Achmad Zaenuddin
Jurusan Administrasi Niaga,
Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto. S.H.. Tembalang. Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061
ABSTRACT
Inclination toward social and environmental
consciousness has chances competition attitude and profit oriented into social
orientation. Management as an agent,
could no avoid the truth from the impact from activity, which are not only
generating profit and increasing share price but also bring about social impact
such as ecological destruction, pollution and social deseases such discrimination
and crime and all of these are company social responsibility.
The study objective is to analyze the effect
of type of industry toward social and environmental disclosure in annual
reports of companies in Indonesia. The
disclosure themes included are:
environment, energy, product/consumer, employee (health and safety) and
general. The sample of these study are
60 go public manufacture company in Jakarta Stock Exchange that have announced
annual reports for 2005. The data
analysis used in multiple regression analysis.
The results show that type of industry
affect positive significant toward social and environmental disclosure.
Keywords:
social and environmental disclosure, type of industry
PENDAHULUAN
Pada dekade terakhir ini pertumbuhan kesadaran
publik terhadap peran perusahaan di masyarakat semakin meningkat. Banyak
perusahaan yang dianggap telah memberi kontribusi bagi kemajuan ekonomi dan
teknologi, tetapi perusahaan tersebut mendapat kritik karena telah menciptakan
masalah sosial. Polusi, penipisan sumber daya, pemborosan, kualitas dan
keamanan produk, hak dan status pekerja dan kekuatan dari perusahaan besar
merupakan isu-isu yang semakin menjadi perhatian (Gray, R, Owen,D, dan
Maunders, K, 1987).
Tekanan dari berbagai pihak membuat sektor swasta
menerima tanggung jawab terhadap masyarakat atas pengaruh aktivitas bisnis.
Perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham dan kreditur,
tetapi juga diharuskan bertanggung jawab kepada masyarakat yang lebih luas.
Doktrin Friedman (1962) dalam Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa
tanggung jawab sosial dari unit bisnis hanyalah memaksimumkan laba tidak bisa
diterima secara universal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
kesadaran yang makin meningkat pada sebagian eksekutif perusahaan bahwa
perusahaan memiliki kewajiban untuk membantu masyarakat, meskipun hal itu dapat
mengurangi laba (Holmes, 1976; Ostlund, 1977 dalam Hackston dan Milne (1996)).
Pertumbuhan kesadaran tanggung jawab sosial perusahaan mengakibatkan adanya
kritik terhadap penggunaan laba sebagai satu-satunya alat ukur kinerja
perusahaan. Sebagai respon, beberapa institusi akuntansi utama (AICPA, NAA,
ICAEW) mulai memikirkan akuntansi sosial perusahaan pada pertengahan tahun 1970
(Ramanathan,1976 dalam Hackston dan Milne (1996)). Peneliti akuntansi telah
mulai mengartikulasikan perspektif teori yang berbeda untuk mendukung akuntansi
sosial perusahaan yang terdiri dari teori legitimasi, teori ekonomi politik
akuntansi dan teori stakeholder (Belkaoui dan Karpik, 1989;
Gray et al., 1987,1988,1995a; Guthrie dan Parker, 1990; Pattern, 1991, 1992;
Roberts, 1992). Meskipun demikian, sampai saat ini masih belum ada kerangka
teoritis dan akuntansi sosial perusahaan yang bisa diterima secara universal
(Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray et al.,
1995a; Guthrie dan Mathews, 1985). Meskipun terdapat kekurangan konsensus pada
profesi akuntansi dan literatur akuntansi teoritis tentang mengapa perusahaan
mengungkapkan akuntansi pertanggungjawaban sosial, tetapi terdapat peningkatan
jumlah perusahaan yang secara sukarela mengungkapkan aktivitas
pertanggungjawaban sosial pada laporan tahunan mereka.
Pengungkapan sosial perusahaan didefinisikan sebagai ketentuan dari
informasi keuangan dan non keuangan yang berhubungan dengan interaksi
organisasi dengan lingkungan sosial dan fisiknya sebagaimana yang dinyatakan
dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan sosial yang terpisah (Guthrie dan
Mathews, 1985). Pengungkapan sosial mencakup detail tentang lingkungan fisik,
energi, sumber daya manusia, produk dan masalah keterlibatan masyarakat.
Laporan tahunan perusahaan terdiri dari pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan
sukarela (voluntary disclosure).
Pengungkapan sukarela muncul karena adanya kesadaran masyarakat akan lingkungan
sekitar, keberhasilan perusahaan tidak pada laba semata tetapi juga ditentukan
dengan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan.
