Rara
Ririn Budi Utaminingtyas
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang
Jl.
Prof. Sudarto. S.H.. Tembalang. Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061
ABSTRACT
Human resources arc assets and production factor whose storeate give and
important role. Hen there is a problem
in relevation with human resources which may effect to productivity dechive, he
company should have employees with personal balance, in such a may that they have work satisfaction and searching
satisfaction within their work.
Employers should put their employees as work force who realized their
job interest and responsibilities by maintaining employees welfare. Employees whose personal balance is determined
by their mental hygizene by frefiling 3 criteria:
1.
Healthy horizon facts and
environtment (hygizene)
2.
Tibilities to get self adjustment (welfare)
3.
To achieve self satisfaction without making others loose
In psychological concepts, a man with personal balance is in normal
situation. Mental disopelers such
as: stress burrout, platening, may
interrupt employee job activities.
Therefore the company are responsible to maintain employee’s health hygen one of then by guidance and
conseling program to help amployees in overcoming otheir problems.
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia (SDM) dalam sebuah perusahaan
merupakan aset dan salah satu faktor
produksi yang sangat berperan penting dan strategis. Pada saat terjadi gangguan
masalah yang berkaitan dengan SDM baik sebagai individu atau anggota organisasi
maka akan berdampak pada menurunnya produktivitas, tingkat absensi dan turn over
yang tinggi, terjadinya kecelakaan kerja, dan biaya yang besar. Di
samping memikirkan keuntungan bagi pengusaha yang berupa materi, industri
modern banyak melihat keuntungan dengan menempatkan karyawan sebagai tenaga
kerja yang harus menyadari kepentingan tugasnya dan tanggung jawab dalam
produksinya.
Untuk memperoleh karyawan yang demikian tinggi
kesadarannya, mereka harus terdiri dari individu-individu yang memiliki pribadi
yang seimbang, sehingga mereka akan bekerja dengan kepuasan hati dan mencari
kepuasan di dalam kerjanya. Oleh karena itu para pengusaha harus memikirkan
bagaimana caranya agar para pekerja memperoleh kepuasan selama di dalam
tanggung jawabnya (Meichati, 1983) . Kesejahteraan karyawan harus memperoleh
perhatian penuh seperti jaminan sosial, jaminan hari tua, tunjangan keluarga,
hak cuti, hadiah-hadiah serta bantuan lain yang memudahkan karyawan melakukan
tugasnya dan menyelesaikan tugasnya di keluarga sebagai usaha menafkahi
keluarga. Hal-hal seperti absen kerja, sakit, kelesuan, dan kurang produktif
dapat dikurangi sehingga produksi meningkat, walaupun ongkos kesejahteraan
karyawan cukup mahal.
Individu karyawan yang memiliki pribadi seimbang
ditentukan oleh kesehatan mentalnya yaitu kemampuan untuk menjaga ketetapan
keseimbangan mentalnya sendiri dan sanggup menjaga dan memelihara keseimbangan
dengan orang lain berupa pengertian dan kesediaan memahami orang lain.
Kesehatan mental banyak sangkut pautnya dengan susunan sosial manusia, menurut
ahli kesehatan mental terdapat kriteria untuk menggolongkan keadaan mental yang
sehat pada sseorang yaitu dengan tiga sifat yang dimiliki seseorang yaitu:
1.
Pandangan sehat terhadap kenyataan diri
dan sekitarnya,
2.
Kecakapan menyesuaikan diri pada segala
kemungkinan dan kemampuan mengatasi persoalan yang dapat diatasi,
3.
Mencapai kepuasan pribadi, ketenangan
hidup, tanpa merugikan orang lain.
Dengan demikian arti mental yang sehat bukan hanya
tidak terdapatnya gejala patologis (penyakit), tetapi juga adanya tiga sifat.
Hubungan tiga sifat tersebut dapat disingkat menjadi kesehatan, kesejahteraan,
dan keseimbangan. Dalam keadaan sehat seseorang akan menunjukkan pribadi yang
integral. Integrasi ini didasarkan pada lingkungan. Perkembangan sosial yang
baik yang nampak dalam kesadaran hidup bersama, memiliki pengendalian diri dan
optimisme dalam sikap hidupnya. Integrasi ini juga mengenai keadaan jasmani dan
rohaninya, yang nampak di dalam caranya memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Kesejahteraan yaitu adanya kesediaan menyesuaikan dirinya secara efektif
terhadap tuntutan lingkungannya, keuletan dalam perjuangan hidupnya tanpa
menunjukkan kebosanan, kecemasan, ataupun kelesuan, sanggup menerima tekanan
berat yang mendadak tanpa menderita akibatnya. Sedangkan keseimbangan adalah
kesanggupan untuk menghadapi tekanan hidup baik yang ringan maupun berat, dan
dalam keadaan emosi yang baik, kestabilan emosi ini menentukan berhasil
tidaknya ia mengusahakan keseimbangan. Biasanya orang yang stabil emosinya
selalu menunjukkan sikap positif dalam menghadapi kehidupan.
