Sofyan Eko Putra
Magister Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Universitas Diponegoro
E-mail: sofyan.eko@gmail.com
ABSTRACT
Poverty is an important issue
facing the nation of Indonesia, various attempts have been done by the
government but are constrained by the fundamental constraints. Poverty
reduction achieved in the last five years has not fully address the equitable
development, to the moral hazzard factors, so that the problem of poverty is
always a new problem.
Zakat, infak, and Sadaqah (ZIS)
is part of the Islamic fiscal instruments needed in the fight against poverty
through zakat as a special economic incentives for eight asnaf, and other
economic incentives in the form of infak, and Sadaqah which can be utilized in
an effort to build entrepreneurial poor through the provision of working
capital to the partnership that benefits the poor. Applicative, special
economic incentives provided in the form of grants, while the others form of
economic incentives are infak and shodaqoh can be given in the form of al-Qard,
and al-Mudaraba.
Zakat, infak, and Sadaqah (ZIS)
is also expected to drive the zakat management institutions in Indonesia to be
more professional, to support the acceleration of poverty reduction and
increase amount of entrepreneurs in Indonesia.
Keywords: Zakat, Poverty, Empowerment, Entrepreneurship,
Welfare
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penanggulangan kemiskinan pada dasarnya merupakan upaya yang hingga saat ini
rutin menjadi
perhatian utama di seluruh negara. Tingkat kemiskinan
nasional sendiri telah menunjukkan tren
yang menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (lihat Gambar 1). Dalam
periode Maret Tahun 2007- Maret Tahun 2012, jumlah penduduk miskin tertinggi
yaitu sebesar 37,168 juta jiwa terjadi pada tahun 2007 atau sekitar 16,58
persen dari 225,6 juta jiwa penduduk indonesia pada tahun tersebut. Sedangkan,
penduduk miskin terendah tercapai pada tahun 2012 yaitu sebesar 29,13 juta jiwa
atau 11,96 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012
sebesar 237,6 juta jiwa.
Tren tingkat kemiskinan yang menurun tersebut merupakan cerminan dari
salah satu upaya pemerintah yaitu melalui Peraturan
Presiden (Perpres) No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan. Perpres tersebut
direalisasikan dalam tiga klaster program penanggulangann kemiskinan, yaitu Klaster I, meliputi subsidi Raskin (beras
miskin) sebagai perlindungan terhadap rumah tangga miskin dari kenaikan harga pangan, pelayanan Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat), dan penyediaan beasiswa,
Klaster II, melalui PNPM Mandiri , dan Klaster
III dalam bentuk penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)
untuk UMKM dan koperasi,
penyaluran KUR tersebut diharapkan dapat mengatasi
pengangguran terselubung sehingga
penggunaan tenaga kerja dapat terutilisasi yang secara makro dapat mendorong
dan meningkatkan kontribusi UMKM dan koperasi terhadap perekonomian nasional.
Gambar 1. Jumlah Penduduk Miskin
di Indonesia Tahun 2007-2012
Sumber: BPS
Indonesia
Upaya pemerintah dalam penurunan angka kemiskinan tersebut, secara makro
tentu tidak lepas dari dampak pertumbuhan ekonomi nasional yang tumbuh diatas 6
persen selama periode 2010 hingga paruh semester 2012. Namun di sisi lain,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak diikuti dengan pemerataan
pendapatan. Angka gini ratio (lihat
Gambar 2) merupakan indikator yang dapat menunjukkan besarnya tingkat
kesenjangan pendapatan yang terjadi dalam suatu periode. Berdasarkan data BPS, selama
periode tahun 2007-2012, angka gini ratio
di Indonesia menunjukkan peningkatan yaitu dari 0,36 (2007), 0,37 (2009),
0,38 (2010), 0,41 (2011) menjadi 0,41 (2012), dan menurun dari 0,36 (2007)
menjadi 0,35 (2008).
Dengan turunnya tingkat kemiskinan dan semakin tingginya angka gini ratio di Indonesia maka mengindikasikan bahwa penduduk miskin
semakin bertambah kemiskinannya dan penduduk kaya semakin bertambah kaya. Selain
itu, kemiskinan di Indonesia juga dihadapkan oleh dinamika penduduk miskin yang
dapat keluar dari dan masuk ke dalam lingkar kemiskinan. Dinamika tersebut
menyebabkan seorang penduduk yang misalnya pada tahun ini menjadi orang miskin,
namun pada tahun depan menjadi penduduk yang hampir miskin dan begitu
sebaliknya.