Pelaporan non keuangan ini secara umum telah diakomodasi dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Dalam PSAK No. 1 (revisi 1998) paragraf
sembilan tentang Penyajian Laporan Keuangan dinyatakan bahwa “Perusahaan dapat
pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup,
laporan nilai tambah, khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan
hidup memegang peranan penting bagi industri”. Pernyataan di atas secara jelas menyebutkan
bahwa perusahaan bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya, terutama
perusahaan industri yang menghasilkan limbah yang apabila tidak diolah secara
benar akan mencemari lingkungan sekitar.
Sampai saat ini kebanyakan penelitian empiris menyajikan gambaran dasar
darimana pola pengungkapan itu muncul. Penelitian lebih lanjut juga menemukan hubungan antara beberapa
karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial perusahaan.
Beberapa penelitian empiris tentang praktek pengungkapan sosial perusahaan
banyak berfokus di Amerika Serikat, Inggris, Australia dan sedikit penelitian
telah dilakukan di negara-negara lain seperti Kanada, Jerman, Jepang, New
Zealand, Malaysia, dan Singapura. Kebanyakan penelitian empiris tentang praktek Amerika Serikat cenderung
untuk menggunakan bukti survey empiris Ernst & Ernst (1978). Guthrie dan
Parker (1990) yang memberikan bukti survey empiris yang lebih baru. Gray et al.
(1987, 1995a) memberikan bukti survey empiris di lnggris, kemudian penelitian
selanjutnya yang mencakup tiap tahun mulai dari 1979 sampai dengan 1991.
Penelitian di Australia mencakup Trotman (1979) dan Guthrie (1983). Penelitian
yang dilakukan oleh Davey (1982), Ng (1985) serta Hackston dan Milne (1996)
telah memberikan beberapa gambaran bahwa ukuran perusahaan (company size) mempengaruhi pengungkapan
sosial perusahaan di New Zealand. Penelitian
Guthrie dan Parker (1990) dan Gray et al. (1995a) menggambarkan suatu
perbedaan penting antara pengungkapan sukarela dan pengungkapan yang diwajibkan
undang-undang. Di Indonesia, tidak ada pengungkapan sosial yang diwajibkan o1eh
undang-undang, sehingga tidak ada ketentuan untuk membuat perbedaan antara
sukarela dan wajib dalam instrumen interogasi. Semua pengungkapan yang
diklasifikasikan dianggap sebagai pengungkapan sukarela.
Penelitian mengenai pengaruh karakteristik perusahaan, ukuran perusahaan,
tipe industri dan profitabilitas terhadap pengungkapan sosial perusahaan telah
dilakukan oleh beberapa peneliti, misalnya Belkoui dan Karpiks, 1989; Cowen et.
al., 1987; Kelly, 1981; Pattern, 1981; Davey, 1882.; Ng , 1985; Hackston dan
Milne, 1996. Penelitian ini didasari oleh penelitian Hackston dan Milne (1996).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan yang
berbeda-beda di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, Malaysia dan
Singapura. Penelitian empiris tentang praktek pengungkapan sosial perusahaan
sebagian besar dilakukan di negara-negara maju daripada di negara berkembang.
Hasil penelitian di negara maju tidak bisa disamakan dengan di negara
berkembang. Hal-hal diatas mendorong peneliti
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan
sosial dan lingkungan di Indonesia.
Adanya
perbedaan hasil-hasil penelitian tentang pengaruh karakteristik perusahaan terhadap
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan, misalnya penelitian Robert
(1992) menyatakan ukuran perusahaan tidak berpengaruh sedangkan tipe industri
dan profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan sosial perusahaan.
Pernyataan diatas berbeda dengan penelitian Hackston dan Milne (1996) yang
menyatakan bahwa ukuran perusahaan dan tipe industri mempengaruhi sedangkan
profitabilitas tidak mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah tipe
industri mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan yang merupakan pengungkapan sukarela di Indonesia.
Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi
item pengungkapan
sosial dan lingkungan, menguji pengaruh tipe industri terhadap praktek pengungkapan sosial
dan lingkungan.