Berdasarkan uraian tentang kesehatan mental
tersebut, maka tugas dan tanggung jawab manajemen perusahaan dalam mengelola
SDM bukan hanya pada proses memperoleh, melatih, menilai dan memberikan
kompensasi kepada karyawan, juga memperhatikan hubungan kerja, kesehatan
termasuk kesehatan mental dengan memberikan bimbingan dan konseling , keamanan,
dan masalah keadilan (Dessler 2006). Ada beberapa hal yang membuat manajemen
SDM harus memperhatikan kesehatan mental karyawannya terutama karena lingkungan
yang berubah meliputi:
1.
Globalisasi, mengacu pada kecenderungan
perusahaan untuk memperluas penjualan, kepemilikan, memperluas pasar keluar
negeri. Globalisasi yang meluas berarti meningkatkan persaingan, lebih kuat
dorongan untuk menjadi ‘kelas dunia’membuat karyawan dituntut mampu menghadapi
persaingan yang semakin ketat tersebut.
2.
Kemajuan teknologi, banyak perubahan
melibatkan perusahaan-peusahaan kelas dunia Kemajuan teknoogi membuat
perusahaan membutuhkan karyawan yang mampu mengantisipasi kemajuan teknologi,
karena kemajuan teknologi juga mengubah sifat pekerjaan,
3.
Demografis tenaga kerja, secara
demografis tenaga kerja telah berubah seperti masuknya wanita dalam pasar
kerja, pekerja usia tua yang mengalami penurunan
Faktor-Faktor
Penyebab Gangguan Kesehatan Mental Di Tempat Kerja
Stress.
Adanya kelebihan beban kerja, kurang jelasnya peran,
tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaan, relasi dan konflik dengan teman
kerja atau atasan, kebijaksanaan perusahaan yang kurang tepat, peraturan atau
tata tertib yang terlalu ketat, tekanan waktu dapat menimbulkan tekanan
pekerjaan. Tekanan pekerjaan memiliki
konsekuensi serius baik bagi pengusaha maupun karyawan. Konsekuensi psikis manusia
meliputi kecemasan yaitu suatu perasaan tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan sesuatu yang akan terjadi), depresi (kesedihan yang dalam), kemarahan, neurosis yaitu perasaan tidak berdaya,
dunia kelihatan membosankan, insomnia atau
gangguan tidur, gangguan konsentrasi, dan berbagai konsekuensi fisik yang lebih
dikenal sebagai gejala-gejala
psikosomatis seperti kardiovaskuler, tekanan darah tinggi atau rendah,
sakit kepala, migrain, gangguan
pencernaan (sakit maag), dan sebagainya. Bagi perusahaan konsekuensinya
meliputi pengurangan kuantitas dan kualitas kinerja, meningkatnya absen dan
pergantian karyawan, dan meningkatnya keluhan dan biaya perawatan kesehatan
(Dessler, 2006). Sebuah studi terhadap 46000 karyawan menyimpulkan bahwa tekanan dan depresi dapat menyebabkan
karyawan mencari perawatan medis untuk masalah fisik dan psikologis, yang tidak
jelas dan mengalami tekanan pekerjaan 46
% lebih tinggi dari pada yang tidak terlalu mengalami tekanan ( Dessler, 2006).
Menurut Robbins (1989) stress adalah suatu kondisi
dinamis dimana individu berhadapan dengan suatu ketidakberdayaan terhadap
tuntutan yang berhubungan dengan keinginan, hasrat individu mengatasi
ketidakpastian. Penyebab stress di tempat kerja menurut Robbins (1989)
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1.
Faktor lingkungan meliputi
ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan ketidakpastian teknologi.
2.
Faktor organisasi meliputi tuntutan tugas, tuntutan peran,
tuntutan antar pribadi, struktur organisasi, kepemimpinan organisasi, dan
siklus hidup organisasi/
3.