Dengan pola pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung capital intensive (padat modal) dan
bukan padat karya (labour intensive).
Dengan pola tersebut, salah satu upaya penanggulangan kemiskinan yang dapat
dilakukan adalah dengan cara menyerap tenaga kerja sebesar-besarnya, dan cara
tersebut dapat ditempuh melalui pemberian kesempatan bagi penduduk miskin yang
siap dan mampu untuk ikut berpartisipasi membangun perekonomian daerah daerah
maupun nasional melalui kegiatan wirausaha (entrepreneur)
dalam berbagai macam lapangan usaha baik dalam skala usaha industri rumah
tangga (micropreneur) maupun industri
kecil. Sebuah negara untuk maju dalam perekonomian memerlukan wirausahawan
dengan jumlah minimal dua persen dari total penduduk. Namun, kegiatan wirausaha
bagi penduduk miskin tentu tidak lepas dari permodalan, karena hampir sebagian
besar pendapatan yang dimilikinya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) sehari-hari. Tentunya pemberdayaan
penduduk miskin tidak semata permodalan, namun dalam softskill/keterampilan juga.
Gambar 2. Gini Ratio Indonesia Tahun 2007-2012
Sumber: BPS Indonesia
Agama Islam dalam ajaranya dikenal beberapa bentuk insentif
bagi perekonomian yang mampu
menjawab permasalahan kemiskinan nasional. Bentuk insentif yang dimaksud adalah zakat, infak dan shadaqah
(ZIS). Zakat sendiri
bersifat wajib
bagi yang seseorang yang telah memenuhi nishab
dan haul,
sedangkan infak dan shadaqah bersifat sukarela dengan jumlah nominal sesuai yang dikehendaki oleh penderma. Kedua bentuk insentif
tersebut akan berperan sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan dan kewirausahaan penduduk miskin, sehingga
secara makro dapat mendorong perekonomian nasional yang maju, mandiri dan berkeadilan.
Indonesia sebagai
negara dengan
jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tentunya
memiliki potensi yang besar dalam penerimaan zakat, infak
dan shadaqah (ZIS). Potensi ZIS sebagaimana yang dimuat Jurnal Nasional, pada tanggal 5 Agustus
2011 yaitu menyebutkan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bersama Fakultas
Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB dalam penelitian bersama yang dirilis baru-baru
ini mengungkapkan fakta mengejutkan. Total potensi zakat nasional mencapai Rp
217 triliun, atau menyumbang 3,4 persen produk domestik bruto (PDB). Potensi
zakat berasal dari tiga saluran. Pertama, potensi zakat rumah tangga Rp 82,7
triliun (1,3 persen PDB). Kedua, potensi zakat BUMN mencapai 2,4 triliun (0,04
persen PDB). Ketiga, potensi zakat dari tabungan mencapai Rp17 triliun (0,27
persen PDB).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa zakat, infak, dan shadaqah (ZIS) memiliki potensi strategis
untuk memberdayakan penduduk
miskin, sehingga dapat mendorong penduduk miskin menjadi insan yang mandiri melalui kewirausahaan
dan memiliki kesejahteraan yang sesungguhnya, baik secara lahir maupun batin.
PEMBAHASAN
ZIS sebagai Instrumen
Kesejahteraan
Dengan potensi dana kumpulan yang terus meningkat, ZIS sebagai insentif bagi ekonomi masyarakat
miskin secara akumulatif dapat mendorong pengentasan kemiskinan. Mengingat
potensinya yang meningkat dari Rp 19,3 triliun pada periode tahun 2004-2005
menjadi Rp 217 triliun pada tahun 2011, ZIS menjadi strategis dalam pengentasan
kemiskinan.
Adapun mekanisme ZIS dalam upaya peningkatan
kesejahteraan penduduk miskin dijelaskan sebagai berikut:
1. Mekanisme zakat
a. Sesuai dengan penjelasan Al-Quran pada surat at-Taubah ayat 60 yaitu penggunaan zakat dapat dilakukan sesuai prioritas golongan ashnaf
(lihat Tabel 3). Maka, dapat dijelaskan bahwa golongan fakir dan miskin ditempatkan di urutan pertama dan kedua pada delapan ashnaf, karena fakir dan
miskin merupakan kelompok yang lebih membutuhkan daripada
kelompok-kelompok lainnya.
b. Penggunaan zakat dapat
dioptimalkan secara penuh pada
satu prioritas jika benar-benar dibutuhkan. Sebagai contoh: jika dana ZIS
sebesar Rp 10 triliun, digunakan sebesar Rp 9 triliun untuk golongan fakir dan
miskin maka sisanya sebesar Rp 1 triliun dapat digunakan oleh urutan prioritas
berikutnya, misalnya amil zakat dan muallaf.
c. Penggunaan dana zakat secara naturalnya
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (bacic
needs) seperti kebutuhan pangan, dan kebutuhan akan
kesehatan.
