Utami Tri Sulistyorini
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H.Sudarto, SH, Tembalang,Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061
ABSTRACT
This research is based on the important role of social capital
development , So the objective of this research is to anwer how social capital
will be developed The outcome of this
research is a model of social capital development in SM. This model is broken
down into two models are (1) An
interaction model between trust, structural and cognitive social capital. (2)
An interaction model between social capital and institution activities.
This research uses qualitative approach. The reason is the study will
be conducted about behavior which has difficulty to account .SM furniture
Jepara and Surakarta have been chosen as unit analysis. The choice is based on
the characteristif of SM furniture in these two areas. SM Furnitur The amount
unit analysis are 6 ; 3 in Jepara dan 3 in Surakarta. In each unit analysis at
least 3 manager will be interview deeply.
The managerial implication is to develop social capital company should
develop openness between partner. The successful of social capital development
will reduce coordination and interaction cost significantly. Strategically
involved in social activities and wisely build social relation can save
transaction cost significantly in searching information dan economic
opportunity. Knowledge sharing will increase trust dan further tied network.
Because of social capital companies are interacted and result collective
learning. Collective learning embedded organization system and all partner get
benefit from technological and
managerial innovation
Because this research chose qualitative approach so the weakness of qualitative approach can
be a limitation of this research which is lack of generalization. So for
further research should try another approach that can be more generalized.
Beside that knowledge transfer may include as variable on social development
research. Studi longitudinal study with sample size more broader is suggested
for gaining notes of changing in social capital development in the
company.
Key words: Cognitive Social Capital, Structural
Social Capital and Trust
PENDAHULUAN
Menurut Dinas Perindustrian di
Jateng (2007) salah satu penyebab penurunan kinerja IKM di Jateng adalah kurang
mampunya pelaku IKM furnitur kayu di Jateng untuk membangun jejaring hubungan
interpersonal yang menjadi dasar keberhasilan perusahaan. Kurangnya kemampuan
untuk membangun jejaring internal ini dapat diakibatkan oleh tidak adanya
kepercayaan (trust) yang mendukung
koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Hal ini berdampak pada
sulitnya IKM untuk mengantisipasi ancaman dan mengeksploitasi peluang pasar.
Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa pembangunan modal sosial merupakan salah satu dasar
keberhasilan IKM. Pertanyaannya adalah bagaimana modal sosial dibangun oleh
IKM. Jawaban pertanyaan ini dapat diawali dari hasil penelitian Melander dan
Nordqvist (2002). Mereka menganalisis bagaimana social capital dan trust
dibangun IKM dengan studi kasus IKM furnitur di Swedia. Pilihan IKM furnitur
ini berdasarkan pada kegiatan yang dilakukan oleh IKM yang cenderung
menggunakan teknologi dan melakukan aktivitas inovasi. Hal yang menarik dari
penelitian Melander dan Nordqvist ini adalah bahwa pembangunan social capital dan trust pada IKM furnitur di Swedia membutuhkan tekanan eksternal
(seperti institusi penyedia insentif) dan perubahan internal. Hal ini
disebabkan karena:
1)
IKM furnitur di Swedia didominasi oleh tradisi,
kerjasama rendah, autokratis dan sangat mandiri yang berdampak pada keinginan
bersaing yang besar antar IKM dan sangat sulit untuk dibangun kerjasama antar
IKM, khususnya pada saat peningkatan ekspor.
2)
IKM furnitur di Swedia sangat konservatif,
mempertahankan daerahnya, mereka sangat sulit bekerjasama, mereka bahkan tidak
tahu bagaimana bernegosiasi
3)
IKM furnitur di Swedia jarang memiliki hubungan dengan
lingkungan luar, kehidupannya tertuju pada bisnisnya.
Jelas sekali
karakteristik IKM furnitur di Swedia sangat berbeda dengan karakteristik IKM
furnitur di Jateng, meskipun sama – sama memasuki pasar ekspor dan sebagaian
besar penjualannya karena pesanan, namun pelaku IKM furnitur di Jateng memiliki
kemampuan bernegosiasi, serta terbuka untuk bekerjasama. Sehingga akan sangat
menarik untuk meneliti lebih jauh tentang “apakah trust dan social capital dibangun
dengan cara yang sama pada IKM furnitur yang memiliki perbedaan karekateristik
?”, dan apakah trust dan social capital dapat lebih berhasil
dibangun IKM furnitur jayu di Jateng dengan memanfaatkan peran institusi bukan
sebagai penekan melainkan sebagai pendukung ?”.
Berdasarkan pembahasan di atas
maka penelitian ini akan berusaha mengkaji bagaimana modal sosial dibangun oleh
IKM. Kajian ini juga diperkuat oleh pendapat Nooteboom (2007, hal. 31) yang
menyatakan bahwa mungkin lebih dari Negara maju yang membutuhkan social capital untuk mencapai efisiensi,
pembagian tenaga kerja, dan inovasi melalui kombinasi baru, Negara sedang berkembang
yang sebagian dasar social capitalnya
adalah trust personal, yang kemudian
tidak dikombinasikan dengan dasar trust
yang lain, mengunci orang ke dalam komunitas tertutup dan sangat lokal, dan menahan mereka dari
perspektif pembangunan yang lebih luas, dari efisiensi dan inovasi, dalam
kelompok yang beragam dan lebih luas. Sehingga akan sangat menarik untuk
menganalisis secara detail institusi yang mendukung munculnya trust dan memperluas dasar untuk trust
KAJIAN PUSTAKA
Modal Sosial
Social capital memiliki banyak intrerpretasi, seperti Schuller
(2000, dalam Huang, 2003, hal. 5), menyatakan bahwa social capital bersifat fleksibel, dapat digunakan dalam berbagai
cara dan dalam berbagai konteks. Para ahli ekonomi mendefinisikan social capital dengan cara sangat
tangibel, sebagai infrastruktur fisik atau modal finansial. Disini social capital dapat berarti semua
bentuk modal; modal alam, ekonomi ataupun modal manusia. Sehingga tidak
mengherankan apabila social capital
sering disebut sebagai keranjang sampah. Terlepas dari kelemahan ini social capital dipandang oleh Putnam
(2000), Fukuyama (1995), Coleman (1988), Bourdieu (1986), Narayan dan Cassidy
(2001), dan Dasgupta dan Serageldin (2000) sebagai perspektif teoritis yang
digunakan untuk memahami dan memprediksi norma dan hubungan sosial yang
terdapat pada struktur sosial atau masyarakat. Hubungan sosial ini membentuk
jejaring yang mampu memenuhi kebutuhan sumberdaya, yang digunakan untuk
melakukan aktivitas, dan menyediakan modal sendiri yang dikumpulkan secara
kolektif, sehingga mendorong peningkatan ekonomi baik bagi individu maupun
komunitas dimana jejaring hubungan sosial tersebut terbentuk.
Putnam (2000) memandang social capital sebagai sekumpulan
asosiasi horisontal antar orang yang memiliki dampak pada produktivitas
masyarakat; social capital me-rupakan
pola hubungan sosial yang mampu membuat orang mengkoordinasikan aktivitasnya
untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Asosiasi ini meliputi jejaring
masyarakat dan norma sosial. Dalam kaitan ini jejaring dan norma berhubungan
secara empiris, dan keduanya memiliki konsekuensi ekonomi. Bagi Putnam social capital termasuk di dalamnya trust, norma, dan networks, yang mendorong kerjasama, yang berlangsung dalam jangka
panjang. Dalam pembangunan social capital
dalam perusahaan, Putnam memandang social
capital sebagai fitur sosial perusahaan seperti jejaring, norma – norma,
dan trust yang mendukung koordinasi
dan kerjasama yang saling menguntungkan. Menurut Putnam (2000, hal. 22)
terdapat dua dimensi jejaring sosial yaitu; bonding
dan bridging. Bonding merupakan hubungan ke dalam komunitas yang cenderung
memunculkan eklusifitas identitas dan kelompok homogen. Sedangkan bridging merupakan jejaring terbuka yang
memberikan kesempatan pada anggota untuk berhubungan dengan kelompok lainnya. Bonding di satu sisi membuat keluarga
dan kerabat saling perduli, namun di sisi lain menimbulkan pembentukan jejaring
yang berdasar pada eklusivitas agresif dan membahayakan masyarakat. Bonding social capital berkaitan dengan penggalian dampak ikatan internal
kolektif dan hubungan jejaring dalam kolektif tersebut, sedangkan bridging social capital fokus pada
individual dan hubungan jejaring. Dibandingkan dengan bonding, bridging
menekankan pada ikatan sosial eksternal individual dan bagaimana social capital sebagai sumberdaya dalam
jejaring tersebut digunakan untuk kepentingan atau keuntungan individual.
Berbeda dengan Putnam, Woolcock (1998 dalam Patulny & Svendsen, 2007,
hal.33) mengenalkan linking sebagai
dimensi jejaring sosial. Linking
merupakan hubungan yang dibangun oleh komunitas dengan institusi ekonomi,
politik dan sosial. Menurut Patulny dan Svendsen, linking ini bukan merupakan bagian yang jelas dari interaksi sosial
setiap hari, dan overlaping dengan konsep lain seperti kepercayaan kepada
pemerintah dan kinerja demokrasi. Sehingga konsep linking ini menjadi prematur, oleh sebab itu penggunaan linking dalam pengukuran jejaring sosial
perlu berhati – hati sebelum konsep linking
ini jelas.