Faktor individu yaitu masalah keluarga
dan ekonomi keluarga, kehidupan pribadi.
Stress merupakan reaksi badan terhadap
tekanan-tekanan dari luar atau reaksi fisiologis sebagai suatu usaha
penyesuaian diri terhadap suatu peristiwa yang menyebabkan situasi emosional
(Kagan dan Havemann, 1980) misalnya menghadapi persaingan, keamanan ekonomi dan
sebagainya.
Burnout (Kelelahan Mental)
Fenomena yang sangat terkait dengan tekanan
pekerjaan.Para pakar mendenifisikan burnout sebagai penipisan sumber daya fisik
dan mental secara total yang disebabkan oleh Burnout perasaan mudah marah,kehilangan
antusiasme,merasa terperangkap,dan perasaan tidak bahagia (Dessler, 2006).
Menurut Robbins (1989) ada beberapa kondisi yang
menyebabkan terjadi burnout yang
pertama adanya stres individual maupun organisasional seperti kekaburan peran,
tekanan kinerja,konflik interpersonal, problem ekonomi keluarga, kedua adanya ambisi atau harapan-harapan yang tidak
realistik. Kombinasi keduanya dapat membentuk stress, fatigue suatu kondisi dimana individu pasif, melamun, pikiran kosong
(tidak konsentrasi), merasa tidak berdaya atau bersalah, juga frustrasi yaitu
kekecewaan terhadap kegagalan individu memenuhi kebutuhan.. Burnout bila terjadi
di tempat kerja ini justru sangat membahayakan sebagai pencetus terjadinya
kecelakaan kerja, sehingga mengganggu program keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) yang dapat membahayakan dirinya, orang lain bahkan peusahaan.
Carrell, Jenning, dan Heavrin (1997) hampir sama
dengan burnout pada karyawan juga dapat terjadi the plateaued employee (kemandegan), gejala-gejalanya meliputi gangguan-gangguan pada kebiasaan kerja
seperti tidak mampu menyelesaikan tugas, tidak bisa mencapai deadlines, menunda
pekerjaan, meningkatnya absensi atau ketidakhadiran.. Disini dapat terjadi
perubahan-perubahan kepribadian, ada ketidakpercayaan terhadap orang lain dan
hipersensitif. Seperti pada burnout, plateau ini berdampak pada menurunnya
moral dan produktivitas organisasi. Ada tiga bentuk plateau yaitu;
1.
Structural
plateauing
yaitu tidak ada lagi level organisasi yang lebih tinggi bagi karyawan untuk
dipromosikan,
2.
Content
plateauing
yaitu karyawan sudah mampu menyelesaikan semua tugas, sehingga tidak ada lagi
tantangan, kurang semangat
3.
Life
plateuing
berkaitan dengan pengalaman hidup, kehidupan keluarga, kehidupan perkawinan,
kesuksesan bekerja hingga akhirnya muncul kebosanan pada hidup. Ketiganya
saling berkaitan satu dan yang lain, bisa saling menjadi penyebab.
Konsep
Dasar Kesehatan Mental
Individu manusia sebagai makhluk biologis,
mendasarkan pemuasan kebutuhannya kepada dorongan-dorongan, nafsu
jasmaniahanya, semuanya itu juga mempengaruhi fungsi-fungsi melalui sikap,
tingkah laku, dan cara berfikirnya. Semua itu merupakan kebutuhan manusia untuk
membina kehidupan yang berhasil, sempurna, dan bahagia yang merupakan kebutuhan
wajar setiap manusia. Disamping itu disadari pula banyaknya rintangan yang
menghambat untuk mencapai kebutuhan tersebut baik berasal dari dalam dirinya
dan luar dirinya. Dalam konsep kesehatan mental kepincangan hidup dan
keadaan-keadaan yang mencekam kehidupan seperti kemurungan, kebingungan,
ketidaktentraman mengganggukeeimbangan mental individu (Meichati, 1983).
Dalam konsep Psikologi Korchin (1976) menyatakan
bahwa psychopatplogy atau
gangguan-gangguan psikologis yang berkaitan dengan kesehatan mental ditentukan
oleh konsep normalitas. Individu yang sehat maka akan berada dalam situasi
normal atau seimbang. Ada beberapa konsep tentang normalitas menurut Korchin
(1976) yaitu:
1.