2. Mekanisme infak, dan sedekah
a.
Sesuai
sifatnya yang sukarela tidak ada batasan (nishab) dan
haul, serta penerimanya lebih luas maka dana infak dan sedekah dapat digunakan
untuk membantu dana zakat dalam peningkatan kesejahteraan melalui upaya pemenuhan kebutuhan dasar (bacic needs).
ZIS sebagai Instrumen Kewirausahaan
Dalam praktik pengelolaan dana ZIS, upaya peningkatan
jiwa kewirausahaan pada penduduk fakir dan miskin dapat dilaksanakan melalui program
pemberdayaan dalam bentuk pendidikan, keterampilan, dan usaha produktif.
Namun, perlu diketahui bahwa dana zakat secara naturalnya digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan dasar (bacic
needs) seperti kebutuhan pangan, dan kebutuhan akan
kesehatan, dan boleh untuk usaha
produktif dengan catatan yaitu setelah dana zakat terlebih dahulu
disalurkan sebagianya kepada para penerima zakat dan adanya jaminan untuk tidak terjadi kerugian-kerugian.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh hasil muktamar Lembaga Pengkajian Fiqih
Islam (LPFI) yang diadakan di Amman, ibukota
Kerajaan Yordania, tanggal 8-13 Shafar 1407H/11-16 Oktober 1986 M: Secara prinsipil boleh saja
menggunakan uang zakat untuk berbagai proyek pengembangan modal yang pada
akhirnya menjadi milik orang yang berhak menerima zakat. Atau proyek yang
dikelola oleh pihak yang berwenang mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat, yang
tentunya setelah terlebih dahulu disalurkan sebagiannya kepada para penerima
zakat yang memang betul-betul membutuhkannya dalam waktu cepat, serta dengan
syarat adanya jaminan untuk tidak terjadi kerugian-kerugian (al-Mushlih dan
ash-Shawi, 2004:482-483)
Adapun mekanisme ZIS dalam upaya peningkatan
kewirausahaan penduduk fakir dan miskin dijelaskan sebagai berikut:
1. Mekanisme zakat, dengan kriteria:
a. Memastikan dana zakat yang digunakan untuk usaha
atau proyek produktif, merupakan dana zakat yang tersisa pasca penyalurkan
kepada penerima zakat, sebagaimana kriteria yang dijelaskan oleh hasil muktamar
Lembaga Pengkajian Fiqih Islam tersebut diatas.
b. Usaha produktif untuk pengembangan modal
diserahkan kepada pengusaha atau pihak yang profesional dan berpengalaman
sehingga meminimalkan kerugian-kerugian yang mungkin terjadi.
c. Pihak amil zakat dapat menjamin tidak hilangnya
dana zakat sebagai akibat kerugian dari kegiatan usaha atau proyek produktif.
2. Mekanisme infak, dan sedekah
a. Sesuai sifatnya yang sukarela
tidak ada batasan (nishab) dan haul, serta penerimanya lebih luas maka dana
infak dan sedekah dapat digunakan untuk membantu dana zakat dalam peningkatan kewirausahaan penduduk fakir dan miskin.
Bauran
ZIS Sebagai Instrumen Kesejahteraan dan Kewirausahaan
ZIS dapat memberikan kontribusi secara
komprehensif dengan bauran dana ZIS, yaitu dengan menjamin kelangsungan hidup
sehari-hari penduduk fakir dan miskin dengan dana zakat, kemudian menyiapkan
penduduk fakir dan miskin yang siap berwirausaha. Sebagai ilustrasi, bauran ZIS
sebagai instrumen kesejahteraan dan kewirausahaan, dapat diidentifikasi melalui
beberapa tahapan sebagai berikut (lihat Gambar 3):
a. Tahap 1: Motivasi
•
Pada tahap
ini penduduk fakir dan miskin diberikan motivasi lahir dan batin. Motivasi
lahir dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari seperti
kebutuhan pangan, dan kebutuhan akan kesehatan. Sedangkan motivasi batin dilaksanakan dalam bentuk kajian religius
(keislaman) untuk mendorong kemandirian dan berani untuk menjadi wirausahawan.
•
Dalam
definisi wirausaha sendiri, didalamnya mencakup bagaimana pengambilan risiko
untuk menjalankan usaha sendiri, dan mampu memanfaatkan peluang-peluang untuk
menciptakan usaha baru atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang
dikelola berkembang menjadi besar dan mandiri dalam menghadapi
tantangan-tantangan persaingan (Nasrullah Yusuf, 2006 dalam Kemendiknas, 2010)
Gambar
3. Bauran ZIS sebagai Instrumen Kesejahteraan dan Kewirausahaan
Sumber:
Penulis
b. Tahap 2: Belajar
•
Pada tahap
ini, penduduk fakir dan miskin yang siap untuk berwirausaha (calon
wirausahawan), kemudian diberikan pelatihan kewirausahaan oleh amil zakat melalui kerjasama dengan instansi pendidikan atau LSM, namun belum sampai pada praktiknya (kegiatan
usaha).
•
Pelatihan yang
diberikan dapat mencakup beberapa unsur penting, dimana antara unsur satu dengan unsur lainnya saling terkait
dan bersinergi, keempat unsur tersebut adalah unsur daya pikir
(kognitif), unsur
keterampilan (psikomotorik), unsur sikap mental (afektif),
dan unsur kewaspadaan atau intuisi (Soesarsono dalam
Yusanto dan Widjajakusuma, 2002:33)
•
Selanjutnya
setelah selesainya masa pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, calon
wirausahawan melanjutkan dengan memulai kegiatan usaha dengan permodalan usaha
berasal dari dana sosial (infak dan shadaqah, atau zakat jika memenuhi
kriteria) melalui program pembiayaan dengan akad sebagai berikut:
4
Akad al-Qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan (Antonio, 2001:131). Akad al-Qardh cocok bagi pemula, karena pendanaan akan bersifat hibah tanpa ada
pengembalian (dana infak dan sedekah, bukan zakat[1]).
Pelaku usaha memberikan tenaga kerja,
sedangkan BAZ/LAZ memberi modal 100 %
pada usaha. Dan, keuntungan sebesar 100 % menjadi milik masyarakat fakir
dan miskin (pelaku usaha).
4 Akad
al-Mudharabah, secara teknis adalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak
(nisbah), sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan
karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung
jawab atas kerugian tersebut (Antonio, 2001:95).
4 Akad al-Mudharabah cocok bagi pelaku usaha yang telah mandiri, karena dengan mudharabah pelaku usaha yang telah
mandiri dapat mengembangkan usahanya lebih luas dengan modal yang lebih besar.
Pendanaan atau pemberian modal bukan lagi berasal dari dana sosial (infak dan
shadaqah) melainkan dana dari lembaga keuangan mikro syariah atau perbankan
syariah.
c. Tahap 3: Pertumbuhan
Pada tahap ini, penduduk fakir dan miskin
sedang berproses menjadi wirausahawan dengan modal melalui akad yang telah
disepakati antara wirausahwan dengan amil zakat. Selama proses ini pihak amil
zakat masih terus mendampingi melalui kegiatan klinik konsultasi usaha dan
pembinaan wirausahawan melalui pembentukan komunitas antara wirausahawan.
Dengan begitu wirausahawan mampu menghadapi dinamika bisnis yang bisa naik dan
turun dan menjadi wirausahawan yang mandiri.
d. Tahap 4: Pengembangan dan Kemandirian
•
Pada tahap
ini kegiatan pelaku usaha menjadi wirausahawan yang mulai mandiri dan mulai memperluas
usaha dengan akad yang nilai pembiayaannya lebih besar untuk menunjang
peningkatan kapasitas usahanya. Pada tahap ini amil zakat dapat mendorong
wirusahawannya untuk bermitra dengan industri dengan skala usaha diatasnya
untuk asimilasi teknologi, jaringan bisnis, dan metode usaha agar lebih tinggi
produktifitas usahanya dimasa depan.
•
Pola kemitraan yang dimaksud melibatkan bertujuan
pelaku kemitraan yaitu wirausahwan (mustahiq) baik individu maupun kelompok
usaha (terdiri lebih dari satu wirausahawan), perusahaan mitra yaitu pelaku usaha menengah dan besar yang berasal dari beragam bidang usaha misalnya pertanian, kerajinan anyaman, rotan, dan lainnya yang bersifat
profitable dan sesuai syari’ah. Pelaku mitra dalam prosesnya menuju
kemandirian usaha dengan pola kemitraan masih didukung oleh disebut amil zakat.
•
Adapun
bentuk pola kemitraan yang dimaksud, dapat berupa:
4 Inti plasma yaitu hubungan kemitraan yang didalamnya perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan pelaku kemitraan sebagai
plasma.
4 Sub kontrak yaitu hubungan
kemitraan yang didalamnya pelaku kemitraan memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari kegiatan produksi perusahaan mitra.
4 Perdagangan umum yaitu hubungan kemitraan yang didalamnya
pelaku mitra memasok
kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra.
4 Agen (Dealer)
yaitu hubungan kemitraan
yang didalamnya pelaku mitra diberi hak khusus untuk memasarkan
barang/jasa yang diproduksi oleh perusahaan mitra.
4 Subkontrak
yaitu hubungan
kemitraan yang didalamnya dilakukan desentralisasi produksi, dengan ditandai
adanya penyerahan baik sebagian maupun keseluruhan proses
produksi dari
perusahaan mitra kepada pelaku kemitraan.
4 Kerjasama Operasi (KSO), yaitu hubungan kemitraan yang didalamnya pelaku
kemitraan dan perusahaan mitra sepakat untuk melakukan suatu usaha bersama
dengan menggunakan aset pelaku kemitraan (lahan, sarana, dan tenaga) sedangkan perusahaan mitra menyediakan modal dan atau hak usaha dan secara bersama menanggung resiko usaha tersebut
• Pola kemitraan usaha yang dilakukan harus berdasar etika
bisnis sesuai syari’at Islam, dan
bersinergi dimana perusahaan mitra dan pelaku kemitraan terjalin hubungan yang
saling menguntungkan, dengan cara:
4 Perusahaan mitra memberikan bimbingan produksi
dan atau manajerial kepada pelaku kemitraan. Dan sebaliknya, pelaku kemitraan
juga memberikan feed back yang
bermanfaat bagi kelangsungan kerjasama antara keduanya.
4 Menyelenggarakan perjanjian kemitraan yang
beretika dan
4 Saling menguatkan posisi masing-masing agar
terwujudnya daya saing yang progresive.
4 Saling menguntungkan, yaitu baik pelaku kemitraan maupun perusahaan mitra sama-sama
memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha.
• Adapun persyaratan dasar untuk melakukan pola
kemitraan adalah sebagai berikut:
Tabel
4. Persyaratan Dasar Hubungan Kemitraan
Pelaku
Kemitraan
|
Perusahaan
Mitra
|
1.
Mempunyai jiwa bisnis (wirausaha)
dan berwawasan luas (berilmu).
2.
Beritikad untuk berusaha dengan
sistem ekonomi syariah,
bermotivasi tinggi untuk maju.
3.
Mentaati aturan yang diminta
sebagai persyaratan oleh
perusahaan mitra dan aturan-aturan yang disepakati bersama.
4.
Memiliki kemampuan berorganisasi
yang baik dan beretika dalam meningkatkan kemampuan, baik internal maupun ekseternal dalam rangka
peningkatan daya saing dan produksi
|
1.
Beritikad untuk berusaha dengan
sistem ekonomi syariah
2.
Berkomitmen
untuk membantu pelaku kemitraan dalam membangun kapasitasnya untuk menjadi
wirausaha yang mandiri
3.
Memiliki teknologi dan sistim manajemen yang
baik dan amanah
4.
Menyusun rencana dan perjanjian kemitraan yang beretika
5.
Telah Berbadan hukum dan memiliki kinerja usaha yang stabil dan atau progresif
|
Sumber:
Penulis
•
Dengan
pola kemitraan yang baik selama proses yang dijalankan akan mendorong
wirausahawan (mustahiq), dapat
menjadi wirausahwan yang mandiri dan mampu berekspansi menuju usaha yang lebih
besar lagi.
Akhirnya,
dengan bauran dana ZIS yang diterjemahkan dalam tahapan diatas, diharapkan
dapat terbentuk muzakki-muzakki baru dari mustahiq yang diberdayakan, sehingga
secara akumulatif dapat membantu dua program pemerintah sekaligus yaitu
mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan jumlah wirausahawan. Dengan demikian
bauran dana ZIS adalah potensi yang strategis dalam mendukung terwujudnya
program-program pemerintah tersebut..
KESIMPULAN
1.
Zakat, infak, shadaqah (ZIS) yang merupakan instrumen
fiskal dalam sistem ekonomi Islam, mempunyai potensi dalam mengentaskan permasalahan
kemiskinan. Melalui fungsinya
sebagai instrumen kesejahteraan dan kewirausahaan, dana ZIS dapat menjadi program
untuk mengentaskan kemiskinan, dan mencetak wirausahawan-wirausahawan baru.
2.
Zakat diperuntukkan hanya untuk
delapan ashnaf, yaitu fakir,
miskin, amil zakat, muallaf, riqob, ghorim, fi sabilillah,
dan ibnu sabil. Syarat pengeluaran
zakat adalah telah mencapai nishab dan haul. Zakat sebaiknya diprioritaskan
untuk peningkatan kesejahteraan melalui upaya pemenuhan
kebutuhan dasar (bacic needs)
3.
Infak dan
sedekah, sifatnya yang sukarela dan tidak ada batasan
(nishab) dan haul, serta penerimanya yang lebih luas. untuk membantu dana zakat dalam peningkatan kewirausahaan penduduk fakir dan miskin.
4.
Menghimbau
dan mengajak peran serta masyarakat, pengusaha, LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), dan akademisi untuk berperan aktif dalam
peningkatan kesejahteraan dan menumbuhkan
kewirausahaan penduduk fakir dan miskin baik dalam hal penghimpunan dana ZIS dan kegiatan pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Al Abbas Kholid bin Syamsudi,2003,Syarat Wajib dan Cara Mengeluarkan Zakat,dalam
Majalah As-Sunnah,Edisi 06/VII/1424 H:Solo
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf,2004,Golongan Yang Berhak Menerima Zakat,dalam
Majalah Al-Furqon,Edisi 09 Th III/Rabiulawal Tsani 1425H:Gresik
Al-Albani,Muhammad Nasirudin,2002,Islam Mengentaskan Kemiskinan:Tinjauan Kritis, Analisis Tentang Hadits
Ekonomi,Pustaka Azzam:Jakarta
Ash-Shawi,Shalah dan Abdullah Al-Mushlih,2004,Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq:Jakarta
Ash-Shiddieqy,Teungku Muhammad,1999,Pedoman Zakat,Pustaka Rizki Putra:Semarang
Antonio,Muhammad Syafi’i,2001,Bank Syariah Dari Teori ke Praktik,Gema Insani Press:Jakarta
Hafidhudin,Didin,2002,Zakat
Dalam Perekonomian Modern,Gema Insani Press:Jakarta
Ibnu Katsir,2003,Tafsir
Ibnu Katsir (peneliti:Dr.Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq
Al-Sheikh;penterjemah:M.Abdul Ghofar E.M),Pustaka Imam Asy-Syafi’i:Bogor
Kemendiknas,2010,Modul 2: Konsep Dasar Kewirausahaan:
Jakarta
Menggali Potensi
Zakat,dalam Jurnal Nasional, 5 Agustus 2011, http://www.jurnas.com/
halaman/5/ 2011-08-05/178736
Nababan,T.Sihol,2004, Bunga Rampai Ekonomika Pembangunan,(editor:T.Sihol
Nababan dan Agung Riyandi),Program Doktor Ilmu Ekonomi,Universitas
Diponegoro:Semarang
Presiden “Kelola
Zakat Secara Profesional”,dalam Pikiran Rakyat,27
Oktober 2005
Syaikh As-Sayyid Sabiq,2005,Panduan Zakat:Menurut Al-Quran dan As-Sunnah,Pustaka Ibnu
Katsir:Bogor
Yusanto,Muhammad Ismail dan
Muhammad Karebet Widjajakusuma,2002, Mengagas
Bisnis Islami,Gema Insani Press:Jakarta
[1] Sebuah
kesalahan yang beredar di Indonesia dan perlu diluruskan bahwa dana zakat tidak
bisa digunakan sebagai modal pembiayaan al-Qardh,
berdasar kriteria yang ketat dari hasil muktamar Lembaga
Pengkajian Fiqih Islam di Yordania, 11-16 Oktober 1986