Laman

PERAN STRATEGIS KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI BAGI SEORANG TENAGA PENJUAL DALAM NEGOSIASI BISNIS


PERAN STRATEGIS KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI BAGI SEORANG TENAGA PENJUAL DALAM NEGOSIASI BISNIS

STRATEGIC ROLE OF COMMUNICATION SKILL FOR A SALES PERSON IN BUSINESS HEGOTATION


Lusia M. Silitonga
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Semarang


ABSTRACT

This article is a preliminary concept of a research about a success achievement construction of a salesman in any negotiation process. A study on negotiation process attracts some researchers of marketing management, especially sales, because of its potency to explain the performance of salesman which can be explored and improved continuously. The available literature focuses on the importance of personal interaction in creating consumer purchasing activities. The implementation of communication in the negotiation process which is cooperative and responsive to consumer’s need and preference becomes valuable research. For service industry, ‘first impression’ or moment of truth is absolutely important. Thus, a key to a salesman’s negotiation is good communication and customer oriented skills.  Therefore, In the future, this article would be a valuable standpoint to perform continual and deeper study on it.

Key words: salesman, negotiation, communication skill



Dunia Usaha di Indonesia berkembang dengan pesat, hal ini disebabkan oleh beberapa kebijakan ekonomi yang diluncurkan Pemerintah sejak tahun 1983 dalam bentuk deregulasi dan debirokrasi. Lebih lagi di era global perdagangan bebas AFTA di tahun 2003 dan APEC mulai tahun 2020 yang memberikan kesempatan produsen untuk memasarkan secara bebas. Apalagi kini telah berlangsung dengan penerapan AFTA (Asian Free Trade Area) 2003 dan di awal tahun 2010 di warnai dengan adanya perdagangan bebas antara negara ASEAN dan China, atau dikenal dengan istilah ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama, karena mau atau tidak mau, siap atau tidak siap kita harus mengikuti era tersebut. Terlebih fakta menunjukkan bahwa dasarnya produk perusahaan dan produk pesaing adalah sama, sehingga produk yang dihasilkan masing-masing perusahaan dapat saling mengantikan (subtitusi), tapi ada pula yang membedakan antara masing-masing produk yaitu pendekatan seorang tenaga penjual pada pelanggan. Karena setiap tenaga penjual adalah manusia yang memiliki sifat dan karakteristik  yang berbeda satu dengan yang lain (Bensi 2004).
Literatur tentang jasa menekankan pentingnya interaksi personal dalam menciptakan aktivitas pembelian oleh konsumen. Pada industri jasa sebuah kesan pertama atau moment of truth menjadi penting dan sangat menentukan. Karena pelanggan telah mempertimbangkan segala aspek di saat pertama kali melakukan interaksi secara langsung dengan tenaga penjual sebagai wakil perusahaan. Pentingnya kesan pertama dengan pelanggan, maka seorang tenaga penjual membutuhkan sebuah kemampuan untuk berinteraksi dan menyesuaikan diri mereka dengan situasi penjualan yang terjadi (Ron D'Andrea, 2005). Studi Shoemaker dan Johlke (2002) berargumen bahwa keberhasilan seorang tenaga penjual pada pertemuan pertama dengan pelanggan diukur dari kemampuan berkomunikasi yang dimiliki oleh tenaga penjual. Bagi tenaga penjual kemampuan berkomunikasi yang dimiliki oleh mereka berfungsi mencari dan mengelola informasi serta memberikan presentasi yang baik atas permasalahaan, membuka situasi dan kebutuhan pelanggan.
Negosiasi merupakan suatu kesuksesan dalam hubungan pembeli dan penjual. Pada sisi lain negosiasi dapat meningkatkan keuntungan perusahaan secara keseluruhan. Negosiasi yang baik dinilai dari bagaimana seorang tenaga penjual lakukan proses penutupan (closing) dengan memperhatikan aspek pelanggan?  Bagaimana negosiasi mampu mengekspresikan keperdualian tenaga penjual  atas harapan para pelanggan? Karena nilai tertinggi dalam negosiasi tersebut adalah perasaan senang pelanggan akan hasil negosiasi. Namun semua itu tidak akan mungkin terwujud jika mereka mengabaikan pentingnya kemampuan berkomunikasi. Komunikasi menjadi sangat penting manakala tenaga penjual menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dalam negosiasi mereka (Mumel et al, 2007).
Pada penelitian manajemen tenaga penjual, telah mempertimbangkan perhatian khususnya pada konstruk komunikasi dengan negosiasi berorientasi pelanggan, yang mengacu pada serangkaian kenyataan yang mengkaitkan proses closing dalam tahapan penjualan produk pada pelanggan. Hal ini merujuk pada penciptaan ketertarikan konsumen untuk membuat komitmen pembelian telah lama diselidiki oleh para peneliti. Apa yang tampak telah terjadi pada banyak bisnis, dan bahkan seluruh industri,  yang terkadang fatal, yaitu sebuah proses closing yang memaksa atau membuat pelanggan merasa tidak puas dengan hasil negosiasi. Di banyak bisnis, kelemahan paling serius adalah hilangnya pelanggan. Sebagai tambahan, orientasi pada ketertarikan dan keputusan pembelian konsumen mengacu pada praktek komunikasi tenaga penjual terhadap konsumen. Penerapan komunikasi yang baik pada proses negosiasi akah menciptakan kesan yang koperatif dan responsif dengan kebutuhan dan preferensi terbaru pelanggan. Itulah mengapa, setiap tenaga penjual wajib berfokus pada kemampuan komunikasi meraka. Ini berarti komunikasi dapat membantu penciptaan value tenaga penjual dimata konsumen (Rentz et.al.,2002).
Negosiasi yang koperatif dan responsif adalah moderating komunikasi dua arah antara tenaga penjual dengan pelanggan. Dan akan lebih berhasil lagi apabila didukung oleh media strategi yang konstruktif. Pilihan strategi tersebut adalah kemampuan berkomunikasi seorang tenaga penjual. Namun yang muncul dari pemikiran beberapa peneliti seperti Bensi (2004); Sulistiyawati dan Soesanto (2003); Pullins et.al.,(2000) dan Rentz et.al., (2002) adalah bagaimana mengkombinasikan dan memformulasikan kemampuan berkomunikasi seorang tenaga penjual menjadi kunci sukses negosiasi yang koperatif dan responsif, merupakan sebuah pertanyaan yang masih harus terus dicarikan sebuah jawaban yang tepat.

II TELAAH PUSTAKA

Kemampuan Berkomunikasi Tenaga Penjual

Kemampuan berkomunikasi seorang tenaga penjual merupakan strategi penting yang harus dipilih perusahaan dan tenaga penjual dalam menyusun strategi penjualan. Karena poin penting dari keberadaan kemampuan berkomunikasi adalah memberikan informasi yang sangat dibutuhkan oleh tenaga penjual agar dapat memyesuaikan dan mengendalikan situasi yang sedang dihadap dengan langkah dan pendekatan yang sesuai. Shoemaker dan Johlke (2002) memandang bahwa saorang tenaga penjual tidak hanya cukup memiliki kompetensi yang berisikan kemampuan menjual dan pengetahuan produk yang memadai saja. Karena seorang tenaga penjual akan berhadapan dengan situasi yang sering kali tidak sesuai dengan harapan mereka. Kemampuan berkomunikasi akan membuka peluang dari setiap kesempitan dan kondisi yang tidak konduksif yang akan dihadapi seorang tenaga penjual. Sebuah pertanyaan sederhana yang diajukan oleh seorang tenaga penjual seperti “ apa yang anda (pelanggan) butuhkan ?” maka pelanggan akan membuka diri mereka. Setiap informasi yang meluncur dari mulut pelanggan adalah informasi yang penting.
Kemampuan berkomunikasi yang dimiliki dan diaplikasikan oleh seorang tenaga penjual dalam setiap aktivitas dan perilaku penjualan mereka akan menghadirikan nilai (value) dalam benak pelanggan. Ketika nilai telah terbentuk maka kinerja tenaga penjual akan meningkat sejalan peningkatan nilai tersebut dalam benak pelanggan mereka. Sebuah asumsi yang dibentuk dari kemampuan berkomunikasi adalah sikap seorang tenaga penjual yang lebih empati dengan kondisi pelanggan saat itu. Ketika seorang tenaga penjual telah mampu menciptakan nilai empati yaitu konsep nilai yang mengambarkan betapa perusahaan dan tenaga penjualnya  memposisikan pelanggan sebagai prioritas tertinggi, maka demikan pula dengan pelanggan akan memposisikan produk perusahaan sebagai prioritas mereka ketika melakukan aktivitas dan perilaku pembelian (Johlke 2006).
Proses closing yang baik harus didukung oleh kemampuan dan kemauan tenaga penjual untuk berkomunikasi. Ketidakadanya informasi yang bermanfaat bagaimana mungkin tenaga penjual tahu akan dapat mengendalikan situasi penjualan. Dan tanpa adanya sebuah penelaah yang matang dari kedewasaan untuk mengkomunikasikan akan keluhan, harapan dan kebutuhan pelanggan. Tanpa kemampuan berkomunikasi yang baik, bagaimana mungkin tenaga penjual tahu produk yang tepat atau disukai pelanggan (Bensi 2004; Pullins et.al., 2000; Sulistiyawati dan Soesanto 2003).
Kemampuan berkomunikasi merupakan kunci sukses akan akan lebih membawa seorang tenaga penjual mencapai puncak prestasi lebih tinggi. Sebaliknya ketidakpahaman akan peran penting aktivitas dan perilaku berkomunikasi akan menghambat proses negosiasi atau closing. Bagi Sulistiyawati dan Soesanto (2003) Kemampuan berkomunikasi memberi dampak positip dalam mencapai kinerja baik hasil dan perilaku, melalui proses berkomunikasi. Karena dengan berkomunikasi seorang tenaga penjual dapat menyimpulkan taktik negosiasi yang tepat bagi pelanggan.
Dengan menguatkan konsep pemasaran berorientasi pelanggan, maka aktivitas dan taktik penjualan diharapkan dapat menggerakkan hubungan pelanggan dan perusahaan semakin baik. Memahami fenomena harapan dan kebutuhan pelanggan dengan benar membutuhkan pembukaan sumbat hubungan tersebut. Bensi (2004); Agustina dan Ferdinand (2004), merekomendasikan kemampuan berkomunikasi secara personal, dengan merujuk pada aktivitas tenaga penjual untuk mencari informasi akan motif pelanggan. Kemampuan berkomunikasi secara personal tersebut diharapkan akan membuka kesejangan komunikasi dan hubungan personal antara penjual dan pembeli. Sehingga informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun pendekatan dan taktik negosiasi yang koperatif dan responsif.
Negosiasi berorientasi pelanggan merupakan sebuah sumber keuntungan bagi perusahaan dan tenaga penjual dalam membangun hubungan atas interaksi penjual dan pembeli. Namun kondisi tersebut akan berbeda dengan tanpa adanya upaya dan kemampuan untuk berkomunikasi. Karena proses interaksi tidak akan berjalan dengan baik apabila kedua belah pihak tidak saling mengenal karakteristik masing-masing, khususnya bagi tenaga penjual. Apa yang bakal terjadi apabila seorang tenaga penjual tidak memiliki pengetahuan dan informasi akan karakteristik pelanggan yang akan dihadapi. Apabila disusun sebuah perbandingan akan rasio keberhasilan dalam proses negosiasi antar pihak tenaga penjual yang tidak memiliki pengetahuan dan informasi tentang pelanggan dengan pihak tenaga penjual yang sangat mengerti tentang pelanggan mereka. Maka menurut Wimsatt dan Calantone (2000) pihak yang paling mengenal pelanggan adalah pihak yang paling berhasil dalam setiap proses negosiasi mereka. Karena pelanggan akan lebih senang dan tertarik melakukan transaksi dengan orang (tenaga penjual) yang telah mengenal mereka dan pelanggan mengenal baik tenaga penjual tersebut (Hamilton 2000).

Negosiasi Berorientasi Pelanggan

Penjualan produk dan proses negosiasi merupakan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya berjalan beriringan. Pada prinsipnya terdapat tiga rangkaian aktivitas penjualan yaitu perkenalan dan pendekatan tenaga penjual pada pelanggan (prospek), kemudian proses penyajian dan penjelasan tentang produk knowledge dan yang terakhir adalah proses negosiasi (closing). Produk tidak akan bisa dipasar jika konsumen tidak menyukai proses negosiasi. Sebaliknya produk memberikan kepuasan yang diharapkan oleh konsumen apabila didukung dengan proses negosiasi yang  muncul sebagai dimensi lain dari produk itu sendiri. Jadi, proses negosiasi yang koperatif dan responsif seharusnya dikelola dengan menjaga konsistensi dengan melindungi hubungan penjual dengan pembeli. Ketika membuat sebuah keputusan tentang strategi penjualan, para tenaga penjual harus mempertimbangkan dampak potensial proses negosiasi atau closing (penutupan) bagi pelanggan (Weathers et al 2007).
Negosiasi merupakan salah satu aspek penting dalam aktivitas tenaga penjual. memahami bagaimana seharusnya bernegosiasi dan proses negosiasi yang sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan, sebenarnya merupakan langkah strategis yang pada akhirnya melindungi hubungan baik tenaga penjual dengan pelanggan. Negosiasi pada dasarnya merupakan sebuah proses yang mengambarkan tentang apa yang seseorang inginkan dari orang lain. Kekuatan utama dalam negosiasi adalah komunikasi, baik dengan mempergunakan sifat pendekatan komunikasi yang persuasif maupun yang agresif. Sebuah komunikasi yang baik didalam sebuah aktivitas dan proses closing sebuah aktivitas penjualan, ditentukan oleh intensitas dan bentuk format komunikasi itu sendiri. Negosiasi akan berhasil apabila seorang tenaga penjual menjadi sosok yang lebih komunikatif dengan para pelanggannya. Sosok yang komunikatif yang dijabarkan dari sebuah sikap, kemauan dan kemampuan untuk bersedia dengan tulus berkomunikasi setiap keluhan dan harapan pelanggan atas kinerja individu maupun perusahaan. Bentuk penjabaran lain dari sosok yang komunikatif adalah kemampuan dan kemauan seorang tenaga penjual untuk berkomunikasi pada pelanggan tetang apa yang menjadi kebutuhan dan harapan pelanggan pada mereka (Fisher et.al.,1991; dalam Pullins et.al.,2000).
Aktivitas dan perilaku negosiasi yang koperatif dan responsif merupakan bentuk upaya mencari dan memecahkan kebuntuan (permasalahan) atau kesenjangan yang sering kali muncul dalam skema hubungan pelanggan dan perusahaan melalui aktivitas dan perilaku tenaga penjual. Sering kali fakta menunjukkan bahwa tidak banyak pelanggan yang dengan terbuka mau menjelaskan dan menyatakan apa yang menjadi harapan dan kebutuhan mereka. Dan kondisi ini tidak jarang menciptakan sebuah aktivitas dan perilaku seorang tenaga penjual untuk coba-coba (trial dan error) dalam melakukan pendekatan, presentasi dan penutupan penjual. Sementara bagi banyak pelanggan yang memutuskan pembelian mereka berdasarkan pada penilaian secara sekilas saat berkomunikasi dengan tenaga penjual. Pada saat negosiasi berlangsung seorang tenaga penjual membutuhkan informasi yang tepat yang digali dari komunikasi yang tenaga penjual lakukan. Karena hasil tersebut menjadi dasar penentuan teknik atau taktik closing yang tepat (Shoemaker dan Johlke 2002).
Mampu berkomunikasi merupakan instrumen penting bagi aplikasi teknik atau taktik closing yang sukses. Namun mampu berkomunikasi saja belum cukup untuk dapat meraih sukses kinerja berbasis teknik atau taktik closing yang koperatif. Apa guna yang hasil dari jawaban dari responden atas serangkaian pertanyaan yang diajukan oleh seorang tenaga penjual. Apabila hasil atau jawaban mereka tidak didengar dengan baik dan kemudian ditelaah apa kepentingan dari jawaban pelanggan atas produk yang tenaga penjual tawarkan. Menjadi pembicara yang baik adalah sebuah proses yang dapat dipelajari dengan latihan terus menerus. Namun menjadi pendengar yang baik adalah proses yang tidak cukup hanya dengan dipelajari dan dilatih terus menerus. Menjadi pendengar yang baik adalah lahir dari dalam diri seorang tenaga penjual. Pendengar yang baik adalah sebuah proses kedewasaan emosional dan kecerdasan berpikir, karena mengendalikan emosional untuk tidak berbicara dan menghargai ketika orang lain berbicara dan apa yang ia bicarakan. Seorang pelanggan akan merasa senang apa bila apa yang menjadi harapan dan keinginan mereka didengar dan kemudian diwujudkan oleh tenaga penjual dan perusahaan melalui produk mereka. Kepuasan bagi pelanggan adalah kesediaan untuk membeli setiap produk perusahaan, terlebih muncul sebuah persepsi dimana produk tersebut lahir dari masukan pelanggan. Bila merujuk pada konsep pemasaran modern maka tujuan dari aktivitas bisnis perusahaan baik dari mana mereka harus mengawali dan mengakhiri adalah pelanggan (Schmelz dan Sojka 2003; Ramsey dan Sohi 1997) .

III PENUTUP
Pada penelitian manajemen tenaga penjual, telah mempertimbangkan perhatian khususnya pada kontsruk negosiasi berorientasi pelanggan, yang mengacu pada serangkaian kenyataan yang mengkaitkan proses closing dalam tahapan penjualan. Hal ini merujuk pada penciptaan ketertarikan konsumen untuk membuat komitmen pembelian telah lama diselidiki oleh para peneliti. Apa yang tampak telah terjadi pada banyak bisnis, dan bahkan seluruh industri,  yang terkadang fatal, yaitu sebuah proses closing yang memaksa atau membuat pelanggan merasa tidak puas dengan hasil negosiasi.
Negosiasi yang koperatif dan responsif adalah moderating komunikasi dua arah antara tenaga penjual dengan pelanggan. Penerapan proses negosiasi yang koperatif dan responsif dengan kebutuhan dan preferensi pelanggan adalah penting. Dan akan lebih berhasil lagi apabila didukung oleh media strategi yang konstruktif. Pilihan strategi tersebut adalah kemampuan berkomunikasi seorang tenaga penjual.
Kemampuan berkomunikasi merupakan instrumen penting bagi aplikasi teknik atau taktik closing yang sukses. Namun mampu berkomunikasi saja belum cukup untuk dapat meraih sukses kinerja berbasis teknik atau taktik closing yang koperatif. Di banyak bisnis, kelemahan paling serius adalah hilangnya customer karena proses negosiasi yang tidak koperatif dan responsif dengan kebutuhan dan preferensi terbaru customer. Penerapan proses negosiasi yang koperatif dan responsif dengan kebutuhan dan preferensi pelanggan adalah salah satu cara tenaga penjual pemenuhan kebutuhan konsumen lebih menyeluruh dengan menyediakan nilai tambahan bagi konsumen.

DAFTAR REFERENSI
Agustina Asatuan dan Augusty Ferdinand (2004), “Studi mengenai orientasi pengelolaan tenaga penjualan” Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Volume III, Nomor 1p. 1-22
Bensi, Dini Alifia Febrio(2004) “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Berkomunikasi Terhadap Kinerja Tenaga Penjual”, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Vol. III, No. 2, p.149-164
Hamilton, Peter M., (2000), “ Attaining agreement: a rhetorical analysis of an NHS negotiation ”, The International Journal of Public Sector Management, Vol.13, p.285-300
Mark C. Johlke (2006), “Sales presentation skills and salesperson job Performance “, Journal of Business & Industrial Marketing, Vol. 21/5 (311–319
Mumel, Damijan., Nina Hocevar, and., Boris Snoj, (2007), “How Marketing Communications Correlates With Business Performance  “,  Journal of Applied Business Research, Volume 23, Number 2 p. 83-91
Pullinns, Ellen Bolman., Curtis P. Hougtvedt., Peter R. Dickon., Leslie M. Fine., and., Roy J. Lewicki., (2000), “ Individual differences in intrinsic motivation and the use of cooperative negotiation tactics “, Journal of Business & Industrial Marketing, Vol.15 ,p.466-478
Ramsey, Rosemary and Ravipreet S. Sohi (1997), “ Listening to Your Customers: The Impact of Perceived Salesperson Listening Behavior on Relationship Outcomes “, Journal of the Academy of Marketing Science,  Vol.25, No. 2, p.127-137
Rentz, Joseph O., C David Shepherd, Armen Taschian, Pratibha A. Dabholkar, and Robert T Ladd, ( 2002) “A Measure of Selling Skill: Scale Development and Validation”, Journal of Personal Selling and Sales Management, Vol. XXII, No. 1 (Winter), p.13-21
Ron D'Andrea (2005) “Executing profitable sales negotiations: selling value, not price “, Industrial and Commercial Training, Vol. 37,No. 1, pg. 18-24
Schment, Dawn R Deeter., and., Jane Z Sojka., (2003), “ Developing effective salespeople: exploring the link between emotional intelligence and sales performance “, The international Journal of Organizational Analysis, Vol.11,p.211-220.
Shoemaker, Mary A. and., Mark C. Johlke  (2002) “An Examination of The Antecedents of A Crucial Selling Skill: Asking Questions”, Journal of Managerial Issues, Vol. XIV, No. 1, p.118-131
Sulistiyawati, Erika., dan., Harry Soesanto (2003), “ Studi mengenai perilaku penyesuaian diri untuk meningkatkan kinerja penjualan (Studi terhadap tenaga penjual pada industri asuransi di Kota Semarang )“, Jurnal Sains Pemasaran Indonesia, Vol. II, No. 2, p.181-196
Wimsatt, Alma Mintu., and., Roger J. Calantone (2000), “ Crossing the border: testing a negotiation model among Canadian exporters “Journal of Business & Industrial Marketing, Vol.15 ,p.340-353