Adapun manfaat yang diharapkan adalah dapat
memberikan gambaran kepada perusahaan pentingnya praktek pengungkapan sosial dan
lingkungan, memberikan kontribusi pengembangan pengungkapan sukarela khususnya pengungkapan
sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perusahaan dan menyajikan suatu gambaran yang up to date tentang praktek pengungkapan
sosial perusahaan di Indonesia, dan menguji beberapa penentu potensial dari
pengungkapan sosial dan lingkungan pada laporan tahunan perusahaan di
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Pengungkapan
Sosial dan Lingkungan
Beberapa teori menurut Gray et. al., (1996) yang digunakan untuk menjelaskan
kecenderungan pengungkapan sosial yaitu:
a.
Teori stakeholder
Stakeholder merupakan pihak-pihak
yang berkepentingan pada perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat
dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Organisasi memiliki banyak stakeholder seperti karyawan, masyarakat, negara, supplier, pasar modal, pesaing,
badan industri, pemerintah asing dan lain-lain. Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada pandangan tentang
suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling mempengaruhi antara
keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model akuntabilitas. Stakeholder dan organisasi saling
mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya yang berbentuk
responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi memiliki
akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas
itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi.
Varian
dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan Trekers (1983)
mengenai emprical accountability. Teori stakeholder
mungkin digunakan dengan ketat dalam
suatu organisasi arah terpusat (centered-
way organization). Robert (1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial
perusahaan merupakan sarana yang sukses bagi perusahaan untuk
menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya.
b.
Teori
Legimitasi
Teori legitimasi menyatakan bahwa
suatu organisasi hanya bisa bertahan jika masyarakat dimana dia berada merasa
bahwa organisasi beroperasi berdasarkan sistem nilai yang sepadan dengan sistem
nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Organisasi mungkin menghadapi ancaman
terhadap legitimasinya. Lindblom (1994) menyatakan bahwa suatu organisasi
mungkin menerapkan empat strategi legitimasi ketika menghadapi berbagai ancaman
legimitasi. Oleh karena itu untuk menghadapi kegagalan kinerja perusahaan
(seperti kecelakaan yang serius atau skandal keuangan), organisasi mungkin:
1.
Mencoba untuk mendidik stakeholdernya tentang
tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
2.
Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu
kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi).
3.
Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah yang
menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang tidak
berhubungan dengan kegagalan - kegagalan).
4.
Mencoba
untuk merubah ekspektasi eksternal tentang kinerjanya.
Teori legitimasi dalam bentuk
umum memberikan pandangan yang penting terhadap praktek pengungkapan sosial
perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan bisa
ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi yang disarankan oleh
Lindblom. Sebagai misal kecenderungan umum bagi
pengungkapan sosial perusahaan untuk menekankan pada poin positif bagi perilaku
organisasi dibandingkan dengan elemen yang negatif.
b.
Teori ekonomi politik
Dua
varian teori ekonomi politik: klasik
(biasanya sebagian besar berhubungan dengan Marx) dan Bourgeois (biasanya sebagian besar berhubungan dengan John Stuart
Mill dan ahli ekonomi berikutnya) (Gray et.
al., 1996). Perbedaan penting antara keduanya terletak pada tingkat analisis
pemecahan, yakni konflik struktural dalam masyarakat. Ekonomi politik klasik
meletakkan konflik struktural, ketidakadilan dan peran negara pada analisis
pokok. Sedangkan Ekonomi politik Bourgeois
cenderung menganggap hal-hal tersebut merupakan suatu yang given dan oleh karena itu, hal-hal
tersebut tidak dimasukkan dalam analisis. Hasilnya, Ekonomi politik Bourgeois cenderung memperhatikan
interaksi antar kelompok dalam suatu dunia pluralistik (sebagai misal,
negosiasi antara perusahaan dan kelompok penekan masalah lingkungan, atau
dengan pihak yang berwenang).
Ekonomi
politik Bourgeois bisa digunakan
dengan baik untuk menjelaskan tentang praktek pengungkapan sosial. Sedangkan Ekonomi
politik Klasik hanya sedikit menjelaskan
praktek pengungkapan sosial perusahaan, mempertahankan bahwa pengungkapan
sosial perusahaan dihasilkan secara sukarela. Ekonomi politik Klasik
memiliki pengetahuan tentang aturan pengungkapan wajib, dalam hal ini biasanya
negara telah memilih untuk menentukan beberapa pembatasan terhadap organisasi.
Ekonomi politik klasik akan menginterpretasikan hal ini sebagai bukti bahwa
negara bertindak "seakan-akan" atas kepentingan kelompok yang tidak
diuntungkan (sebagai misal, orang yang tidak mampu, ras minoritas) untuk
menjaga legitimasi sistem kapitalis secara keseluruhan (Gray et. al., 1996)
Tipe industri
Sifat dari industri perusahaan
telah diidentifikasi sebagai suatu faktor yang mempengaruhi praktek
pengungkapan sosial perusahaan. Dierkes dan Preston (1977) dalam Hackston dan
Milne (1996) berpendapat bahwa kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan,
seperti industri extractive akan lebih suka mengungkapkan informasi tentang
pengaruh terhadap lingkungan mereka
dibandingkan dengan perusahaan di industri lain. Perusahaan yang berorientasi
pada konsumen diduga akan memberikan perhatian yang lebih besar dengan
menunjukkan tanggungjawab sosial mereka, karena hal ini akan menambah image
perusahaan dan mempengaruhi penjualan (Cowen et al., 1987). Penelitian Patten (1991), menyatakan bahwa seperti
halnya ukuran perusahaan mempengaruhi pandangan politis, hal ini akan membuat
pengungkapan sosial menangkal tekanan yang tak semestinya dan kritikan dari
aktivitas sosial. Penelitian Cowen et al., (1987) menemukan bahwa industri
mempengaruhi pengungkapan energi dan keterlibatan masyarakat.
Beberapa penelitian empiris telah
menemukan hubungan positif antara industri dan pengungkapan sosial perusahaan.
Penelitian Kelly (1981) di Australia menemukan bahwa perusahaan industri utama
dan sekunder mengungkapkan lebih banyak informasi yang berhubungan dengan
lingkungan dan energi dibandingkan dengan perusahaan di bidang industri tersier, sedangkan hubungan yang
berkebalikan ditemukan untuk informasi yang berhubungan dengan interaksi masyarakat. Dalam penelitian
pada perusahaan Amerika yang mirip dalam desain Kelly, Cowen et al., (1987) menemukan bahwa kategori
industri mempengaruhi pengungkapan energi dan keterlibatan masyarakat. Namun
demikian, hasil mereka secara jelas mengindikasikan bahwa kejadian dan jumlah
total pengungkapan sosial perusahaan tidak berhubungan dengan indusri.
Berlawanan dengan penemuan ini, Patten (1991) dan Robert (1992) telah menemukan
hubungan positif antara industri high profile dan jumlah pengungkapan
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Untuk ukuran baik Davey (1982) dan Ng
(1985) gagal untuk menemukan hubungan antara industri dan pengungkapan
sosial perusahaan untuk perusahaan New Zealand. Sedangkan Hackston dan Milne
(1996) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara tipe industri dan
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di New Zealand. Penelitian ini
menguji kembali hubungan tipe industri dan pengungkapan sosial perusahaan .
Kerangka Pemikiran Teoritis
Dari uraian teoritis, dapat dibangun suatu model
teori sebagaimana Gambar 1.
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Hipotesis
Dari kerangka pemikiran
teoritis diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah tipe industri berpengaruh positif secara
signifikan terhadap praktek pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
Metode Penelitian
Jenis dan Sumber
Data
Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang berasal dari perusahaan di Bursa Efek Jakarta
pada tahun 2010. Data yang digunakan adalah laporan tahunan 2010 yang
dipublikasikan pada awal 2011. Alasan dipilihnya periode waktu tersebut karena
laporan tahunan 2010 merupakan data terbaru yang bisa diperoleh di Pusat
Referensi Pasar Modal di Bursa Efek Jakarta.
Populasi dan
Sampel
Sesuai dengan tujuan penelitian,
maka populasi penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang listing di Bursa
Efek Jakarta pada tahun 2010.
Sampel diambil dengan rumus dengan
kriteria kelayakan sampel yang digunakan sebagai berikut:
a. Perusahaan manufaktur yang telah listing minimal selama tiga tahun untuk
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memenuhi kriteria going concern.
b. Perusahaan yang telah melakukan publikasi
laporan tahunan (annual report) selama tiga tahun untuk memenuhi
konsistensi dalam aktivitas perusahaan.
Perusahaan yang melakukan praktik pengungkapan
sosial dan lingkungan ditunjukkan dengan minimal melakukan pengungkapan
salah satu tema voluntary disclosure (lingkungan, kemasyarakatan,
tenaga kerja, produk, konsumen atau energi) dalam laporan tahunannya menurut
metode content analysis (Hackston dan Milne, 1996).