Normal adalah sehat, menurut para ahli
medis-psikiatris orang yang ‘tidak
sakit’ itu normal, tidak ada gejala-gejala patologis (penyakit), tidak ada
gangguan pada fungsi-fungsi alat tubuh (Faal), reasonable, optimal, dan lebih baik menurut tinjauan klinis.
2.
Normal adalah ideal (utopia), normal adalah bila individu atau sesuatu berada dalam
bentuk ideal tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan, segbagai contoh tidak
mengalami penyimpangan-penyimpangan kepribadian, tingkah laku.
3.
Normal adalah average (rata-rata), biasanya dalam konsep ini merupakan hasil
pengukuran secara statistik, dikatakan normal bila terjadi ‘kurve normal’.
Sebagai contoh angka kecerdasan IQ seseorang apabila berada di bawah rata-rata
dikatakan berada dalam kondisi abnormal yang rendah, sedangkan yang diatas
rata-rata atau jenius adalah abnormal tinggi.
4.
Normal adalah dapat diteima secara
sosial, sebagai makhluk sosial manusia hidup dalam masyarakat, bersosialisasi,
berinteraksi sehingga dikatakan individu normal bila sesuai dengan norma,
aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Tidak melanggar norma-norma sosial
yang berlaku. Tidak diisolasi atau diasingkan oleh masyarakat.
Bimbingan
Dan Konseling Di Tempat Kerja
Bimbingan merupakan bantuan yang
diberikan kepada indiviu, untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya dengan
baik agar individu dapat memecahkan masalahnya sendiri dan dapat menyesuaikan
diri dengan baik. Sedangkan konseling adalah bantuan yang diberikan kepada
individu dalam memecahkan masalah dengan interviu (Bimo Walgito, 1984).
Pengertian bimbingan lebih luas, konseling merupakan bagian dari bimbingan,
konseling memang merupakan bimbingan tetapi tidak semua bimbingan konseling.
Bimbingan bisa dilakukan secara individu atau kelompok, sedangkan konseling lebih
individual. Contoh bimbingan adalah
bimbingan karier seperti prajabatan pada pegawai negeri diberikan bimbingan
tahapan karier saat sudah bekeja. Sedangkan contoh konseling layanan konsultasi
pada saat konflik dengan atasan atau teman kerja.
Pada kegiatan bimbingan biasanya belum terjadi
masalah atau usaha preventif, sedangkan konseling biasanya diberikan sebagai
bantuan bila individu mempunyai masalah atau usaha kuratif. Menurut Faqih
(2001) ada empat (4) fungsi bimbingan dan konseling:
1.
Fungsi preventif yaitu membantu individu
menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya
2.
Fungsi kuratif atau korektif yakni
membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya,
3.
Fungsi preservatif, yakni membantu individu menjaga agar situasi dan
kondisi yang semula tidak baik atau ada masalah menjadi baik atau terpecahkan
dan kebaikan itu bertahan lama,
4.
Fungsi developmental atau pengembangan,
yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang
telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkan
menjadi sebab munculnya masalah baginya.
Pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di Tempat Kerja
Untuk memenuhi hajat hidupnya, nafkah hidupnya
manusia harus bekerja. Mencari pekerjaan yang sesuai, mengembangkan karier
dalam pekerjaan, bimbingan dan konseling diperlukan untuk menanganinya.
Perusahaan atau lembaga perlu memberikan perhatian khusus masalah ini sebagai
salah satu program pemeliharaan karyawan agar tujuan dan kebutuhan individu
karyawan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan perusahaan. Dalam pelaksanaan
kegiatan bimbingan dan konseling dapat membentuk lembaga, bagian, atau biro.
Bisa juga dengan menggunakan bantuan dari jasa profesional lembaga konsultasi
dari luar perusahaan, atau ‘orang dalam’ perusahaan yang mendapat pelatihan
atau berdasar pengalaman untuk menjadi seorang konselor, misal manajer
personalia.