Fukuyama (1995) menggunakan social capital untuk menjelaskan mengapa
suatu Negara lebih berhasil secara ekonomi dibandingkan Negara lain. Fukuyama
memandang social capital sebagai trust, dan kemampuan orang untuk
bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama kelompok atau organisasi. Fukuyama membandingkan
kekuatan social capital sejumlah
Negara, dan menyimpulkan bahwa tingkat social
capital dan loyalitas yang tinggi membuat individu bekerja secara
kooperatif dalam perusahaan sehingga mendorong kemajuan ekonomi.
Menurut Coleman (1988) social capital setara dengan konsep
modal finansial, fisik, dan manusia, hanya saja social capital menjadi dasar hubungan antar orang. Oleh Coleman
konsep social capital dedifinisikan
sesuai dengan fungsinya, bahwa social
capital bukan tunggal melainkan beragam yang memiliki dua karakteristik
yaitu; mengandung beberapa aspek struktur sosial dan memfasilitasi aktivitas
tertentu individu dalam struktur tersebut. Dalam konsep ini, Coleman
menggambarkan bagaimana struktur sosial kelompok dapat difungsikan sebagai sumberdaya
bagi individu kelompok tersebut. Dalam kaitan ini Coleman menyebutkan tiga
dimensi social capital yaitu; (1)
Kewajiban dan harapan yang berdasar pada lingkungan sosial yang dapat
dipercaya; (2) Kapasitas aliran informasi dari struktur sosial; (3) Norma yang
dipaksa melalui hukuman. Dalam keluarga social
capital adalah hubungan antara orang tua dan anak – anak. Di luar keluarga social capital adalah hubungan sosial
yang terjadi antar orang tua. Dapat dikatakan bahwa social capital muncul dengan
tujuan non ekonomi namun membawa konsekuensi ekonomi. Disini Coleman,
mendefinisikan social capital secara
lebih luas dengan memasukkan baik hubungan horisontal maupun vertikal dan
perilaku dalam pembangunan social capital.
Konsep ini sangat berhubungan dengan perilaku perusahaan dalam institusional
ekonomi, yang bertujuan meminimumkan biaya transaksi, Hubungan vertikal dan horisontal dalam
pembangunan social capital dapat
bertujuan baik positif ataupun negatif. Sebagai misal social capital yang memiliki tujuan untuk membantu kegiatan
sekelompok orang mungkin akan merugikan kelompok lainnya. Coleman menambahkan
bahwa kenyataannya social capital
tidak hanya meliputi struktur sosial namun juga pembauran norma yang menjadi
dasar perilaku interpersonal.
Bourdieu (1986) memandang social capital sebagai keseluruhan
sumberdaya aktual dan potensial yang dihubungkan dengan kepemilikan jejaring
hubungan atau hubungan saling menguntungkan dalam komunitas. Hubungan sosial
ini merupakan sumberdaya yang bernilai untuk melakukan pertukaran sosial maupun
ekonomi, yang menimbulkan aset kolektif yang menguntungkan baik individu yang
berada dalam komunitas tersebut maupun komunitas itu sendiri. Social
capital dapat diaktifkan dengan keanggotaan organisasi dan jejaring sosial,
melalui (1) jejaring hubungan yang saling menguntungkan; (2) kontak atau
hubungan yang dibawa oleh network; (3) jejaring khusus, yang memiliki
keanggotaan yang terbatas.
Narayan dan Cassidy (2001, hal.
59) mengambil pendapat Portes (1998) tentang social capital, yang menyatakan bahwa social capital merupakan kemampuan aktor untuk memperoleh
keuntungan melalui keanggotaan dari jejaring sosial atau struktur sosial
lainnya. Dengan kata lain keuntungan diperoleh melalui sosialisasi. Disini
sosialisasi berproses menuju internalisasi nilai – nilai dan norma – norma
khusus yang dapat diambil keuntungannya oleh anggota lainnya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan bahwa social capital
hanya akan dimiliki jika seseorang berhubungan dengan orang lain, yang mampu
menghasilkan keuntungan bagi dirinya. Atau social
capital hanya muncul jika dibagikan. Implikasi praktis social capital dapat jadi menguntungkan ataupun merugikan. Social capital dapat berdampak pada
peningkatan pendapatan, melalui solidaritas dan kepercayaan yang menciptakan
hasil positif yang adil bagi seluruh anggota. Di sisi lain social capital hanya menguntungkan kelompok sosial tertentu dan
membebani kelompok sosial lainnya melalui peraturan yang dibuat.
Dasgupta dan
Serageldin (2000) memandang perlunya untuk memahami social capital pada aras institusi makro dan mikro. Pemahaman ini
dibutuhkan bukan hanya karena social
capital mempengaruhi hasil ekonomi melainkan juga memperkuat dampak social capital.. Institusi makro dapat
menyediakan lingkungan kondusif bagi institusi kecil untuk berkembang.
Sebaliknya asosiasi lokal membantu keberlangsungan institusi regional dan
nasional dan memberi mereka ukuran stabilitas. Kunci penting dalam interaksi
institusi makro dan mikro ini adalah berbagi nilai, norma – norma, dan saling
percaya.
Dari definisi di atas, dapat
dikatakan bahwa dimensi utama dari social
capital adalah jejaring social dan trust,
karena trust memberikan dasar untuk
jejaring sosial dan jejaring sosial merupakan kendaraaan bagi trust. Dalam kaitan ini trust dan jejaring sosial diciptakan
melalui proses interaksi dan pembelajaran dalam suatu komunitas, dimana
komunitas yang berbeda akan menghasilkan tingkat social capital yang berbeda. Perbedaan kepemilikan tingkat social capital, menyebabkan komunitas
yang memiliki cadangan social capital
lebih banyak akan mampu menyuburkan jejaring ekonomi. Trust membantu koordinasi dalam komunitas, dan jejaring sosial
menurunkan biaya pencarian, maka dapat dikatakan bahwa social capital menurunkan biaya transaksi, dan dapat dipandang
sebagai aset ekonomi.
Hal ini sesuai
dengan pendapat Melander dan Nordqvist (2002) yang mengacu hasil penelitian
Putnam (1993) di Itali; Porter (1998) di USA, Itali, dan Portugal, dan Lorenzen
(1999) di Denmark, yang menyimpulkan bahwa tingkat trust yang tinggi dan jejaring social yang ekstensif menunjukkan
akumulasi social capital yang
mendorong kapabilitas ekonomi.
Dalam kaitan
penerapan sosial capital di
perusahaan, Nahapiet dan Ghosal
(1998) menyatakan bahwa pembangunan sosial capital dalam perusahaan
merupakan sumber keunggulan bersaing, karena social capital memperkuat jejaring hubungan interpersonal yang
merupakan dasar keberhasilan perusahaan. Menurut Nahapiet dan Ghosal sosial
capital memiliki tiga dimensi
yaitu: structural social capital, relational social capital) dan cognitive
social capital..
Structural
social capital merupakan jejaring
struktural dalam perusahaan seperti hubungan antar individu, bentuk hubungan
dan keselarasan hubungan. Jejaring struktural ini meliputi pengikatan, pembentukan,
dan kesesuaian jejaring. Pengikatan jejaring menghubungkan antar anggota dalam
organisasi. Untuk menjelaskan bagaimana structurall
social capital ini bekerja dalam
perusahaan, Nahapiet dan Ghosal mengambil hasil penelitian; Krachhard &
Hanson (1993) yang menyatakan hubungan antar anggota dalam organisasi memiliki
pengaruh yang penting dalam transfer informasi, pembelajaran organisasional
(Fisher & Whiel, 2000), dan pelaksanaan aktivitas perusahaan (Shah, 2000).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa transfer informasi dan pengetahaun dalam
perusahaan akan terjadi ketika karyawan saling berhubungan. Dengan demikian
aktivitas perusahaan akan lebih efisien jika individu dalam perusahaan saling
mengenal dengan baik atau terjadi hubungan interpersonal.
Jejaring formal
maupun informal memiliki peran penting dalam keseluruhan pembangunan hubungan
interpersonal. Pemahaman tentang pembentukan jejaring struktural ditentukan
oleh dimensi - dimensi seperti: lingkaran struktural (terdapatnya hubungan
antar pekerja ), sentralisasi (tingkat konsentrasi hubungan antar pekerja), dan
densitas (jumlah pekerja yang saling berhubungan relatif terhadap jumlah
hubungan potensial seluruh pekerja), (Ibarra, 1992, dalam Bolino, Turnley &
Bloodgood, 2002, hal. 510) Ke tiga karakteristik ini merupakan determinan kunci
bagi pergerakan informasi, pengetahuan, bantuan dalam organisasi, sepanjang hal
ini berkaitan dengan hubungan individual sederhana. Berbeda dengan Ibarra
(1992), Weven, Martens dan Vandenbempt ( 2005, hal. 1527) menyatakan terdapat
dua dimensi atau dimensi dari structural
social capital yaitu network
structure dan structural features of
the network. Struktur jejaring ini dapat diukur dari jumlah ikatan langsung
dan tidak langsung, frekuensi interaksi, jumlah lubang struktural (tingkat
dimana perusahaan partner saling terhubung), ekuivalen struktural (kesamaan
ikatan). Sedangkan fitur jejaring dapat diukur melalui densitas dan
sentralitas. Pengukuran fitur jejaring juga dapat dilakukan melalui jenis
jejaring structural yang terbentuk seperti bonding,
bridging ataupun linking. (Putnam, 2000, & Woolcock, 1998).
Kesesuaian
jejaring dapat mempengaruhi secara signifikan aliran informasi dan bantuan
dalam suatu jejaring. Kesesuaian jejaring berkaitan dengan kemudahan berbagai
bentuk hubungan dapat ditransfer dalam jejaring. Sebagai contoh, seorang
pekerja mungkin dapat menyelesaikan tugasnya dengan mudah karena ia memiliki
teman yang ahli di bidang pekerjaan tersebut. Hubungan yang terbentuk antar
individu adalah informal, sehingga jejaring yang terbentuk untuk satu tujuan
tertentu mungkin berguna untuk tujuan yang lain.
Relational
Social capital merupakan
hubungan yang ditunjukkan dengan adanya tingkat kepercayaan yang tinggi,
berbagi norma, pandangan, kewajiban, dan rasa saling memiliki. Pengertian ini
sesuai dengan definisi Granovetter (1973, dalam Bolino, Turnley, &
Bloodgood, 2002, hal. 510), yang mendefinisikan relational social capital
sebagai hubungan antar individu yang ditandai dengan kepercayaan, timbal balik,
dan intensitas emosional. Sedangkan Krackhard dan Hanson (1993, dalam Bolino,
Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511) mendefinisikan relational social capital relational sebagai hubungan interpersonal
yang terjadi secara alami. Dengan demikian relational
social capital berkaitan dengan
hubungan antar pekerja dalam satu perusahaan yang saling bekerjasama, saling
percaya, dan saling terikat, yang akan berdampak pada kinerja perusahaan dimana
kelompok tersebut berada.
Krackhard dan Hanson, menyatakan
bahwa individual dalam kelompok merasa lebih nyaman dengan ketidakpastian dan
tidak menolak perubahan ketika mereka saling menyukai. Sedangkan menurut Mullen
& Cooper (1991, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002, hal. 511),
ketertarikan interpersonal merupakan komponen kunci bagi keberhasilan kelompok,
khususnya untuk kelompok kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelompok
kerja dalam perusahaan (IKM) yang di dalamnya, para anggotanya saling menyukai
akan lebih fleksibel, lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan lingkungan,
dan memiliki kinerja yang lebih tinggi.
Saling percaya muncul dari
keyakinan akan niat yang baik, keterbukaan, kompetensi, kehandalan dari
individu/kelompok lain (Mishiro, 1996 dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood,
2002). Jones & George (1998, dalam Bolino, Turnley, & Bloodgood, 2002,
hal. 511) menambahkan bahwa kepecayaan membantu pertukaran sosial dan
sumberdaya, meningkatkan komunikasi, mengembangkan kerjasama antar anggota.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan yang tinggi (trust) dalam perusahaan (IKM) akan
mengembangkan tim kerja, dan memperbaiki fungsi organisasional perusahaan yang
merupakan iklim yang kondusif bagi aktivitas inovasi..
Cognitive
social capital berkaitan dengan kemampuan individu dalam perusahaan untuk
memahami satu dengan lainnya. Saling memahami antar pekerja dicapai melalui
saling tukar bahasa, dan berbagi cerita. Ketika berbagi bahasa dan cerita
terjadi, pekerja dapat lebih mudah mendiskusikan masalahnya, mentransfer ide,
berbagi pengetahuan, dan saling menolong. Aspek cognitive social capital
berkaitan dengan tingkat kemampuan berbahasa dan mengkomunikasikan bahasa
tersebut kepada individu lain (Weich, 1995 dalam Bolino, Turnley, &
Bloodgood, 2002, hal. 511) Berbagi bahasa menolong anggota organisasi dengan
kemampuan komunikasi yang lebih efektif (Boisot, 1995 dalam Bolino, Turnley,
& Bloodgood, 2002, hal. 511); sedangkan berbagi cerita membantu anggota
organisasi mengartikan, dan memahami pengalaman masing – masing. Dengan
demikian baik berbagi bahasa maupun cerita mampu meningkatkan tingkat pemahaman
anggota organisasi yang berakibat pada; meningkatnya kemampuan untuk
mengantisipasi dan memprediksi aktivitas rekan kerja, sehingga memfasilitasi
penggunaan input dari berbagai anggota, dan mengadaptasi perubahan kondisi; dan
meningkatnya efisiensi yang diperoleh melalui rasa saling menyadari, dan
penurunan dari perilaku yang tidak dikehendaki dalam organisasi.
Liao & Welsch (2005, hal.
352) menyatakan bahwa ke tiga dimensi social capital (structural, relational,
dan cognitive social capital)
tidaklah berdiri sendiri melainkan saling terkait. Structural social capital
merupakan bentuk dasar dari sosial capital yang mampu memunculkan modal
sosial relasional dan kognitif. Tanpa jejaring perusahaan tidak akan mampu
membentuk hubungan saling percaya, dan tidak mungkin berbagi norma dan nilai.
Atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat interaksi akan semakin mudah untuk
membangun kepercayaan, dan lebih mudah informasi, dan sumberdaya dipertukarkan
dalam jejaring. Disatu sisi aktivitas perusahaan dibentuk oleh norma – norma
dan nilai – nilai jejaring perusahaan, di sisi lain interaksi dan ikatan sosial
yang kuat dalam jejaring perusahan memainkan peran penting dalam mempengaruhi
dan pembentukan norma – norma dan nilai – nilai jejaring. Jejaring yang berbagi
norma dan kepercayaan akan lebih dapat membangun hubungan saling percaya inter
dan intra perusahaan.
Trust dan Cognitive
Social Capital
Studi Levin dan
Cross (2004) mencoba menjelaskan arti penting relational dan structural
social capital dalam penerimaan pengetahuan baik yang dinyatakan (explicit) maupun yang tidak dinyatakan (tacit). Dalam kaitan ini Levin dan Cross mengajukan model pertukaran dua kelompok
pengetahuan tersebut.
Menurut Levin dan Cross ikatan kuat biasanya
memperbaiki transfer pengetahuan antara ilmuwan dan pelaksana, namun trust dapat menggantikan tugas ini
ketika ikatan lemah terjadi. Structural
social capital manifestasi dari ikatan interaksi sosial yang merangsang trust, yang mengarahkan pada pertukaran sumberdaya termasuk pengetahu-an
antar departemen. Terdapat dua dimensi trust
yang bisa digunakan yaitu : benevolence
– based trust (yang memiliki komponen afektif) dan competence – based trust (yang memiliki komponen kognitif
komponen).
Menggunakan pendapat pada umumnya peneliti, Levin
dan Cross membedakan pengetahuan kedalam explisit
(yaitu pengetahuan yang dapat dibuat kode) dan tacit (yaitu pengetahuan yang sulit untuk diartikan). Perolehan
pengetahuan tacit tergantung pada kualitas hubungan antara pencari pengetahuan
dengan sumber pengetahuan. Sehingga pencari pengetahuan harus mempercayai
kompetensi sumber pengetahuan. Namun ketika pencari pengetahuan tacit tidak mempercayai kebaikan sumber,
sedangkan mereka kekurangan akan pengetahuan itu, maka kekawatiran mereka akan
menyebabkan pengetahuan diterima secara salah.
Ikatan kuat mempermudah pertukaran ke dua jenis
pengetahuan ini lebih besar., dan membuat pencari pengetahuan memahami dan
menerapkan pengetahuan baru yang diperolehnya. Hubungan ikatan kuat dan
penerimaan pengetahuan ini dimediasi oleh benevolence
dan competence – based trust, karena
ikatan kuat dapat mempermudah pertukaran pengetahuan jika muncul trust di dalamnya. Percaya bahwa sumber
pengetahuan adalah baik dan kompeten akan menaikkan kesempatan penerima
pengetahuan belajar dari interaksi.
Ketika trust
terhadap sumber informasi rendah, ikatan lemah akan menyediakan pengetahuan
lebih bermanfaat dari pada ikatan kuat. Ketika trust tinggi, ikatan lemah juga akan menyediakan pengetahuan lebih
bermanfaat dari pada ikatan kuat Ikatan
kuat mungkin akan menyediakan pengetahuan yang salah atau tidak tepat,
tapi.ikatan kuat tidak diragukan lagi sangat menolong penyediaan pengetahuan.
Meskipun demikian ikatan lemah lebih mampu menyediakan pengetahuan yang
bermanfaat dibanding ikatan kuat.
Hasil studi Levin dan Cross ini menunjukkan: (1)
hubungan antara ikatan kuat dan penerimaan pengetahuan yang bermanfaat yang
dimediasi oleh competence - based trust (trust berdasar pada kompetensi) dan benevolence – based trust (trust berdasar pada kebaikan); (2)
Munculnya manfaat struktural dari ikatan lemah akibat pengawasan terhadap dua
dimensi trust ( hasil ini menunjukkan
bahwa ikatan lemah menyediakan akses untuk informasi yang bermanfaat ); (3) Competence – based trust khususnya
penting untuk penerimaan pengetahuan tacit. Sedangkan untuk penelitian
mendatang Levin dan Cross menyarankan untuk mengukur dimensi social capital lainnya yaitu cognitive social capital dalam transfer
pengetahuan.
Trust dan Structural Social Capital
Dalam
studinya Weven, Martens dan Vandenbempt (2005), membangun model konseptual
pengaruh trust terhadap akuisisi
sumberdaya stratejik melalui jejaring inter-organisasional. Dalam model ini, trust yang berfungsi sebagai pendorong efektivitas jejaring
interganisasional, mempengaruhi akuisisi sumberdaya stratejik. Berdasarkan
model ini Weven, Martens dan Vandenbempt, mencoba menjawab pertanyaan –
pertanyaan; bagaimana jejaring interorganisasional mempengaruhi efektivitas
jejaring; dan bagaimana trust mempengaruhi
pertukaran sumberdaya.
Dalam
membangun model konseptualnya Weven, Martens dan Vandenbempt mengacu pada hasil
penelitian Ahuja (2000), serta Human dan Provan (1997). Hasil penelitian Ahuja
menunjukkan bahwa ikatan langsung maupun tidak langsung dalam jejaring
interorganisasional memiliki dampak positif pada kinerja yang berupa hasil
inovasi. Hal ini disebabkan ikatan langsung memungkinkan terjadinya pertukaran
pengetahuan, dan membawa keterampilan dari perusahan yang berbeda, sedangkan
ikatan tidak langsung bertindak sebagai mekanisme aliran pengetahuan. Dapat
dikatakan ikatan kuat maupun lemah memiliki sumbangan positif dan signifikan
terhadap hasil inovasi, namun ketika jejaring interorganisasional memiliki
banyak structural holes hasil inovasi
berkurang.
Sedangkan
hasil penelitian Human dan Provan menunjukkan ketika jejaring memiliki densitas
yang tinggi dan tersentralisasi, kinerja yang berbeda terjadi. Akibatnya ikatan
dan fitur dapat menjadi saluran akses sumberdaya, dan saluran pertukaran
sumberdaya. Dalam kaitan ini Weven, Martens dan Vandenbempt, mengajukan
argumentasi bahwa struktur jejaring dan fitur jejaring mempengaruhi efektivitas
jejaring interorganisasional dalam mengakses, mempertukarkan dan membantu
akuisisi sumberdaya stratejik. Lebih tepatnya Weven, Martens dan Vandenbempt,
menyatakan jumlah ikatan langsung maupun tidak langsung dapat secara positif
mempengaruhi efektivitas jejaring interorganisasional , dimana structural holes dapat menurunkan
efektivitas ini. Densitas yang tinggi
dan ketiadaan jejaring partner yang dominant (yang ditunjukkan dari
rendahnya tingkat sentralitas), memiliki dampak positif terhadap efektivitas
jejaring interorganisasional. Meskipun ikatan jejaring dapat menunjukkan aliran
sumberdaya yang signifikan, mereka tidak dapat menjamin transfer aktual atau
pertukaran sumberdaya stratejik didalam jejaring. Terdapat tiga hambatan
transfer sumberdaya stratejik antara anggota jejaring yaitu : kurangnya
kapasitas penerima, ambiguitas, dan jarak hubungan antara sumber dan penerima.
Trust, dapat menolong untuk
menghilangkan ke tiga hambatan ini, dan membantu terjadinya pertukaran
sumberdaya. Tanpa trust, perusahaan tidak berkehendak
melakukan pertukaran sumberdaya stratejik, untuk menghindari risiko pertukaran.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa trust
membantu ikatan jejaring interorganisasional dan fitur structural secara nyata
melakukan transfer sumberdaya. Jika trust
tidak ada, maka transfer sumberdaya dianggap terlalu berisiko.
Weven, Martens dan Vandenbempt ,
menyatakan untuk penelitian mendatang sebaiknya memperluas model dengan
memasukkan jejaring intraorganisasional, cognitive social capital, dan
perhatian harus diberikan pada evolusi dinamik trust dalam jejaring interorganisasional.
Studi Liao
dan Welsch (2005) menggunakan dimensi social capital dari Nahapiet dan Ghosal
(1998) : structural, relational dan cognitive social capital untuk menjawab pertanyaan tentang : Apakah terdapat
perbedaan dalam social capital antara
perusahaan baru atau sedang tumbuh (nascent
entrepreneurs) dengan perusahaan pada umunya ?; Apakah terdapat perbedaan
dalam social capital antara
perusahaan yang menggunakan teknologi dan tidak menggunakan teknologi?;
Bagaimana tiga dimensi social capital
ini berinteraksi satu dengan lainnya pada kelompok yang berbeda ?.
Salah satu
penekanan Liao dan Welsch (2005) dalam studinya adalah perilaku entrepreneurs sebagai individu yaitu :
kemauan (propensity to entreprise)
dan kemampuan untuk menjalankan perusahaan (ability
to enterprise). Propensity to
enterprise berkaitan dengan karakteristik psikologis dan perilaku entrepreneurs. Untuk menentukan dimensi
dari propensity
to enterprise ini Laio dan Welsch mengambil dimensi dari beberapa ahli
seperti ; kebutuhan untuk mencapai keberhasilan (McClelland dan Winter, 1969),
kapasitas untuk melakukan aktivitas inovasi (Schumpeter, 1934), pengawasan
internal (Shapero, 1975), dan kemauan untuk mengambil risiko (Brockhaus, 1980).
Sedangkan ability to enterprise
menekankan pada modal manusia untuk nascent
entrepreneurs, seperti pengalaman professional, dan latar belakang
pendidikan. Dapat dikatakan bahwa entrepreneurs, yang memiliki kemauan dan kemampuan
untuk menjalankan perusahaan akan
memiliki kesempatan lebih besar dalam menciptakan perusahaan baru.
Structural
social capital kapasitas potensial nascent
entrepreneurs untuk mengakses informasi, sumberdaya, dan dukungan yang
sangat penting untuk penciptaan perusahaan baru. Structural social
capital ini
memfasilitasi pembangunan bentuk baru dari hubungan dan aktivitas inovasi.
Interaksi dan jejaring social yang kuat merupakan sumberdaya produktif entrepreneurs yang berkaitan dengan
pertukaran informasi, pengenalan peluang sumberdaya, serta pertukaran
sumberdaya. Penciptaan perusahaan baru sering kali terperangkap dalam mengakses
sumberdaya dan informasi yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya, karena
keterbatasan sumberdaya tersebut. Strategi kunci entrepreneurs untuk menghilangkan perangkap ini adalah dengan
menggunakan jejaring personal dan interaksi social. Karena individu yang berada
dalam posisi sentral jejaring personal lebih mampu mengenal peluang bisnis, dan
mengakses sumberdaya yang dibutuhkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa structural social capital akan
meningkatkan kemampuan entrepreneurs dalam
menjalankan perusahaan.
Relational social capital memungkinkan entrepreneurs mampu menerima dukungan informasi, fisik dan emosi
dalam penciptaan perusahaan baru. Semakin tinggi tingkat interaksi semakin
mudah nascent entrepreneurs membangun
trust, dan semakin mudah informasi,
sumberdaya, dan bentuk transaksi lain terjadi dalam jejaring entrepreneurial. Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa ketika trust dibangun
antar kelompok, maka kemauan untuk melakukan kerjasama semakin tinggi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa trust merupakan
dasar akuisisi sumberdaya, pengetahuan, kombinasi dan pertukaran. Atau relational social capital akan mendorong
kemauan entrepreneurs untuk
menjalankan perusahaan.
Cognitive social capital mendorong proses penciptaan perusahaan baru
melalui perbaikan akses pembelajaran sumberdaya eksternal, melalui peningkatan
kemauan rekan kerja untuk terlibat dalam pertukaran, dan melalui peningkatan
efisiensi transfer dan asimilasi pengetahuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa cognitive social capital bukan saja
meningkatkan kemauan, namun juga kemampuan dalam menjalankan perusahaan.
Hasil studi Liao dan Welsch ini
menunjukkan bahwa ke tiga dimensi social
capital tersebut dalam nascent
entrepreneurs dan perusahaan pada umumnya, memiliki perbedaan secara
signifikan. Perbedaan antara dua kelompok perusahaan ini bukan disebabkan oleh
jumlah social capital, melainkan pola
asosiasi di antara ke tiga dimensi ini. Selain itu nascent entrepreneurs yang berdasar pada teknologi cenderung
memiliki tingkat relational social
capital yang lebih tinggi Liao dan
Welsch (2005) menyarankan penelitian mendatang sebagai berikut:
1) Penelitian mendatang sebaiknya
memfokuskan pada mekanisme, strategi, dan taktik entrepreneurs dalam menggunakan structural
social capital dalam cognitive social
capital dan merubahnya untuk menciptakan relational social capital.
2) Penelitian mendatang sebaiknya
menginvestigasi bagaimana asosiasi dan aktivitas dari ke tiga dimensi social capital berdampak pada proses
penciptaan perusahaan baru.
3) Penelitian mendatang sebaiknya
mengidentifikasikan proses bagaimana setiap dimensi dari social capital berakumulasi. Penelitian ini memiliki implikasi
penting untuk nascent entrepreneurs khususnya berdasar pada teknologi..
Social Capital Dan Institusi
Setiap Negara memiliki insititusi yang berbeda
untuk mendukung trust. Trust bisa terbentuk tanpa dukungan
institusi dimana trust dibangun dari
hubungan yang ada, namun trust jenis
ini tidak tahan lama. Dalam masyarakat industri orang –orang menjadi anggota
masyarakat dalam kelompok – kelompok yang berbeda, dengan keterlibatan yang
kecil, dan ketergantungan kurang berdasarkan pada personal trust, namun lebih pada hukum, perantara, dan pola kompleks saling
ketergantungan.
Hubungan antara trust pada orang dan trust pada institusi tergantung pada
posisi dan peranan orang yang berada dalam organisasi, dan pada bagaimana
koordinasi perilaku dilakukan dalam institusi. Dalam kaitan perilaku yang dapat
dipercaya perlu dilakukan pembedaan antara trust
pada kompetensi atau kemampuan untuk memenuhi harapan dan trust pada tujuan atau berusaha bertindak sesuai dengan kompetensi
terbaik.Dalam kaitan ini Noteboom (2007, hal. 44) memandang trust sebagai sumber yang menjembatani
antara institusi dan hubungan internal.
Social capital mungkin menggantikan
peran institusi atau menutup kelemahan institusional (seperti mendukung
mekanisme reputasi sebagai pengganti pengawasan kontraktual ketika dasar hukum
tidak tersedia) , dan mendukung hubungan sumberdaya internal. Ketika hubungan
sumberdaya internal terjadi maka trust dibangun
baik trust pada kompetensi (competence trust), maupun trust pada tujuan (intentional trust). Namun social
capital seringkali membangun intentional
trust, yang mungkin merupakan fungsi utamanya. Pembangunan ini dilakukan oleh social capital melalui berbagi norma dan nilai sepanjang
institusi.(Noteboom, 2007, hal 45)
Tanpa kerangka
kerja institusional, kombinasi antara ketergantungan yang saling menguntungkan
dan pembangunan trust dalam hubungan
individual, akan sangat rentan, karena biaya transaksi sangat tinggi. Kerangka
kerja institusional ini dapat juga diterangkan melalui konsep bonding dan bridging yang dikemukakan
oleh Putnam (2000). Bridging dapat
dikatakan lebih memiliki dampak positif terhadap kinerja ekonomi, karena tujuan
khusus kelompok tidak begitu intens seperti yang terjadi pada bonding, dan membantu pelaksanaan
berbagi norma. Selain itu bridging mampu
menggunakan pengetahuan yang bervariasi untuk membangun aktivitas inovasi.
Ketika kerangka kerja institusional memfasilitasi bridging, dampak positif mungkin diharapkan, dibanding bonding. Namun ketika dukungan
institusional tidak ada, maka orang cenderung kembali pada bonding. (Noteboom, 2007, hal. 48)
Menurut Servalli dan Woller (2001), peran
institusi adalah mengatasi masalah dari kegiatan kolektif. Dalam kaitan
ini institusi mengurangi ketidakpastian, dan mendukung pembentukan social capital. Selain itu institusi
memainkan peran penting dalam mengurangi biaya koordinasi dengan memecahkan masalah
koordinasi, memiliki koordinasi internal sumberdaya interorganisasional yang
lebih besar, melakukan penyesuaian struktur, dan berpartisipasi secara langsung
dalam kegiatan kolektif. Namun di satu sisi, kinerja institusi tergantung pada
tingkat trust dan keberadaan social capital , karena aktivitas
insititusional dapat dilihat sebagai hasil langsung dari social capital. Sedangkan di sisi lain, institusi menikmati
kewenangan relatif yang dimilikinya dalam melakukan intervensi yang dapat
mempengaruhi konteks sosial.
Model Konseptual
Model konseptual
ini memberikan gambaran bagaimana social
capital dibangun oleh entrepreneur.
Berlandaskan penjelasan teori di atas dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai penggerak
aktivitas IKM. Untuk menggerakkan aktivitas IKM trust tidak berdiri sendiri melainkan terintegrasi dengan structural dan cognitive social capital, mengingat keberadaan trust disebabkan
oleh keberadaan jejaring dan saling berbagi cerita. Dapat dikatakan bahwa trust dapat dibangun melalui social capital lainnya, kemudian trust
tersebut dapat digunakan untuk menggerakkan aktivitas IKM.
Peran modal sosial diperkuat oleh keberadaan
institusi.. Hal ini disebabkan bukan hanya karena institusi mengurangi
ketidakpastian, dan mendukung pembentukan social capital dengan menutup
kelemahan dari kegiatan kolektif yang berupa biaya koordinasi, namun juga
karena institusi memfasilitasi pembangunan melalui IKM. Oleh sebab itu dalam
model konseptual ini terdapat empat variabel yang saling berinteraksi yaitu: Trust, Structural Social Capital, Cognitive
Social Capital dan Institution.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian kualitatif meliputi
studi pada sifat natural subyek, dimana peneliti berupaya menterjemahkan dan
memberi makna suatu fenomena dan arti yang ditujukan orang terhadap fenomena
tersebut (Shank,2002) Dalam penelitian yang akan dilakukan itu fenomena yang
muncul adalah penurunan kinerja IKM akibat kurang mampunya IKM membangun
hubungan atau jejaring interpersonal. Oleh sebab itu studi ini lebih sesuai
menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan kata lain pendekatan kualitatif ini
dipilih karena studi yang akan dilaksanakan merupakan penelitian tentang pola
berfikir dan perilaku, yang meskipun tidak muskil namun sangat sulit untuk diangkakan,
oleh sebab itu pendekatan kualitatif lebih tepat.
Studi yang akan dilakukan ini,
direncanakan menggunakan studi kasus. Metode studi kasus ini dipilih karena
studi yang akan dilaksanakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa
dan bagaimana hubungan interaksi antara trust, cognitive social capital,
structural social capital dan institusi pada IKM furniture di Jateng, dimana
jawaban tersebut tidak menghasilkan hasil yang pasti dan dapat digeneralisasi.
Sesuai pendapatan Yin (2002, hal.1) yang menyatakan bahwa studi kasus lebih
dipilih ketika pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” diajukan.
Menurut Yin (2002, hal.13) studi
kasus merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan kondisi kontekstual
yang diyakini sangat berarti bagi fenomena penelitian yang ada. Kondisi
kontekstual dalam studi ini adalah kondisi bagaimana intstitusi bernteraksi
dengan social capital, yang diyakini mampu meningkatkan kinerja IKM. Dalam
penelitian ini studi kasus akan digunakan untuk menjelaskan asumsi hubungan yang
kompleks antara trust, cognitivie social capital, structural social capital dan
institusi.
Terdapat beberapa kelemahan studi
kasus seperti pandangan peneliti kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian,
kurang menyediakan dasar untuk generalisasi, dan hasil penelitian merupakan
dokumen yang tidak dapat dibaca. Untuk mengatasi kelemahan dari studi kasus
ini, studi yang akan dilaksanakan menggunakan acuan referensi sehingga paling
tidak prosedur sistematis dapat dikembangkan dalam studi ini
Unit Analisis
Unit analisis
dalam studi ini adalah IKM furniture di Jateng yang melayani pasar ekspor dan
berdasar pada teknologi IKM furniture ini akan diklasifikasikan sesuai dengan
dua bentuk kontras dari system operasional IKM yaitu IKM dengan struktur
organic dan IKM dengan struktur mekanik, mengacu pada hasil penelitian Burns
dan Stalker (1961, dalam Lumpkin dan Des, 1996 hal.155) yang mengenalkan dua
jenis struktur organisasi yaitu organic dan mekanik. Dari hasil penelitian
mereka terhadap 20 perusahaan di Scotland dan Inggris, mereka menyimpulkan
bahwa perusahaan terbagi ke dalam dua struktur formal yang kontras. Perusahaan
organic cenderung pada desentralisasi, informal, menekankan pada hubungan
lateral, dan pengetahuan didistribusikan secara adil melalui jejaring organisasi.
Sedangkan perusahaan mekanik cenderung pada sentralisasi, formal, memiliki
karakteristik tingkat interaksi vertical, dan memiliki perbedaan khusus antar
fungsi.
Unit analisis
dalam penelitian ini akan ditentukan IKM furniture di Jepara karena mewakili ciri – ciri IKM dengan
strukutr organic dan IKM di Surakarta karena mewakili ciri – ciri IKM dengan
struktur mekanik. Jumlah unit
analisis atau sample tidak akan ditentukan saat ini, karena jumlahnya akan
disesuaikan dengan data di lapangan.
Uji Kualitas dan Instrumen Penelitian
Uji kelayakan instrument ini akan
dilakukan melalui (Yin, 20002 hal.34)
1)
Construct
validity; yaitu dengan menyediakan ukuran operasional yang tepat untuk
konsep yang diteliti.
2)
Internal validity.
Karena penelitian ini merupakan studi kasus eksplanatori maka validitas
internal dibutuhkan. Dalam kaitan uji validitas internal penelitian akan
dilakukan dengan cara membandingkan data di lapangan dengan model yang
menjelaskan hubungan antara modal sosial.
3)
Reliability.
Dalam studi ini akan dilakukan uji ulang hanya untuk beberapa subyek yang
diteliti yang merespon baik. Uji ulang ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa
instrument penelitian yang digunakan adalah dapat dipercaya.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data
dalam studi ini akan dilakukan dengan dua cara yaitu (Yin 2002, hal. 89 – 92)
1)
Indepth interview.
Dalam penelitian ini peneliti akan bertanya secara mendalam kepada subyek yang
diteliti kenyataan yang terjadi dan pendapat mereka mangapa dan bagaimana modal
sosial dibangun.
2)
Observation.
Dalam pengumpulan data peneliti akan melakukan interaksi secara pasif dengan
wirausaha sebagai subyek yang diteliti untuk melihat bagaimana modal sosial
dibangun.
Analisis Data
Analisis data yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah (Yin, 2002 hal. 110-138)
1)
Pattern –
matching. Dalam penelitian ini pola – pola empiris yang telah dibangun
dibandingkan dengan prediksi di lapangan. Yang dimaksud dengan pola – pola
empiris disini adalah kerangka pemikiran teoritis yang telah dibangun
sebelumnya.
2)
Explanation
building. Penelitian ini akan melakukan analisis data melalui pembangunan
penjelasan tentang kasus yang diteliti. Yang dimaksudkan disini adalah
penjelasan tentang bagaimana modal sosial dibangun. Meskipun membutuhkan waktu
yang cukup lama namun karena jenis penelitian ini adalah studi kasus maka
analisis data ini sebaiknya dilakukan.
3)
Logic model.
Penelitian ini akan menguji data di lapangan atau jawaban subyek yang diteliti
berulang kali untuk melihat perubahan proses bagaimana modal sosila dibangun.
Pelaksanaan pengujian dilakukan dengan penyesuaian data empiris hasil observasi
dengan teori yang dijadikan referensi.
TEMUAN PENELITIAN
Subyek penelitian menekankan
dengan sedikit berlebihan bahwa cara paling efisien bagi mereka untuk berhasil
adalah dengan melakukan komunikasi langsung dengan partner mereka. Yang mereka
sebut partner disini bisa berasal dari industri yang sejenis ataupun tidak
sejenis yang membangun hubungan saling menguntungkan dengan mereka.. Mereka
mengekspresikan kepercayaan tingkat tinggi kepada partner mereka. Kepercayaan tinggi ini ditunjukkan dengan
kemampuan mereka untuk mendiskusikan isu manajerial, pasar maupun perkembangan
teknologi.. Dengan kepercayaan yang mereka bangun ini mampu mengurangi biaya
transaksi
Kepercayaan ini pula yang membuat
mereka tidak ingin mengambil peluang partner mereka yang pada waktu muncul
peluang tidak mampu mengeksploitasinya, mereka malah membantu keuangan partner
agar mampu memanfaatkan peluang tersebut.
Karena kesempatan yang mereka ambil dari partner yang lemah akan
merugikan hubungan mereka di masa mendatang dalam jangka panjang. Mereka mengekspresikan bahwa perilaku
tersebut akan menyebabkan perusahaan mereka kehilangan parner atau kehilangan kepercayaan
dari partner mereka, Kepercayaan melahirkan kepercayaan dan kehilangan
kepercayaan membuat lebih sulit untuk menemukan partner yang sejalan. Perilaku
oportunis dari satu perusahaan mebel akan mampu menghasilkan hilangnya peluang
bagi perusahaan mebel lain. Mereka melindungi kepercayaan dengan cara pemberian
hukuman yang sangat kuat secara moral dan sosial serta multidimensional.
Subyek penelitian juga mengekspresikan bahwa kinerja perusahaan dalam
kaitan keuntungan, volume penjualan dan inovasi, diperbaiki dengan cepat oleh
adanya hubungan dengan partner mereka. Terdapat dua cara untuk dapat melakukan
komunikasi dengan partner yaitu dengan cara tatap muka atau komunikasi secara
langsung, dan melalui pihak ke tiga. Dengan melakukan kolaburasi perusahaan
dapat menggunakan sumber daya dari partner mereka untuk pelayanan dan produk
yang lebih baik. Mereka menyatakan bahwa hubungan yang mereka bangun memainkan
peran yang sangat luas dalam melindungi dan mendapatkan sumberdaya dan
informasi. Dengan demikian keberhasilan perusahaan dalam pasar yang bergejolak
dapat dicapai melalui keberhasilan pembangunan hubungan jejaring. Tidak hanya
saling percaya yang menentukan keberhasilan hubungan melainkan juga bagaimana
perusahaan diposisikan dalam hubungan tersebut (pendapat salah satu manajer)
Subyek penelitian menyatakan : kita membangun hubungan baik dengan partner
kita, dan hubungan ini memiliki kapabilitas untuk membantu kita dalam banyak
hal; kita mendapatkan informasi dan pengetahuan yang banyak dan sangat berguna
dari partner kita; kita selalu dapat menggunakan sumberdaya partner kita untuk menyediakan produk dan pelayanan yang
baik bagi pelanggan kita; jika kita tidak dapat memenuhi kebutuhan pelanggan
dan jika partner kita menolong kita dengan merekomendasikan perusahaan lain
yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kita, kita akan berpikir bahwa
perusahaan itu juga partner kita secara otomatis; karena kita percaya pada
partner kita biasanya mempercayai pihak ke tiga yang direkomendasikan oleh
partner kita; ringkasnya kita akan mempertimbangkan secara serius membangun
hubungan dengan partner baru sebab kepercayaan yang kita miliki terhadap
partner kita sebelumnya.
Perusahaan memberikan insenstif untuk berbagi pengetahuan antar bagian dan
dengan partner mereka dalam bentuk aktivitas yang didanai bersama. Subyek penelitian menyatakan bahwa hubungan
ini telah menolong mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang berguna dan
berharga. Perusahaan berpartisipasi
sebab mereka menemukan bahwa cara ini merupakan cara yang paling efisien dalam
berbagi dan penciptaan pengetahuan. Hal ini mendorong proses pembelajaran
kolektif yang dianggap superior menjadi terbatas. Pengetahuan yang mengalir ke
dalam perusahaan dari luar menciptakan peluang substansial bagi perusahaan
untuk dikombinasikan dengan pengetahuan yang telah ada dan untuk menciptakan
pengetehuan baru.
Subyek penelitian menyatakan bahwa mereka menentukan tujuan bersama dalam
proses kerjasama, dan hal ini menciptakan kode mental untuk berbagi ambisi dan
misi, yang pada umumnya menghilangkan halangan budaya dan organisasional. Kode
ini menolong mereka mengembangkan pemahaman yang lebih dalam satu sama lain.
Hal ini juga melindungi pengetahuan yang mereka miliki dari diseminasi pihak
lain.
Saling berbagi baik ambisi, misi,visi, tujuan dan khususnya pengetahuan
secara efektif mengatasi halangan komunikasi. Atau dapat dikatakan bahwa
perusahaan dan partnernya dapat melakukan pertukaran gratis dukungan teknik dan
berbagai persediaan pengetahuan sesuai kebutuhan perusahaan. Hal ini merupakan
kebutuhan dasar hubungan karena transfer teknologi dan kepakaran manajerial
dengan partner membutuhkan investasi uang dan waktu. Perusahaan berharap bahwa
partner mereka dapat menyediakan sumberdaya yang relevan dan keahlilan khusus
untuk perusahaan dalam penawaran produk dan pelayanannya. Pengaksesan
sumberdaya melalui pasar terbuka tidak selalu mudah dan penggunaan sumberdaya
untuk perusahaan tidak selalu optimal.
Komentar salah satu manajer tentang hubungan antar industri. Dengan
menggabungkan sumberdaya dan kemampuan kita dengan perusahaan lain, kita dapat
menyelesaikan proyek yang tidak dapat dikerjakan sendiri dengan berhasil. Kita mendorong anggota bagian perusahaan
kita untuk melakukan komunikasi secara aktif dengan anggota bagian partner kita
meskipun kita melindungi informasi yang bersifat rahasia. Kita yakin bahwa
partner kita tidak akan membahayakan posisi kita. Komunikasi antar bagian kita dan partner kita akan
mampu memperdalam pemahaman kita bersama.
Para manajer menyadari bahwa perilaku buruk dalam hubungan adalah jika
kepercayaan interpersonal berubah bentuk menjadi kepercayaan institusional. Kepercayaan
perusahaan terhadap partnernya menurunkan ketidakpastian hubungan kerjasama
sehingga menurunkan biaya interaksi.
Sejak kepercayaan muncul dalam proses hubungan jangka panjang, membuat
perusahaan mampu mendeteksi perilaku oportunis. Singkatnya kepercayaan
memperluas modal intelektual dari semua pihak. Perilaku oportunis dapat
menghancurkan jejaring sehingga hubungan rutin antara partner terjadi saling ketergantungan.
Peneliti menemukan bahwa perusahaan dan partnernya seringkati melakukan
diskusi informal. Diskusi ini umumnya didukung oleh top manajemen. Beberapa
manajer menyatakan bahwa pertemuan informal ini menciptakan hal yang berguna
bagi mereka untuk memecahkan masalah bisnis.
Mereka dapat berkomunikasi secara bebas berdasarkan pada kepercayaan .
Dengan demikian melalui pertemuan sosial dan informal, kebebasan dan
diskusi informal menyediakan peluang
bagi perusahaan untuk saling memperoleh pengetahuan yang berguna. Sebagai
contoh perusahaan yang terlibat diskusi ini memiliki pemahaman yang lebih baik
dan lebih dalam tentang lingkungan bisnis lokal, mampu mengantisipasi
perkembangan teknologi dan manajemen, belajar keberhasilan dari partnernya,
serta kebijakan – kebijakan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia.
Interaksi antar partner mendorong tingkat interdependensi dalam aktivitas
produksi namun tingkat produktivitas mengalami peningkatan dan menciptakan
hubungan yang berharga. Peneliti secara
umum menemukan bahwa perusahaan memiliki rasa kepemilikan serta tanggung jawab
yang tinggi atas jejaring yang telah mereka bangun.
Struktur jejaring, hubungan, bahkan faktor – faktor pendorong muncul setiap
saat. Pada umumnya hubungan antara jejaring adalah bilateral, dengan ikatan
lemah yang menghubungkan antara perusahaan dengan partnernya. Ketika hubungan
mereka berkembang perusahaan dapaat membangun identitas umum yang berfungsi
sebagai jembatan komunikasi. Ketika hubungan lebih dalam dan interaksi
meningkat, perusahaan akan menyadari nilai dari berbagi dan kolaborasi. Hal ini
akan menolong mereka mengembangkan ikatan kuat. Ikatan kuat ini akan
mengarahkan perusahaan untuk membangun rasa memiliki dan tanggung jawab. Hal
ini akan mendorong mereka berbagi lebih sering dan lebih efisien sumberdaya
yang telah mereka ciptakan. Perusahaan dan partnernya saling berkomitmen dan
menyadari nilai dari jejaring kerjasama yang mereka bangun secara keseluruhan.
Mereka menyadari manfaat hubungan dengan kemampuan mereka untuk menyerap
pengetahuan dari partner mereka.
Pada saat subyek penelitian ditanyakan jenis hubungan mana yang lebih
menguntungkan, sebagaian subyek penelitian menyatakan bahwa jenis hubungan
informal yang lebih menguntungkan, karena hubungan ini dapat memasukkan link ke
sumberdaya yang ditutupi oleh kelompok yang telah menguasai pasar. Selain itu
imitasi produk sangat cepat dilakukan. Di bidang mebel imitasi produk juga
cepat hanya saja terdapat kelengkapan produk yang berbeda. Sedangkan sebagaian
menyatakan hubungan formal yang lebih berguna seperti dilakukan melalui asmindo dan event – envent
khusus seperti hubungan dengan Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia) karena sering
diadakannya lomba – lomba design, sehingga bisa lebih inovatif. Sedangkan untuk
informasi dapat diperoleh dari internet. Hanya saja aktivitas Asmindo tidak
optimal karena apabila ada insentif diskon hanya diberikan kepada pengurusnya,
sedangkan Depperindag hanya memberikan memberi informasi yang sudah diketahui
oleh perusahaan
Hubungan informal ini dapat dibangun melalui pemenuhan permintaan pelanggan
dengan system barter dengan perusahaan lain. Atau hubungan informal ini sudah
ada sebagai warisan orang tua misalnya Himpunan Penguhasa Kayu Jepara (HPKJ) dengan
kegiatan arisan sebulan sekali, pengajian, ngobrol perkara kayu . Hanya saja
HPKJ ini hanya khusus bapak – bapak anggotanya sekitar 30 orang.
Berkaitan dengan pengembangan produk, bagi perusahaan lebih bersifat
tertutup. Namun untuk berhubungan dengan pihak lain, bagi perusahaan itu
merupakan suatu keharusan. Dengan berhubungan maka akan menambah relasi dan
jaringan, baik jaringan bisnis maupun jaringan sosial.
Semakin banyak relasi maka semakin banyak hal yang bisa kami peroleh. Kami
selalu berusaha untuk memperoleh relasi sebanyak-banyaknya. Salah satu caranya
adalah membuat website untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat luas tanpa
batas.
Berkaitan dengan pengembangan produk, bagi kami lebih bersifat tertutup.
Namun untuk berhubungan dengan pihak lain, bagi kami itu merupakan suatu
keharusan. Dengan berhubungan maka akan menambah relasi dan jaringan, baik
jaringan bisnis maupun jaringan sosial.
Hubungan internal perusahaan dapat terjalin dengan baik dan terbangun
kepercayaan. Kepercayaan dibangun melalui kebaikan hati dimana karyawan yang
tidak punya uang boleh ngebon dapat fasilitas makanan dan minuman. Harus ada
keyakinan bahwa kebaikan dibalas dengan kebaikan. Kepercayaan juga dibangun
melalui keterbukaan dan sistem kekeluargaan yang terkendali. Dalam arti mereka
boleh memiliki inisiatif namum target harus terpenuhi. Kebutuhan, permasalahan
dsb selalu didiskusikan namun ada pengawasnya agar diskusi tidak melunturkan
kepercayaan ataupun kepercayaan tidak berubah bentuk menjadi perilaku
oportunis.
Kepercayaan juga dibangun melalui peningkatan kompetensi antar bagian
melalui proses pembelajaran tentang pengetahuan produk baru, janji yang selalu
dipenuhi dan selalu menjaga kedisiplinan sampai dikeluarkan kalau tidak
disiplin.
Perusahaan ini bukanlah perusahaan raksasa, sehingga untuk membangun
kepercayaan diantara karyawan dan manajemen bukanlah sesuatu yang sulit. Dengan
saling membangu kepercayaan diantara kita, maka secara otomatis kami membangun
kepercayaan dengan pihak lain di luar kami.
Kami selalu membangun kepercayaan kepada siapapun. Salah satu caranya
adalah dengan membangun keterbukaan dengan semua karyawan dan semua entitas
terkait lainnya.
Visi dan misi secara tertulis memang kami belum punya, tetapi secara tidak
tertulis kami selalu menyampaikan kepada semua karyawan disini. Kami memiliki
karyawan yang secara khusus bertugas mengembangkan produk baru. Jika produk
tersebut dimunati pelanggan maka karyawan tersebut kami berikan bonus khusus.
Semua orang yang ada di perusahaan ini wajib memahami visi dan misi yang telah
ditetapkan. Pengembangan produk wajib dilakukan oleh bagian pengembangan produk
dengan berbagai cara, baik melalui pelatihan maupun dengan cara lainnya. Kami
punya prinsip bahwa produk yang kami buat adalah merupakan produk trend-setter.
Berbagi ambisi, misi dan visi dilakukan melalui rapat keluarga non formal
pada waktu dibutuhkan atau ada masalah yang terkait dengan order, atau
karyawan. Kalau ada ekspansi
disampaikan secara langsung kepada karyawan dengan janji peningkatan kesejahteraan.. Setiap ekspansi selalu
disampaikan kepada karyawan. Dengan diberi gaji lebih tinggi dibanding
perusahaan lain sejenis. Selain itu berbagi visi juga dapat dilakukan dengan
kegiatan sosial jaburan atau ngopi bersama.
Hubungan setiap tim dalam bagian perusahaan dijaga dengan target. Tim finishing, biasanya menjadi tim yang
paling berkuasa karena butuh keterampilan dan ketelitian. Untuk menjaga agar
tim finishing ini tidak terlalu berkuasa maka dikendalikan dengan sangsi.
Berbagi informasi juga dapat dilakukan dengna perusahaan mebel sejenis atau
bahkan perusahaan yang tidak sejenis. Depperindag selama ini belum pernah
memberi informasi yang berarti, tapi Pemda sering memberikan informasi tentang
pameran hanya saja harus bayar stand sendiri.
Pengetahuan yang paling berguna
adalah pengetahuan tentang perkembangan desain, pengetahuan tentang kayu, yang
dapat diperoleh dari magang, tukar pikiran dengan perusahaan lain atau
melakukan perjalanan bisnis dsb.
Berdasarkan tugasnya, karyawan yang bertugas mengembangkan produk tidak
memiliki kekuasaan yang melebihi karyawan lain. Perbedaannya hanya pada bonus
yang diperoleh jika produknya diminati pelanggan.
Setiap ada pameran, kami selalu menugaskan karyawan bagian pengembangan
produk untuk ikut hadir disana. Tugasnya adalah melihat perkembangan dan trend
produk saat ini. Dengan demikian mereka mampu mendesain produk baru yang
berbeda dengan produk lain tetapi merupakan produk trend saat ini.
Depperindag merupakan institusi pemerintah, secara otomatis kami
membutuhkan mereka. Demikian juga Asmindo, yang merupakan kumpulan pengusaha
(mebel) juga memiliki nilai tersendiri bagi kami.
Produk inovatif merupakan produk baru, yang bisa merupakan pengembangan
produk yang pernah ada maupun produk yang sama sekali baru. Kami belum memiliki produk yang
benar-benar tergolong produk inovatif.
Kalau dibilang bagian pengembangan produk baru mempunyai kekuasaan yang
melebihi bagian lain, tidak sepenuhnya benar. Tetapi memang ada insentif khusus
bagi bagian ini setiap menghasilkan produk baru.
Kami memang sangat intensif dalam mengembangkan produk. Karyawan kami kirim
ke pelatihan-pelatihan desain, pameran-pameran, dan lain sebagainya agar
memiliki kemampuan lebih di bidang pengembangan produk.
Kami pernah mendapatkan pembinaan dari Dinas Perindustrian, Perdagangan,
BUMN, perguruan tinggi, dan lain-lain dalam bidang desain. Hal ini menambah
pengetahuan bagi tim pengembangan produk kami.
Selama lembaga-lembaga tersebut tidak merugikan kami, maka kami tidak bisa
menilai mana yang lebih baik. Kedua lembaga tersebut memiliki sumbangan yang
cukup berarti bagi kehidupan perusahaan ini.
Inovatif berarti produk tersebut merupakan suatu produk yang sangat berbeda
dari yang lain. Produk inovatif inilah yang selalu kami harapkan muncul dari
bagian pengembangan produk. Dengan demikian harapan menjadi trend-setter
menjadi kenyataan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambl dalam penelitian ini adalah bahwa:
1)
Dalam
pembangunan modal sosial membangun jejaring ataupun hubungan sangatlah penting sebagai wadah
tumbuhnya modal sosial yang lain.
2)
Hubungan
yang dibangun sering mereka sebut sebagai hubungan industri yang terdiri dari
hubungan dengan industri sejenis, hubungan industri tidak sejenis dan hubungan
internal dalam industri.
3)
Kepercayaan
bagi IKM mebel baik Jepara maupun Surakarta penggerak hubungan dan rasa
berbagi. Dengan kepercayaan mereka memiliki komitmen untuk membangun hubungan
lebih erat, dengan kepercayaan mereka bebas berbagi misi, visi, tujuan dan
pengetahuan.
4)
Apapun
dasar kepercayaan pembangunan kepercayaan sangat penting bagi perusahaan bahkan
dengan adanya kepercayaan biaya transaksi akan terkurangi.
5)
Permasalahan
yang sering timbul dari kepercayaan adalah perubahan bentuk dari kepercayaan
yaitu menuju ke institusiongal trust
yang akan mendorong tumbuhnya perilaku oportunis
6)
Aktivitas
depperindag seringkali dianggap sebagai aktivitas yang tidak begitu berharga
apabila tidak berdasar pada kebutuhan IKM mebel.
7)
Selain
kepercayaan, power yang diwujudkan dalam bentuk posisi perusahaan dalam
hubungan akan menentukan keberhasilan hubungan yang menguntungkan bagi IKM
mebel
IMPLIKASI TEORITIS
Penelitian ini menyediakan bukti tambahan pada teori yang menyatakan bahwa
pembangunan modal sosial sangat penting bagi perusahaan untuk mencapai
keberhasilan.
Hal ini dapat dilihat dari temuan yang terkait dengan arti penting hubungan
. Jejarng hubungan memiliki kapabilitas yang sulit untuk diduplikasi oleh
pesaing, sebab mereka memiliki ikatan sosial yang kompleks, saling tergantung
dan saling mencipta sesuatu yang baru, sehingga secara potensial jejaring ini
mampu menjadi sumber keunggulan bagi perusahaan. Melalui interaksi pembelajaran
yang terjadi antar perusahaan menjadi sumberdaya penting, ini meningkatkan
proses pembelajaran dalam perusahaan dan menyediakan akses ke informasi dan
sumberdaya yang baru yang tidak tersedia dalam perusahaan. Hal ini mendukung
teori Levin dan Cross (2004)
Akumulasi modal sosial yang berdasar pada kepercayaan dapat meningkatkan
efisiensi perusahaan. Melalui penekanan
pada proses alam dari terbangunnya modal sosial penelitian ini menambahkan
bukti bahwa hubungan antar industri sejenis mampu meningkatkan efisiensi dalam
komunikasi. Hal ini mendukung teori Melander & Mattias (2002).
IMPLIKASI MANAJERIAL
Penelitian ini menyarankan bagi perusahaan untuk membangun rasa saling
percaya (reciprocal trust) karena
rasa saling percaya memainkan peran yang sangat penrting dalam keberhasilan
perusahaan. Dan sebagaian perusahaan kepercayaan ini seringkali digunakan untuk
dasar berbagi pengetahuan, komunikasi dan kerjasama secara efisien. Kepercayaan
juga sangat penting dalam tatakelola perusahaan. Saling percaya memungkinkan
pengetahuan baru mengalir dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang memiliki
hubungan. Semakin tinggi kepercayaan semakin tinggi keinginan untuk berbagi. Meskipun
ketika permasalahan hubungan muncul kepercayaan juga memfalitasi perdamaian
melalui persetujuan bersama dan integrasi pemecahan masalah. Ikatan kuat yang
berdasarkan pada rasa saling percaya akan dapat memfasilitasi transfer
kemampuan yang tidak kasat mata dan keahlian yang di luar jangkauan perusahaan
Saran berikutnya adalah dalam pembangunan modal sosial sebaiknya perusahaan
mengembangkan keterbukaan antar partner. Keberhasilan perusahaan dalam
membangun modal sosial akan secara signifikan mengurangi biaya koordinasi dan
interaksi.Secara stratejik terlibat dalam aktivitas sosial dan secara bijaksana
membangun relasi sosial dapat menghemat
biaya transaksi yang signifikan, dalam pencarian informasi dan peluang
ekonomi.. Berbagi pengetahuan akan meningkatkan kepercayaan dan lebih jauh
memperkuat ikatan. Karena modal sosial perusahaan saling berinteraksi yang
menghasilkan pembelajaran kolektif. Pembelajaran kolektif mendasari sistem
organisasi dan semua partner mendapatkan manfaat dari hasil inovasi teknologi
dan manajerial
KETERBATASAN PENELITIAN
Karena penelitian ini memilih paradigma penelitian kualitatif maka
kelemahana penelitian kualitatif menjadi keterbatasan penelitian ini, yaitu
tidak dapat digeneralisasi
Di lapangan banyak ditemui bahwa para manajer selalu menghubungkan antara
hubungan industrial, kepercayaan dengan rasa berbagi. Rasa berbagi ini bukan
hanya berbagi cerita, misi, visi ataupun tujuan melainkan berbagi pengetahuan
dan sumberdaya. Bagi mereka berbagi misi, visi dan tujuan dapat diakses melalui
internet namum berbagi pengetahuan yang kadang tidak terdeteksi (tacit
knowledge) dan jauh di luar pemikiran mereka hanya bisa mereka lakukan melalui
pembangunan hubungan industrial yang didasari rasa saling percaya
:
AGENDA PENELITIAN MENDATANG
Berdasarkan pada keterbatasan penelitian di atas maka disarankan untuk
mengambil paradigma lain yang mungkin bisa lebih digeneralisasi dibandingkan
kualitatif.
Sebaiknya berbagi atau transfer pengetahuan ataupun pembejaran
organisasional dimasukkan sebagai variabel penelitian untuk penelitian
mendatang yang terkait dengan pembangunan modal sosial yang mengarahkan pada
aktivitas inovasi.
Studi longitudinal dengan ukuran sampel yang lebih luas disarankan untuk
mendapatkan catatan perubahan dalam aktivitas pembangunan modal sosial di
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, S dan D. Butcher.
2003. Trust in Managerial Relationship. Journal
of Managerial Psychology.18(4): 282 – 304
Carolis, D.M , & Patrick Saparito. 2006. Social Capital,
Cognition, dan Entreprenuerial Opportunities: A Theoritical Framework. ET & P. 41 – 55
Dasgupta, P & Seregaldin. Sosial Capital: A Multi – faceted Perspective. The World Bank. Washington D.C
Fukuyama, F. 1995. Trust : The
Social Virtues and Creation of Prosperity. New York Free Press.
Huang, Qi Hai. 2003. Social Capital in the West and China. Manchester Metropolitan University Business
School Work Paper Series, pp. 1 – 15
Jones, G.R & George, J.M. 1998. The Experience and Evolution of
Trust: Implication for Cooperation and Teamwork. Academy of Management Review. 23: 531 – 546.
Liao, J & Harold Welssch. 2005. Roles of Social Capital in Venture
Creation: Key Dimensions and Research Implications. Journal of Small Business
Management. 43 (4): 345 – 362
Levin, D.Z & Rob Cross. 2004. The Strength of Weak Ties You Can
Trust: The Mediating Role of Trust in Effective Knowledge Transfer. Management Science.50 (11): 1477 –
1490.
March, J.G. 1991. Exploration and Exploitation in Organizational
Learning. Organization Science. 2
(1): 71 – 87.
Melander, A & Mattias Nordqvist .2002. Investing in Social
Capital: Network, Trust and Belief in Swedish Furnitur Industry. International Studies of Management and
Organization. 31 (4): 89 – 108.
Nahapiet, J & Ghosal, S. 1998. Social Capital, Intelectual
Capital, and the Organizational Advantage. Academy
of Management Review. 23: 242 – 246.
Putnam, R.D. 2000. Bowling
Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster
Paperbacks: New York.
Tsai, W & Sumantra Ghosal. 1998. Social Capital and Value
Creation: The Role of Interfirm Network. Academy
of Management Journal. 41 (4): 464 – 476.
Wever, S.D, R. Martens, dan K. Vandenbempt. 2005. The Impact of Trust
on Strategic Resource Acquisition Through Interorganizational Network: Towards
a Conceptual Model. Human Relation.
58 (12): 1523 – 1543.
Yamada, Jin-ichiro. 2003. A Multi – Dimensional View of
Entrepreneurship: Toward a Research Agenda on Organization Emergence. Journal of Management Development. 23
(4): 289 – 320.
Yin, R.K. 2003. Case Study
Research: Design and Methods. Sage Publications: USA