatang dalam jangka panjang.  Mereka mengekspresikan bahwa perilaku tersebut akan menyebabkan perusahaan mereka kehilangan parner atau kehilangan kepercayaan dari partner mereka, Kepercayaan melahirkan kepercayaan dan kehilangan kepercayaan membuat lebih sulit untuk menemukan partner yang sejalan. Perilaku oportunis dari satu perusahaan mebel akan mampu menghasilkan hilangnya peluang bagi perusahaan mebel lain. Mereka melindungi kepercayaan dengan cara pemberian hukuman yang sangat kuat secara moral dan sosial serta multidimensional.
Subyek penelitian juga mengekspresikan bahwa kinerja perusahaan dalam kaitan keuntungan, volume penjualan dan inovasi, diperbaiki dengan cepat oleh adanya hubungan dengan partner mereka. Terdapat dua cara untuk dapat melakukan komunikasi dengan partner yaitu dengan cara tatap muka atau komunikasi secara langsung, dan melalui pihak ke tiga. Dengan melakukan kolaburasi perusahaan dapat menggunakan sumber daya dari partner mereka untuk pelayanan dan produk yang lebih baik. Mereka menyatakan bahwa hubungan yang mereka bangun memainkan peran yang sangat luas dalam melindungi dan mendapatkan sumberdaya dan informasi. Dengan demikian keberhasilan perusahaan dalam pasar yang bergejolak dapat dicapai melalui keberhasilan pembangunan hubungan jejaring. Tidak hanya saling percaya yang menentukan keberhasilan hubungan melainkan juga bagaimana perusahaan diposisikan dalam hubungan tersebut (pendapat salah satu manajer)
Subyek penelitian menyatakan : kita membangun hubungan baik dengan partner kita, dan hubungan ini memiliki kapabilitas untuk membantu kita dalam banyak hal; kita mendapatkan informasi dan pengetahuan yang banyak dan sangat berguna dari partner kita; kita selalu dapat menggunakan sumberdaya partner kita  untuk menyediakan produk dan pelayanan yang baik bagi pelanggan kita; jika kita tidak dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dan jika partner kita menolong kita dengan merekomendasikan perusahaan lain yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kita, kita akan berpikir bahwa perusahaan itu juga partner kita secara otomatis; karena kita percaya pada partner kita biasanya mempercayai pihak ke tiga yang direkomendasikan oleh partner kita; ringkasnya kita akan mempertimbangkan secara serius membangun hubungan dengan partner baru sebab kepercayaan yang kita miliki terhadap partner kita sebelumnya.
Perusahaan memberikan insenstif untuk berbagi pengetahuan antar bagian dan dengan partner mereka dalam bentuk aktivitas yang didanai bersama.  Subyek penelitian menyatakan bahwa hubungan ini telah menolong mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang berguna dan berharga.  Perusahaan berpartisipasi sebab mereka menemukan bahwa cara ini merupakan cara yang paling efisien dalam berbagi dan penciptaan pengetahuan. Hal ini mendorong proses pembelajaran kolektif yang dianggap superior menjadi terbatas. Pengetahuan yang mengalir ke dalam perusahaan dari luar menciptakan peluang substansial bagi perusahaan untuk dikombinasikan dengan pengetahuan yang telah ada dan untuk menciptakan pengetehuan baru.
Subyek penelitian menyatakan bahwa mereka menentukan tujuan bersama dalam proses kerjasama, dan hal ini menciptakan kode mental untuk berbagi ambisi dan misi, yang pada umumnya menghilangkan halangan budaya dan organisasional. Kode ini menolong mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam satu sama lain. Hal ini juga melindungi pengetahuan yang mereka miliki dari diseminasi pihak lain.
Saling berbagi baik ambisi, misi,visi, tujuan dan khususnya pengetahuan secara efektif mengatasi halangan komunikasi. Atau dapat dikatakan bahwa perusahaan dan partnernya dapat melakukan pertukaran gratis dukungan teknik dan berbagai persediaan pengetahuan sesuai kebutuhan perusahaan. Hal ini merupakan kebutuhan dasar hubungan karena transfer teknologi dan kepakaran manajerial dengan partner membutuhkan investasi uang dan waktu. Perusahaan berharap bahwa partner mereka dapat menyediakan sumberdaya yang relevan dan keahlilan khusus untuk perusahaan dalam penawaran produk dan pelayanannya. Pengaksesan sumberdaya melalui pasar terbuka tidak selalu mudah dan penggunaan sumberdaya untuk perusahaan tidak selalu optimal.
Komentar salah satu  manajer tentang hubungan antar industri. Dengan menggabungkan sumberdaya dan kemampuan kita dengan perusahaan lain, kita dapat menyelesaikan proyek yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan berhasil. Kita mendorong anggota bagian perusahaan kita untuk melakukan komunikasi secara aktif dengan anggota bagian partner kita meskipun kita melindungi informasi yang bersifat rahasia. Kita yakin bahwa partner kita tidak akan membahayakan posisi kita. Komunikasi antar bagian kita dan partner kita akan mampu memperdalam pemahaman kita bersama.
Para manajer menyadari bahwa perilaku buruk dalam hubungan adalah jika kepercayaan interpersonal berubah bentuk menjadi kepercayaan institusional. Kepercayaan perusahaan terhadap partnernya menurunkan ketidakpastian hubungan kerjasama sehingga menurunkan biaya interaksi.  Sejak kepercayaan muncul dalam proses hubungan jangka panjang, membuat perusahaan mampu mendeteksi perilaku oportunis. Singkatnya kepercayaan memperluas modal intelektual dari semua pihak. Perilaku oportunis dapat menghancurkan jejaring sehingga hubungan rutin antara partner terjadi saling ketergantungan.  
Peneliti menemukan bahwa perusahaan dan partnernya seringkati melakukan diskusi informal. Diskusi ini umumnya didukung oleh top manajemen. Beberapa manajer menyatakan bahwa pertemuan informal ini menciptakan hal yang berguna bagi mereka untuk memecahkan masalah bisnis.  Mereka dapat berkomunikasi secara bebas berdasarkan pada kepercayaan .
Dengan demikian melalui pertemuan sosial dan informal, kebebasan dan diskusi informal  menyediakan peluang bagi perusahaan untuk saling memperoleh pengetahuan yang berguna. Sebagai contoh perusahaan yang terlibat diskusi ini memiliki pemahaman yang lebih baik dan lebih dalam tentang lingkungan bisnis lokal, mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan manajemen, belajar keberhasilan dari partnernya, serta kebijakan – kebijakan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia. Interaksi antar partner mendorong tingkat interdependensi dalam aktivitas produksi namun tingkat produktivitas mengalami peningkatan dan menciptakan hubungan yang berharga.  Peneliti secara umum menemukan bahwa perusahaan memiliki rasa kepemilikan serta tanggung jawab yang tinggi atas jejaring yang telah mereka bangun.
Struktur jejaring, hubungan, bahkan faktor – faktor pendorong muncul setiap saat. Pada umumnya hubungan antara jejaring adalah bilateral, dengan ikatan lemah yang menghubungkan antara perusahaan dengan partnernya. Ketika hubungan mereka berkembang perusahaan dapaat membangun identitas umum yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi. Ketika hubungan lebih dalam dan interaksi meningkat, perusahaan akan menyadari nilai dari berbagi dan kolaborasi. Hal ini akan menolong mereka mengembangkan ikatan kuat. Ikatan kuat ini akan mengarahkan perusahaan untuk membangun rasa memiliki dan tanggung jawab. Hal ini akan mendorong mereka berbagi lebih sering dan lebih efisien sumberdaya yang telah mereka ciptakan. Perusahaan dan partnernya saling berkomitmen dan menyadari nilai dari jejaring kerjasama yang mereka bangun secara keseluruhan. Mereka menyadari manfaat hubungan dengan kemampuan mereka untuk menyerap pengetahuan dari partner mereka.
Pada saat subyek penelitian ditanyakan jenis hubungan mana yang lebih menguntungkan, sebagaian subyek penelitian menyatakan bahwa jenis hubungan informal yang lebih menguntungkan, karena hubungan ini dapat memasukkan link ke sumberdaya yang ditutupi oleh kelompok yang telah menguasai pasar. Selain itu imitasi produk sangat cepat dilakukan. Di bidang mebel imitasi produk juga cepat hanya saja terdapat kelengkapan produk yang berbeda. Sedangkan sebagaian menyatakan hubungan formal yang lebih berguna seperti  dilakukan melalui asmindo dan event – envent khusus seperti hubungan dengan Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia) karena sering diadakannya lomba – lomba design, sehingga bisa lebih inovatif. Sedangkan untuk informasi dapat diperoleh dari internet. Hanya saja aktivitas Asmindo tidak optimal karena apabila ada insentif diskon hanya diberikan kepada pengurusnya, sedangkan Depperindag hanya memberikan memberi informasi yang sudah diketahui oleh perusahaan
Hubungan informal ini dapat dibangun melalui pemenuhan permintaan pelanggan dengan system barter dengan perusahaan lain. Atau hubungan informal ini sudah ada sebagai warisan orang tua misalnya Himpunan Penguhasa Kayu Jepara (HPKJ) dengan kegiatan arisan sebulan sekali, pengajian, ngobrol perkara kayu . Hanya saja HPKJ ini hanya khusus bapak – bapak anggotanya sekitar 30 orang.
Berkaitan dengan pengembangan produk, bagi perusahaan lebih bersifat tertutup. Namun untuk berhubungan dengan pihak lain, bagi perusahaan itu merupakan suatu keharusan. Dengan berhubungan maka akan menambah relasi dan jaringan, baik jaringan bisnis maupun jaringan sosial.
Semakin banyak relasi maka semakin banyak hal yang bisa kami peroleh. Kami selalu berusaha untuk memperoleh relasi sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya adalah membuat website untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat luas tanpa batas.
Berkaitan dengan pengembangan produk, bagi kami lebih bersifat tertutup. Namun untuk berhubungan dengan pihak lain, bagi kami itu merupakan suatu keharusan. Dengan berhubungan maka akan menambah relasi dan jaringan, baik jaringan bisnis maupun jaringan sosial.
Hubungan internal perusahaan dapat terjalin dengan baik dan terbangun kepercayaan. Kepercayaan dibangun melalui kebaikan hati dimana karyawan yang tidak punya uang boleh ngebon dapat fasilitas makanan dan minuman. Harus ada keyakinan bahwa kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kepercayaan juga dibangun melalui keterbukaan dan sistem kekeluargaan yang terkendali. Dalam arti mereka boleh memiliki inisiatif namum target harus terpenuhi. Kebutuhan, permasalahan dsb selalu didiskusikan namun ada pengawasnya agar diskusi tidak melunturkan kepercayaan ataupun kepercayaan tidak berubah bentuk menjadi perilaku oportunis.
Kepercayaan juga dibangun melalui peningkatan kompetensi antar bagian melalui proses pembelajaran tentang pengetahuan produk baru, janji yang selalu dipenuhi dan selalu menjaga kedisiplinan sampai dikeluarkan kalau tidak disiplin.
Perusahaan ini bukanlah perusahaan raksasa, sehingga untuk membangun kepercayaan diantara karyawan dan manajemen bukanlah sesuatu yang sulit. Dengan saling membangu kepercayaan diantara kita, maka secara otomatis kami membangun kepercayaan dengan pihak lain di luar kami.
Kami selalu membangun kepercayaan kepada siapapun. Salah satu caranya adalah dengan membangun keterbukaan dengan semua karyawan dan semua entitas terkait lainnya.
Visi dan misi secara tertulis memang kami belum punya, tetapi secara tidak tertulis kami selalu menyampaikan kepada semua karyawan disini. Kami memiliki karyawan yang secara khusus bertugas mengembangkan produk baru. Jika produk tersebut dimunati pelanggan maka karyawan tersebut kami berikan bonus khusus.
Semua orang yang ada di perusahaan ini wajib memahami visi dan misi yang telah ditetapkan. Pengembangan produk wajib dilakukan oleh bagian pengembangan produk dengan berbagai cara, baik melalui pelatihan maupun dengan cara lainnya. Kami punya prinsip bahwa produk yang kami buat adalah merupakan produk trend-setter.
Berbagi ambisi, misi dan visi dilakukan melalui rapat keluarga non formal pada waktu dibutuhkan atau ada masalah yang terkait dengan order, atau karyawan. Kalau ada ekspansi disampaikan secara langsung kepada karyawan dengan janji peningkatan  kesejahteraan.. Setiap ekspansi selalu disampaikan kepada karyawan. Dengan diberi gaji lebih tinggi dibanding perusahaan lain sejenis. Selain itu berbagi visi juga dapat dilakukan dengan kegiatan sosial jaburan atau ngopi bersama. 
Hubungan setiap tim dalam bagian perusahaan dijaga dengan target. Tim finishing, biasanya menjadi tim yang paling berkuasa karena butuh keterampilan dan ketelitian. Untuk menjaga agar tim finishing ini tidak terlalu berkuasa maka dikendalikan dengan sangsi.
Berbagi informasi juga dapat dilakukan dengna perusahaan mebel sejenis atau bahkan perusahaan yang tidak sejenis. Depperindag selama ini belum pernah memberi informasi yang berarti, tapi Pemda sering memberikan informasi tentang pameran hanya saja harus bayar stand sendiri.
Pengetahuan yang paling  berguna adalah pengetahuan tentang perkembangan desain, pengetahuan tentang kayu, yang dapat diperoleh dari magang, tukar pikiran dengan perusahaan lain atau melakukan perjalanan bisnis dsb.
Berdasarkan tugasnya, karyawan yang bertugas mengembangkan produk tidak memiliki kekuasaan yang melebihi karyawan lain. Perbedaannya hanya pada bonus yang diperoleh jika produknya diminati pelanggan.
Setiap ada pameran, kami selalu menugaskan karyawan bagian pengembangan produk untuk ikut hadir disana. Tugasnya adalah melihat perkembangan dan trend produk saat ini. Dengan demikian mereka mampu mendesain produk baru yang berbeda dengan produk lain tetapi merupakan produk trend saat ini.
Depperindag merupakan institusi pemerintah, secara otomatis kami membutuhkan mereka. Demikian juga Asmindo, yang merupakan kumpulan pengusaha (mebel) juga memiliki nilai tersendiri bagi kami.
Produk inovatif merupakan produk baru, yang bisa merupakan pengembangan produk yang pernah ada maupun produk yang sama sekali baru. Kami belum memiliki produk yang benar-benar tergolong  produk inovatif.
Kalau dibilang bagian pengembangan produk baru mempunyai kekuasaan yang melebihi bagian lain, tidak sepenuhnya benar. Tetapi memang ada insentif khusus bagi bagian ini setiap menghasilkan produk baru.
Kami memang sangat intensif dalam mengembangkan produk. Karyawan kami kirim ke pelatihan-pelatihan desain, pameran-pameran, dan lain sebagainya agar memiliki kemampuan lebih di bidang pengembangan produk.
Kami pernah mendapatkan pembinaan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, BUMN, perguruan tinggi, dan lain-lain dalam bidang desain. Hal ini menambah pengetahuan bagi tim pengembangan produk kami.
Selama lembaga-lembaga tersebut tidak merugikan kami, maka kami tidak bisa menilai mana yang lebih baik. Kedua lembaga tersebut memiliki sumbangan yang cukup berarti bagi kehidupan perusahaan ini.
Inovatif berarti produk tersebut merupakan suatu produk yang sangat berbeda dari yang lain. Produk inovatif inilah yang selalu kami harapkan muncul dari bagian pengembangan produk. Dengan demikian harapan menjadi trend-setter menjadi kenyataan.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambl dalam penelitian ini adalah bahwa:
1)            Dalam pembangunan modal sosial membangun jejaring ataupun hubungan sangatlah penting sebagai wadah tumbuhnya modal sosial yang lain.
2)            Hubungan yang dibangun sering mereka sebut sebagai hubungan industri yang terdiri dari hubungan dengan industri sejenis, hubungan industri tidak sejenis dan hubungan internal dalam  industri.
3)            Kepercayaan bagi IKM mebel baik Jepara maupun Surakarta penggerak hubungan dan rasa berbagi. Dengan kepercayaan mereka memiliki komitmen untuk membangun hubungan lebih erat, dengan kepercayaan mereka bebas berbagi misi, visi, tujuan dan pengetahuan.
4)            Apapun dasar kepercayaan pembangunan kepercayaan sangat penting bagi perusahaan bahkan dengan adanya kepercayaan biaya transaksi akan terkurangi.
5)            Permasalahan yang sering timbul dari kepercayaan adalah perubahan bentuk dari kepercayaan yaitu menuju ke institusiongal trust yang akan mendorong tumbuhnya perilaku oportunis
6)            Aktivitas depperindag seringkali dianggap sebagai aktivitas yang tidak begitu berharga apabila tidak berdasar pada kebutuhan IKM mebel.
7)            Selain kepercayaan, power yang diwujudkan dalam bentuk posisi perusahaan dalam hubungan akan menentukan keberhasilan hubungan yang menguntungkan bagi IKM mebel

IMPLIKASI TEORITIS
Penelitian ini menyediakan bukti tambahan pada teori yang menyatakan bahwa pembangunan modal sosial sangat penting bagi perusahaan untuk mencapai keberhasilan.
Hal ini dapat dilihat dari temuan yang terkait dengan arti penting hubungan . Jejarng hubungan memiliki kapabilitas yang sulit untuk diduplikasi oleh pesaing, sebab mereka memiliki ikatan sosial yang kompleks, saling tergantung dan saling mencipta sesuatu yang baru, sehingga secara potensial jejaring ini mampu menjadi sumber keunggulan bagi perusahaan. Melalui interaksi pembelajaran yang terjadi antar perusahaan menjadi sumberdaya penting, ini meningkatkan proses pembelajaran dalam perusahaan dan menyediakan akses ke informasi dan sumberdaya yang baru yang tidak tersedia dalam perusahaan. Hal ini mendukung teori Levin dan Cross (2004)
Akumulasi modal sosial yang berdasar pada kepercayaan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.  Melalui penekanan pada proses alam dari terbangunnya modal sosial penelitian ini menambahkan bukti bahwa hubungan antar industri sejenis mampu meningkatkan efisiensi dalam komunikasi. Hal ini mendukung teori Melander & Mattias (2002).

IMPLIKASI MANAJERIAL
Penelitian ini menyarankan bagi perusahaan untuk membangun rasa saling percaya (reciprocal trust) karena rasa saling percaya memainkan peran yang sangat penrting dalam keberhasilan perusahaan. Dan sebagaian perusahaan kepercayaan ini seringkali digunakan untuk dasar berbagi pengetahuan, komunikasi dan kerjasama secara efisien. Kepercayaan juga sangat penting dalam tatakelola perusahaan. Saling percaya memungkinkan pengetahuan baru mengalir dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki hubungan. Semakin tinggi kepercayaan semakin tinggi keinginan untuk berbagi. Meskipun ketika permasalahan hubungan muncul kepercayaan juga memfalitasi perdamaian melalui persetujuan bersama dan integrasi pemecahan masalah. Ikatan kuat yang berdasarkan pada rasa saling percaya akan dapat memfasilitasi transfer kemampuan yang tidak kasat mata dan keahlian yang di luar jangkauan perusahaan
Saran berikutnya adalah dalam pembangunan modal sosial sebaiknya perusahaan mengembangkan keterbukaan antar partner. Keberhasilan perusahaan dalam membangun modal sosial akan secara signifikan mengurangi biaya koordinasi dan interaksi.Secara stratejik terlibat dalam aktivitas sosial dan secara bijaksana membangun relasi sosial dapat menghemat  biaya transaksi yang signifikan, dalam pencarian informasi dan peluang ekonomi.. Berbagi pengetahuan akan meningkatkan kepercayaan dan lebih jauh memperkuat ikatan. Karena modal sosial perusahaan saling berinteraksi yang menghasilkan pembelajaran kolektif. Pembelajaran kolektif mendasari sistem organisasi dan semua partner mendapatkan manfaat dari hasil inovasi teknologi dan manajerial

KETERBATASAN PENELITIAN
Karena penelitian ini memilih paradigma penelitian kualitatif maka kelemahana penelitian kualitatif menjadi keterbatasan penelitian ini, yaitu tidak dapat digeneralisasi
Di lapangan banyak ditemui bahwa para manajer selalu menghubungkan antara hubungan industrial, kepercayaan dengan rasa berbagi. Rasa berbagi ini bukan hanya berbagi cerita, misi, visi ataupun tujuan melainkan berbagi pengetahuan dan sumberdaya. Bagi mereka berbagi misi, visi dan tujuan dapat diakses melalui internet namum berbagi pengetahuan yang kadang tidak terdeteksi (tacit knowledge) dan jauh di luar pemikiran mereka hanya bisa mereka lakukan melalui pembangunan hubungan industrial yang didasari rasa saling percaya
:
AGENDA PENELITIAN MENDATANG
Berdasarkan pada keterbatasan penelitian di atas maka disarankan untuk mengambil paradigma lain yang mungkin bisa lebih digeneralisasi dibandingkan kualitatif.
Sebaiknya berbagi atau transfer pengetahuan ataupun pembejaran organisasional dimasukkan sebagai variabel penelitian untuk penelitian mendatang yang terkait dengan pembangunan modal sosial yang mengarahkan pada aktivitas inovasi.
Studi longitudinal dengan ukuran sampel yang lebih luas disarankan untuk mendapatkan catatan perubahan dalam aktivitas pembangunan modal sosial di perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, S dan D. Butcher. 2003. Trust in Managerial Relationship. Journal of Managerial Psychology.18(4): 282 – 304
Carolis, D.M , & Patrick Saparito. 2006. Social Capital, Cognition, dan Entreprenuerial Opportunities: A Theoritical Framework. ET & P. 41 – 55
Dasgupta, P & Seregaldin. Sosial Capital: A Multi – faceted Perspective. The World Bank. Washington D.C
Fukuyama, F. 1995. Trust : The Social Virtues and Creation of Prosperity. New York Free Press.
Huang, Qi Hai. 2003. Social Capital in the West and China. Manchester Metropolitan University Business School Work Paper Series, pp. 1 – 15
Jones, G.R & George, J.M. 1998. The Experience and Evolution of Trust: Implication for Cooperation and Teamwork. Academy of Management Review. 23: 531 – 546.
Liao, J & Harold Welssch. 2005. Roles of Social Capital in Venture Creation: Key Dimensions and Research Implications. Journal of Small Business Management. 43 (4): 345 – 362
Levin, D.Z & Rob Cross. 2004. The Strength of Weak Ties You Can Trust: The Mediating Role of Trust in Effective Knowledge Transfer. Management Science.50 (11): 1477 – 1490.
March, J.G. 1991. Exploration and Exploitation in Organizational Learning. Organization Science. 2 (1): 71 – 87.
Melander, A & Mattias Nordqvist .2002. Investing in Social Capital: Network, Trust and Belief in Swedish Furnitur Industry. International Studies of Management and Organization. 31 (4): 89 – 108.
Nahapiet, J & Ghosal, S. 1998. Social Capital, Intelectual Capital, and the Organizational Advantage. Academy of Management Review. 23: 242 – 246.
Putnam, R.D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster Paperbacks: New York.
Tsai, W & Sumantra Ghosal. 1998. Social Capital and Value Creation: The Role of Interfirm Network. Academy of Management Journal. 41 (4): 464 – 476.
Wever, S.D, R. Martens, dan K. Vandenbempt. 2005. The Impact of Trust on Strategic Resource Acquisition Through Interorganizational Network: Towards a Conceptual Model. Human Relation. 58 (12): 1523 – 1543.
Yamada, Jin-ichiro. 2003. A Multi – Dimensional View of Entrepreneurship: Toward a Research Agenda on Organization Emergence. Journal of Management Development. 23 (4): 289 – 320.
Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods. Sage Publications: USA