Menurut Di Kamp (2001) konseling di tempat kerja
didefinisikan sebagai kegiatan membantu seseorang untuk membantu dirinya
sendiri. Tidak sama seperti konseling profesional yang membutuhkan pelatihan
lama dan penguasaan keahlian tertentu. Konseling ditempat kerja bisa dilakukan
manajer, supervisor seperti pertolongan yang diberikan kepada teman yang mempunyai
masalah. Dan itu hanyalah tahapan awal. Jika seseorang mempunyai masalah dan
membutuhkan pertolongan lebih banyak maka karyawan dianjurkan menemui seorang
profesional misal psikiater, psikolog, atau terapis yang lain. Konseling di
tempat kerja adalah pendekatan yang tidak mengarahkan untuk memecahkan masalah,
atau mendorong pengembangan tenaga kerja. Membiarkan mereka (karyawan)
mengidentifikasi masalah, arah mana yang mereka tuju dan bagaimana untuk dapat
sampai kesana. Peran konselor adalah mendengarkan, membentuk proses berfikir
mereka dan menolong mereka untuk menjalankannya. Ada bebrapa tahapan menjadi
konselor:
1.
Memahami perbedaan individu (individual differences) setiap individu
memiliki keunikan masing-masing yang berbeda antara individu satu dengan yang
lain, termasuk dalam menanggapi, menghadapi, dan menyelesaikan masalah, meski
nampaknya masalahnya ‘sama’. Sebagai contoh dua orang karyawan sama-sama
melakukan pekerjaan penjualan dan harus memenuhi target bagi mereka yang
mempunyai lepribaian tipe A kegiatan itu menarik, menantang karena pada
dasarnya senang bekerja, mencari tanggung jawab, hal ini tidak berlaku bagi
mereka dengan kepribadian tipe B.
2.
Menjadi seorang pendengar, yang paling
penting bagi seorang konselor adalah kemampuan mendengarkan tanpa mengkritik,
memberikan perhatian. Dengan memberikan perhatian konselor dapat menolong
mereka menemukan pemecahannya. Terkadang orang bermasalah hanya membutuhkan
untuk ‘curhat’, pelampiasan emosi dalam Psikologi disebut Chatarsis.
3.
Mampu menunjukkan simpati dan empati.
Sehingga kita bisa memahami masalah orang lain sekaligus seolah-olah merasakan
hal yang sama . Dengan empati menimbulkan perasaan tenang pada mereka yang
sedang mempunyai masalah.
4.
Memahami proses konseling yaitu
a.
Memulai dengan pikiran bersih tidak
membuat asumsi atau berprasangka mengenai orang yang bermasalah dngan demikian
akan selalu bersikap positif pada setiap orang.
b.
Mengadakan pendekatan awal, untuk
mengurangi kekakuan, kegugupan.
c.
Mengidentifikasi masalah, menggali
alternatif pemecahan dengan prognosa dan diagnosa sederhana, sehingga dapat
membantu pengambilan keputusan..
Proses ini memungkinkan orang untuk menyusun proses
pemikiran mereka, sehingga dapat
memecahkan masalahnya sendiri, sehingga peran konselor disini relatif lebih
sederhana tetapi sudah sangat menolong.
KESIMPULAN
Untuk menjaga produktivitasnya perusahaan harus
memiliki sumber daya manusia yang memiliki kesehatan mental yakni yang memiliki
pribadi seimbang yang meliputi kesehatan, kesejahteraan, dan keseimbangan.
Kenyataannya banyak faktor yang mengganggu kesehatan mental karyawan seperti
stres, kelelahan mental, kemandegan mental. Oleh karena itu manajemen
perusahaan mempunyai kewajiban memelihara kesejahteraan karyawan dengan
memberikan bantuan kepada karyawan yang mengalami gangguan kesehatan mentalnya
dengan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling, baik membentuk lembaga
tersendiri, menggunakan jasa profesional dari luar perusahaan, atau melatih
karyawan seperti manajer personalia menjadi seorang konselor.
DAFTAR
PUSTAKA
Carrell,
MR, Jennings, DF, Heavrin, JD. 1997. Fundamentals of Organizational Behavior.
New Jersey: Prentice Hall Inc
Dessler,
Gary.2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 1 dan Jilid 2. Edisi kesepuluh.
Klaten: PT Indeks
Di
Kamp. 2001. The 21 st Century Manager.
Manajer Abad 21.Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Faqih,
Aunur Rahim. 2001. Bimbingan dan Konseling Dalam Islam.Yogyakarta: LPPAI UII
Press
Kagan,
Jerome. Havemann, Ernest. Psycology. New York: Harcourt Brace Javanovich,
Inc
Korchin,
Sheldon J.1976. Modern Clinical Psychology. New York:Basic Books Inc.,
Publisher
Meichati,
Siti. 1983. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Robbins,
Stephen P. 1989. Organizational Behavior. Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall
Inc.
Walgito, Bimo.1984. Bimbingan dan Konseling Dalam
Perkawinan. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada