Laman

PENERAPAN MANAJEMEN BIAYA BERORIENTASI LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI RAMAH LINGKUNGAN DAN MENCEGAH PENCEMARAN INDUSTRI


PENERAPAN MANAJEMEN BIAYA BERORIENTASI LINGKUNGAN UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI RAMAH LINGKUNGAN DAN MENCEGAH PENCEMARAN INDUSTRI

THE IMPLEMENTATION OF ENVIRONMENT ORIENTED COST MANAGEMENT TO INCREASE EFFICIENCY OF ENVIRONMENTALLY HARMLESS ENERGY ADN TO PREVENT INDUSTRIAL POLLUTION

Staf pengajar Jurusan Manajemen Universitas Muria Kudus
Gondang Manis, Bae Kudus

ABSTRACT
Environment oriented cost management constitutes a strategy which combines concepts of economic efficiency based on efficiency principles in the use of natural resources.  This kind of management can mean a strategy to reslut in a certain product by good performance, i.e by consuming minimumm energy adn natural resources.  In business perspective, this kind of management is regarded as business strategy with added value because of minimum use of natural resources and that of little waste and dirty environment.  The management is aimed at minimizing environmental impact per unit produced and consumed.  By minimizing resources for a product and providing better services, the business is profitable for for its competitiveness.  Operationallly, theri management employs GHK (Good HouseKeeping) and EoCM (environment Oriented Cost Management), resulting in the more efficient product outcome, i.e energy, wates as well as raw material ranging from 10% to 30%. 
Keywords:  environment oriented cost management, energy, pollution.  



PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan industri maka akan berdampak positif bagi kemajuan yang membawa peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Namun demikian limbah yang dihasilkan dari proses produksi akan berdampak negatip bagi lingkungan apabila proses produksi tidak ramah lingkungan.
Beberapa industri yang hampir sebagian besar kurang memperhatikan masalah limbah yang dihasilkan yang berupa limbah cair, limbah padat maupun gas, yang sangat berpotensi mencemari lingkungan dan dapat berdampak secara langsung terhadap kesehatan masyarakat. Disisi lain industri juga kurang memperhatikan tata letak peralatan, layout ruang produksi penggunaan bahan baku, air dan energi yang tidak terukur yang menambah biaya produksi. Melihat kondisi yang demikian, maka penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan akan sangat tepat dan efektif untuk diterapkan di industri-industri dengan tujuan dapat mengatasi permasalahan yang timbul dan diakibatkan oleh proses produksi (Anonim, 2008)..
Manajemen biaya berorientasi lingkungan menurut Kamus Lingkungan Hidup Dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia didefinisikan sebagai suatu konsep efisiensi yang memasukkan aspek sumber daya alam dan energi atau suatu proses produksi yang meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta dampak lingkungan per unit produk.
Manajemen biaya berorientasi lingkungan menurut The Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation dan Nuclear safety (2002) didefinisikan sebagai rasio antara nilai tambah yang diperoleh Dari sisi ekonomi (monetary) dengan nilai tambah yang diperoleh dari sisi fisik (ecological).
Manajemen biaya berorientasi lingkungan merupakan strategi yang menggabungkan konsep efisiensi ekonomi berdasarkan prinsip efisiensi penggunaan sumber daya alam. Manajemen biaya berorientasi lingkungan dapat diartikan sebagai suatu strategi yang menghasilkan suatu produk dengan kinerja yang lebih baik, dengan menggunakan sedikit energi dan sumber daya alam. Dalam bisnis, Manajemen biaya berorientasi lingkungan dapat dikatakan sebagai strategi bisnis yang mempunyai nilai lebih karena sedikit menggunakan sumber daya alam serta mengurangi jumlah limbah dan pencemaran lingkungan.
Tujuan Manajemen biaya berorientasi lingkungan adalah untuk mengurangi ‘dampak lingkungan per unit yang diproduksi dan dikonsumsi’. Dengan mengurangi sumber daya yang diperlukan bagi terbentuknya produk serta pelayanan yang lebih baik, maka bisnis dapat mencapai keuntungan karena mempunyai daya saing.
Konsep Manajemen biaya berorientasi lingkungan pertama kali diperkenalkan pada tahun 1992 oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam publikasinya “changing Course”. WBCSD telah mengidentifikasi adanya tujuh faktor kunci dalam Manajemen biaya berorientasi lingkungan, yaitu:
1.      Mengurangi jumlah penggunaan bahan
2.      Mengurangi jumlah penggunaan energi
3.      Mengurangi pencemaran
4.      Mempebesar daur ulang bahan
5.      Memaksimalkan penggunaan SDA yang dapat diperbaruhi.
6.      Memperpanjang umur pakai produk
7.      Meningkatkan intensitas pelayanan

Untuk proses, Manajemen biaya berorientasi lingkungan mencakup upaya konservasi bahan baku dan energi, menghindari pemakaian bahan berbahaya & beracun (B3), mengurangi jumlah dan toksisitas semua limbah dan emisi yang dikeluarkan sebelum meninggalkan proses.
Untuk produk, Manajemen biaya berorientasi lingkungan memfokuskan pada upaya pengurangan dampak di keseluruhan daur hidup produk, mulai dari ekstraksi bahan baku dan air sampai pembuangan akhir setelah produk tidak digunakan.
Untuk jasa, Manajemen biaya berorientasi lingkungan menitikberatkan pada upaya mengintegrasikan aspek lingkungan mulai sejak perancangan sampai dengan pemberian jasa misalnya dalam hal rancangan dalam kegiatan transportasi dari produk serta upaya penerapan prinsip 5R yaitu Rethink, Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery diseluruh tahap kegiatannya.
Manajemen biaya berorientasi lingkungan menuntut perbaikan berkelanjutan tidak hanya dalam hal efisiensi dan substitusi bahan dengan menggunakan perangkat teknologi ataupun pelaksanaan praktek-praktek ideal, namun juga membutuhkan dukungan manajerial dan kebijakan. Upaya Manajemen biaya berorientasi lingkungan memerlukan adanya perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku serta penerapan know-how, dan juga teknologi. Penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dari kegiatan yang tidak memerlukan biaya sampai kegiatan yang memerlukan investasi tinggi (Ginting, 2003).
Secara garis besar konsep Manajemen biaya berorientasi lingkungan melibatkan beberapa faktor, yaitu
·               teknologi, yang meliputi disain produk (eco product design) dan teknologi proses
·               sistem manajemen, yang meliputi sistem pembelian ramah lingkungan (green purchasing systems) dan manajemen lingkungan
·               sumber daya manusia
·               Kondisi operasi yang sedang berlangsung

Keluaran Bukan Produk (KBP)
Pemahaman keluaran bukan produk (KBP) atau Non Product Output (NPO) merupakan langkah awal dalam melakukan analisis sebelum menerapkan konsep Manajemen biaya berorientasi lingkungan.
Keluaran Bukan Produk (KBP) atau Non Product Output (NPO) didefinisikan sebagai seluruh materi, energi, dan air yang digunakan dalam proses produksi namun tidak terkandung dalam produk akhir (Hilman, 2003).
Bentuk KBP dapat didefinisikan antara lain sebagai berikut:
a.       Bahan baku yang kurang berkualitas
b.      Barang jadi yang ditolak, diluar spesifikasi produk (semua tipe)
c.       Pemrosesan kembali (reprocessing)
d.      Limbah padat (beracun, tidak beracun)
Limbah cair (jumlah dari kontaminan, keseluruhan air yang tidak terkandung dalam produk final)
e.       Energi (Tidak terkandung dalam produk akhir, seperti uap, listrik, oli, diesel, dll)
f.       Emisi (termasuk kebisingan dan bau)
g.      Kehilangan dalam penyimpanan
h.      Kerugian pada saat penanganan dan transportasi (internal maupun eksternal)
i.        Pengemasan barang
j.        Klaim pelanggan dan trade returns
k.      Kerugian karena kurangnya perawatan
l.        Kerugian karena permasalahan kesehatan dan lingkungan
Total Biaya KBP merupakan penjumlahan biaya KBP dan input, biaya KBP dari proses produksi, dan biaya KBP Dari output. Secara umum, total biaya KBP berkisar antara 10-30% dari  total biaya produksi. Dalam perhitungan KBP terdapat beberapa catatan, yaitu:
a.       Lebih baik perkiraan secara kasar yang benar dari pada dihitung teliti namun salah
b.      Pikirkan apa yang akan direduksi, bila KBP dikurangi
c.       Ada kemungkinan-kemungkinan berbeda dalam mengalokasikan biaya KBP
d.      Hindari perhitungan Ganda
e.       Tidak perlu berlebihan dalam memperkirakan penghematan
Dengan menganalisa masukan dan keluaran proses produksi secara terperinci, usaha kecil dan menengah (UKM) mempunyai kesempatan untuk melihat lebih dekat terhadap proses produksi dan mengidentifikasi peluang lebih lanjut guna mengurangi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas.