Dari jumlah populasi 146 perusahaan manufaktur ditentukan ukuran sampel
dengan menggunakan rumus (Babbie, Earl; 1983, dalam Rizal hasibuan; 1999)
N.pq
n =
(N-1) D + pq
Keterangan:
n = Jumlah sampel yang diinginkan
N = Jumlah
populasi (146 perusahaan manufaktur)
p = Untuk meminimumkan sampling error
dipakai 0.5
q = (1-p) = 0.5
B = Bound of Error atau kelonggaran
kesalahan diperkirakan berinterval range tidak lebih dari 10 %
D = B² :
4
= (0.1)²
: 4
= 0.0025
Maka dari rumus tersebut
diketahui :
146(0,5)(0,5)
n =
(146-1)0,0025+(0,5)(0,5)
36,5
n =
0,6125
= 59,59 atau 60 perusahaan
manufaktur sebagai sampel
Definisi Operasional Variabel
Pengungkapan Sosial dan
LingkunganPerusahaan
Analisis isi (content
analysis) digunakan untuk
mengukur pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Analisis isi adalah suatu
metode kodifikasi teks (atau konteks) dari suatu tulisan menjadi beberapa kelompok (atau kategori)
tergantung dari yang dibuat (Weber,
1988). Pemberian kode akan menghasilkan data yang digunakan untuk analisis
selanjutnya. Krippendorff (1980) dalam Hackston dan Milne (1996) menyatakan
bahwa "analisis isi adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi yang replicable
dan valid dari data tergantung dari konteksnya". Dalam satu
bentuk atau bentuk lainnya, metode itu telah diadopsi dalam penelitian pengungkapan
pertanggungjawaban sosial terdahulu (sebagai misal, Guthrie dan Mathews, 1985;
Guthrie dan Parker, 1990; Hackston dan Milne 1996).
Agar analisis isi bisa
dilaksanakan dengan cara yang replicable, maka dibuat instrumen interogasi, cheklist, dan aturan
keputusan. Cheklist ada pada apendiks. Instrumen interogasi digunakan
untuk mencatat jumlah pengungkapan sosial perusahaan dalam kategori yang
berbeda. Kategori instrumen yang digunakan dibuat oleh Hackston dan Milne
(1996), yang didasarkan pada penelitian terdahulu dari Ernst & Erns (1978),
Guthrie dan Paker (1990), dan Gray et.
al., (1995a) dan mencakup dimensi dari tema pengungkapan (lingkungan,
energi, produk/konsumen, masyarakat, karyawan/sumber daya manusia,
umum/lainnya); bukti (kualifikasi moneter, nonkuantitaif moneter, deklarasi);
jenis berita berita baik (good news),
berita buruk (bad news) dan berita
netral (neutral news) dan total
(jumlah dari kalimat).
Instrumen yang digunakan memiliki
perbedaan dari penelitian terdahulu, yakni:
a.
Jumlah pengungkapan. Jumlah pengungkapan tiap
perusahaan dan per kategori isi diukur
dengan jumlah kalimat seperti yang dilakukan Hackston dan Milne (1996). Dalam
banyak penelitian terdahulu, kuantifikasi dari tiap kategori pengungkapan terdiri dari pencatatan apakah perusahaan
membuat atau tidak membuat pengungkapan dalam kategori, dan total jumlah
perusahaan diukur ke yang terdekat ke kesepuluh atau seperempat dari suatu
halaman. Ng (1985) mengkritik porsi dari pengukuran halaman karena ukuran hasil
cetakan, ukuran kolom, dan ukuran halaman bisa berbeda antara satu laporan
tahunan dengan laporan tahunan lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, Ng
(1985) menggunakan jumlah kata. Mengukur jumlah pengungkapan sosial perusahaan
dengan jumlah kata, meskipun demikian, hal tersebut membuat para peneliti harus
mempertimbangkan dengan hati-hati mana kata yang merupakan suatu pengungkapan
sosial perusahaan dan mana yang tidak. Akibatnya, terdapat kemungkinan adanya
ketidaksepakatan antara pengkodean yang berbeda. Unit pengukuran kalimat
mengatasi masalah porsi dari halaman dan menghilangkan kebutuhan untuk
menghitung dan menstandarisasi jumlah kata.
Kemudian
diputuskan untuk kembali dan mengukur jumlah absolut pengungkapan sosial per
perusahaan (tidak tiap kategori) dengan proporsi dari laporan tahunan ke yang
terdekat keseratus dari suatu halaman.
b.
Dalam semua tiga pengukuran jumlah pengungkapan sosial,
tidak ada usaha untuk menstandarisasi panjang laporan tahunan. Tidak ada
batasan atas jumlah laporan tahunan yang bisa dimasukkan, dan jika perusahaan
mempertimbangkan pengungkapan tambahan cukup penting, maka mereka akan
memasukkan halaman ekstra dalam laporan. Penggunaan ketiga ukuran pengungkapan
sosial memungkinkan perbandingan dengan penelitian lain memungkinkan analisis komparatif
untuk menilai seberapa penting pemilihan ukuran.
Penyelesaian dari instrumen
interogasi maka dibuat suatu cheklist dari item-item yang dimasukkan
dalam tiap kategori dimensi tema. Diperoleh dari Ng (1985), yang dibuat
pertamakali oleh Ernst&Ernst (1978), cheklist ini telah direvisi oleh
Hackston dan Milne (1996) yang menambahkan sejumlah aturan keputusan untuk
memfasilitasi suatu interpretasi yang konsisten dari cheklist. Sebagai
perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu, tema karyawan dibagi menjadi
kesehatan dan keselamatan karyawan. Pengembangan ini konsisten dengan
penelitian Gray et al., (1995a).
Tipe industri
Variabel
industri dalam penelitian ini diukur sebagai suatu klasifikasi dikotomi
industri menjadi high profile dan low profile. Robert (1992) mendefinisikan industri high
profile sebagai industri yang
memiliki visibilitas konsumen, resiko politik yang tinggi, atau kompetisi yang
tinggi. Robert (1992) menyatakan bahwa penelitian terdahulu yang mencakup
industri telah terdapat suatu hubungan sistematis antara
karakteristik-karakteristik tersebut dengan aktivitas pertanggung jawaban
sosial. Tentu saja, semua klasifikasi itu merupakan hal yang subyektif.
Patten (1991) mengidentifikasi industri minyak,
kimia, hutan dan kertas sebagai high
profile
untuk satu penelitian. Dierkes dan
Preston (1977) menyatakan bahwa industri extractive adalah sangat visibel dan
karenanya menghadapi batasan-batasan hukum.
Robert
(1992) memasukkan industri automobil, penerbangan, dan minyak sebagai high profile, sedangkan makanan,
kesehatan dan produk personal, hotel dan produk alat sebagai low profile. Hackston dan Milne (1996)
memasukkan semua industri yang diidentifikasi sebagai high profile pada penelitian diatas sebagai high profile dengan menambahkan industri pertanian, minuman keras
dan rokok, serta media komunikasi sebagai high
profile karena industri tersebut dominan
Teknik Analisis
Statistik Deskriptif
Statistik Deskriptif digunakan untuk menggambarkan
variabel-variabel dalam penelitian ini. Alat analisis yang digunakan adalah
rata-rata, maksimal, minimal dan standar deviasi untuk mendiskripsikan variabel
penelitian.
Uji Asumsi Klasik
Setelah
data berhasil dikumpulkan, sebelum dilakukan analisis terlebih dahulu dilakukan
pengujian terhadap penyimpangan Asumsi Klasik, dengan tahapan sebagai berikut :
1.
Uji Multikolinieritas (Multicolinearity):
Uji Multikolinieritas digunakan untuk
menunjukkan adanya hubungan linier diantara variabel-variabel bebas dalam model
regresi. Nilai Tolerance dan Variance Inflacation Factor (VIF) digunakan untuk mendeteksi
adanaya Multikolinearitas. Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel bebas
mana yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Tolerance
mengukur variabilitas variabel
independen yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas
lainnya. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi
karena (VIF=1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang
tinggi. Nilai batas yang digunakan dalam penilaian ini adalah nilai tolerance yang mendekati 1atau sama dengan nilai VIF disekitar angka 10. Gejala
multikolinearitas akan diidentifikasi jika VIF lebih besar dari 10 (Gujarati,
1995).
2.
Uji
Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan menguji
apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance residual dari pengamatan satu ke pengamatan yang lain.
Jika variance residual dari pengamatan
satu ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda disebut heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini cara untuk mendeteksi
ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan uji Glejser (Gujarati,
1995). Uji Glejser dilakukan dengan meregres nilai absolut residual terhadap
variabel bebasnya. Apabila terdapat variabel bebas yang signifikan berpengaruh
terhadap nilai absolut residual, maka disimpulkan terjadi heteroskedastisitas.
Analisis Regresi
Hipotesis pertama, kedua, ketiga dan keempat akan menguji pengaruh ukuran
perusahaan, tipe industri, dan profitabilitas terhadap pengungkapan sosial dan
lingkungan perusahaan. Adapun model regresi ini ditunjukkan dalam
persamaan :
|
Keterangan:
Y = Jumlah
Pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan
Industri = Klasifikasi industri, variabel
dummy dengan;
1 = high
prpfile dan 0 = low
profile
Sedangkan prosedur
pengujian hipotesis adalah sebagai berikut:
Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2005), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Seperti diketahui bahwa uji t dan uji f mengasumsikan bahwa nilai residual
mengikuti distribusi normal. Kalau asumsi ini dilanggar, maka uji statistik
menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi
apakah residual berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik
dan uji ststistik.
Salah satu cara yang termudah dalam
melihat normalitas residual adalah dengan melihat grafik histogram yang
membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distribusi
normal. Namun demikian hanya dengan melihat grafik dapat menyesatkan khususnya
untuk jumlah sampel yang kecil. Metode yang lebih handal adalah dengan melihat
normal probability plot yang membandingkan antara distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan
membentuk garis lurus diagonal dan ploting data residual akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika
distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data yang
sebenarnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Uji t
Uji t dilakukan untuk mengatahui apakah masing-masing atau secara parsial
variabel independen berpengarus secara signifikan terhadap variabel dependen..
Adapun langkah-langkah dalam pengujiannya antara lain sebagai berikut:
1)
Menentukan formulasi Ho dan Ha
Ho : b = 0 (tidak ada pengaruh antara
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen)
Ha : b ¹ 0 (terdapat pengaruh antara masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen)
2)
Level of significant a = 0,05
3)
Menentukan kriteria pengujian;
a. Ho diterima jika Sig ³ 0.05 maka Ha ditolak yang berarti tidak
ada pengaruh yang signifikan antara masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen.
b. Ha diterima jika Sig. < 0.05 maka Ho
ditolak yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen.
Uji F
Uji F digunakan untuk menguji
tingkat signifikan pengaruh seluruh variabel-variabel bebas atau independent
(X) terhadap variabel terikat atau variabel dependent (Y). Pengujian ini
dilakukan dengan menggunakan taraf nyata (level
of significant) sebesar 0.05. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan
program SPSS versi 13, adapaun cara
pengujiannya adalah sebagai berikut:
Ho : β = 0, Variabel independen (X) tidak
berpengaruh terhadap variabel dependen (Y)
Ha : β ≠
0, Variabel independen (X)
berpengaruh terhadap variabel dependen (Y)
Dan kriteria keputusannya adalah sebagai berikut:
Ho diterima jika Sig ≥ 0.05, maka Ha ditolak yang
berarti bahwa variabel independen tidak berpengaruh secara simultan terhadap
variabel dependen.
Ha diterima jika Sig. < 0.05, maka Ho ditolak
yang berarti bahwa terdapat pengaruh secara simultan antara variabel independen
terhadap variabel dependen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis
Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan
untuk mengetahui gambaran mengenai responden yang dilihat dari nilai maksimum,
nilai minimum, nilai rata-rata, dan nilai standar deviasi. Berdasarkan analisis
statistik deskriptif diperoleh gambaran perusahaan sebagai berikut:
Tabel 1
Sumber: Data
Sekunder yang Diolah; 2011
Berdasarkan tabel 1 di atas menjelaskan
mengenai gambaran responden atas variabel yang diteliti. Untuk variabel yang
pertama yaitu pengungkapan sosial memiliki nilai minimum sebesar 2, nilai
maksimum sebesar 38, dan dengan nilai rata-rata sebesar 20.03 serta dengan nilai standar deviasi sebesar 8.369.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengungkapan sosial pada perusahaan yang
menjadi sampel rata-rata adalah cukup besar, sedangkan untuk nilai standar
deviasi yang lebih kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa pengungkapan
sosial dari masing-masing perusahaan sampel memiliki besaran yang hampir sama
antar masing-masing sampel perusahaan. Untuk variabel yang kedua yaitu profil
perusahaan yang diukur dengan vaiabel dummy, yaitu 1 untuk high profile dan nilai 0 untuk perusahaan yang low profile memiliki nilai minimum sebesar 0, nilai maksimum
sebesar 1 dan dengan nilai rata-rata sebesar 0.63 serta dengan nilai standar
deviasi sebesar 0.49. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar rata-rata
untuk sampel perusahaan memiliki jenis perusahaan yang high profile yaitu ditunjukkan dengan nilai rata-rata sebesar 0.63
atau lebih besar dari 0.05. sedangkan untuk nilai standar deviasi yang lebih
kecil dari nilai rata-rata berarti data yang terkumpul mengenai tipe industri
memiliki besaran yang hampir sama antar masing-masing perusahaan.
Tabel 2
Ringkasan
Hasil Persamaan Regresi Linier Berganda
Sumber: Data Sekunder yang Diolah; 2011
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda dan dengan bantuan program SPSS versi 13. Untuk pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan
uji t. pegujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen
secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan alat analisis regresi linier
berganda di peroleh hasil sebagaimana Tabel 2.
Berdasarkan tabel 2 maka dapat dibentuk suatu persamaan regresi yaitu
sebagai berikut:
Y =
0.697X + 5.94
Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah tipe industri berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial. Dalam rangka pengujian hipotesis tersebut,
dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi linier berganda.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan regresi linier berganda yang telah
dirangkum pada tabel 2 dapat dijelaskan bahwa secara parsial, tipe industri memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap variabel pengungkapan sosial. Hasil ini ditunjukkan dengan p-value sebesar 0.000, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai level of significance 0,05. Hal ini
membuktikan bahwa profil industri berpengaruh secara signifikan terhadap
pengungkapan sosial. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh nilai
hubungan yang positif yaitu ditunjukkan dari nilai koefisien regresi yang
positif sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan dengan jenis high profile maka pengungkapan sosial
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut akan lebih besar bila dibandingkan
dengan perusahaan yang memiliki jenis low
profile.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut yang menyatakan bahwa profil industri
berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sosial, maka hipotesis
ketiga yang menyatakan bahwa profil perusahaan berpengaruh secara signifikan
terhadap pengungkapan sosial dapat dibuktikan atau hipotesis ketiga yang diajukan
dalam penelitian ini diterima.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dengan menggunakan regresi linier berganda menunjukkan
bahwa variabel tipe industri memiliki pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap pengungkapan sosial.
Keterbatasan
1.
Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini hanya sedikit yaitu dengan jumlah sampel
sebanyak 60 perusahaan yang disebabkan karena penggunaan sampel hanya pada
sebagian perusahaan manufaktur yang melakukan pengungkapan sosial dan
lingkungan.
2.
Penelitian ini hanya menggunakan indikator tipe
industri. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat
menggunakan variabel yang lain dengan tujuan agar hasil yang didapatkan dalam
menjelaskan pengungkapan sosial dan
lingkungan akan semakin baik.
DAFTAR PUSTAKA
Belkaoui, .A dan Karpik, P.G. (1989),
" Determinant of the corporate decision to disclose social
information", Accounting, Auditing and Accountability Journal,
vol. 2 No. l. pp. 36-51
Gray, R., Kouhy, R dan Laver, S.
(1995a), “Corporate social and environmental reporting: a review of the
literature and a longitudinal study of UK disclosure”, Accounting, Auditing and Accountubility Journal, Vol. 8 No. 2 pp. 78-101.
Gray, R, Owen D., dan Adams, C.
(1996), Accounting and Accountability, Prentice Hall Europe.
Gray, R., Owen, D. dan Maunders, K.
(1987), Corporate Social Reporting: Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London.
Gujarati, Damodar N., 1995. Basic
Econometrics. Third Edition. Me.
Graw-Hill.
Guthrie, J. dan Mathews, M.R. (1985),
"Corporate social accounting in Australia" in Preston, LE. (Ed.), Research
in Corporate Social Performance and Policy, Vol. 7. Pp.251-77
Guthrie, J. dan Parker, L.D. (1990),
"Corporate social disclosure practice: a comparative international
analysis", Advances in Public
Interest Accounting, Vol. 3. Pp.
159-75.
Hackston, David. dan Markus, J
Milne, (1996), "Some determinants of social and environmental disclosures
in New Zealand Companies", Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9 No. 1, pp. 77-108.
Kelly, G.J (1981) "Australian social responsibility disclosure:
some insights into contempory measurement", Accounting and Finance, Vol. 21 No. 2, pp. 97-104.
Krippendorff, K. (1980), Content Analysis: An Introduction to its
Methodology, Sage, London.
Ng, L. W. (1985), "Social responsibility disclosures of selected New
Zealand companies for 1981, 1982, 1983", Occasional paper No. 54, Massey
University, Palmerston North.
Patten, D. M. (1991), "Exposure, legitimacy, and
social disclosure", Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308.
PSAK (revisi 1998)
Roberts, R.W. (1992), "Determinants of corporate
social responsibility disclosure: an application of stakeholder theory", Accounting,
Organizations and Society Vol. 17 No. 6, pp. 595-612