                                                                                                           









Gambar 1. Konsep Keluaran Bukan Produk (KBP)



METODE PENELITIAN
      Metode penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan menggunakan cara-cara sebagai berikut :
1.      Good Housekeeping (GHK)
Good Housekeeping (tata kelola yang apik) berkaitan dengan sejumlah langkah praktis berdasarkan pertimbangan umum yang dapat dilaksanakan oleh industri atas inisiatif sendiri untuk meningkatkan kinerja operasional, menyempurnakan prosedur pembelajaran dalam organisasi serta meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja. GHK memiliki tiga manfaat, yaitu:
a.       Penghematan Biaya
Penerapan GHK dapat membantu mewujudkan keuntungan yang lebih nyata bagi perusahaan
b.      Kinerja Lingkungan hidup lebih baik
Penerapan GHK dapat mengurangi dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh industri. Semakin efisien penggunaan sumber daya untuk proses produksi akan semakin kecil KBP yang dihasilkan. Sehingga kinerja lingkunganpun menjadi lebih baik. Dengan demikian, industri dapat memperbaiki citranya dan citra produknya terhadap para konsumen, supplier, masyarakat sekitar, dan otorita perundang-undangan (Karmisa, 2006).
c.       Pembelajaran dalam organisasi
Penerapan GHK memerlukan komunikasi internal, memotivasi karyawan, dan menetapkan tanggung jawab yang jelas. Semua aspek ini harus ditangani sehingga dapat menimbulkan manfaat organisasional yang membantu meningkatkan kinerja industri dalam jangka panjang.
Hal ini dapat dilihat sebagai segitiga dengan efek sinergisitas, yang memungkinkan industri memanfaatkan opsi “tiga keuntungan” atau “triple win” yang dapat menghasilkan proses perbaikan secara kontinu.



Gambar 2. Manfaat GHK berupa “Tiga Keuntungan”

Sumber : Eimer, 2002, hal 6

2.      Environment Oriented Cost Management (EoCM)
EoCM (Management Biaya Berorientasi Lingkungan) bertujuan untuk memberikan informasi dalam pengambilan keputusan untuk perbaikan kinerja lingkungan ekonomi dan organisasional. Perhitungan ekonomi dilakukan terhadap setiap langkah proses yang melibatkan materi, energi, tenaga kerja dan peralatan. Pada setiap langkah proses, biaya produksi dan besarnya KBP dihitung dalam kurun waktu 1 tahun. Dari hasil perhitungan tersebut akan teridentifikasi langkah proses yang mempunyai nilai KBP dan mnyebabkan dampak lingkungan yang tinggi (Mahfudh, 1999).
Pendekatan EoCM secara garis besar dilakukan enam tahap, yaitu:
a.       Mengidentifikasi langkah proses yang mempunyai KBP dan dampak lingkungan yang dominant
b.      Menganalisa pengaruh terkait dengan biaya resiko dan bahaya dampak lingkungan
c.       Menganalisa sebab timbulnya KBP
d.      Mengembangkan upaya-upaya alternative untuk meminimumkan KBP
e.       Melaksakan rencana aksi yang dipilih
f.       Mengintegrasikannya dalam struktur di perusahaan
Tata urutan penerapan Eko Efisiensi dalam Manajemen biaya  berorientasi lingkungan menyatakan siklus umum pengelolaan dengan 8 tahapan:
  1. identifikasi potensi optimalisasi
  2. analisis dampak
  3. analisis sebab
  4. alternatif langkah
  5. analisis manfaat
  6. rencana aksi
  7. penerapan rencana aksi
  8. evaluasi langkah










Gambar 3. Siklus penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan di industri
Cycle Diagram


























Untuk membantu mengidentifikasi potensi optimalisasi, melakukan analisis dampak maupun analisis sebab dapat digunakan daftar periksa yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan bahan, limbah, penyimpanan dan penanganan bahan, air dan air limbah, energi serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bekerja.

 














HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesuksesan penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan disuatu industri ditentukan juga oleh komponen non teknis yaitu:
·         Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan mutlak diperlukan dalam penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan karena awal dari adanya pembahasan pengembalian keputusan menyatakan hak penuh dari pemilik usaha dan diperlukan dibantu konsultan dalam hal ini dapat dari perguruan tinggi.
Keputusan yang diambil disesuaikan dengan besarnya skala prioritas suatu rencana aksi dan kemampuan finansial dari pemiik usaha.
·         Motivasi
Motivasi untuk terus melakukan perbaikan perlu dimiliki oleh para pemilik usaha didukung oleh karyawan. Sehingga penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan tidak dirasakan sebagai beban, namun sebagai suatu kebutuhan.
·         Komitmen
Pemilik usaha dan karyawan harus memiliki komitmen yang besar dalam mensuseskan suatu perubahan yang disepakati. Rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan membantu menumbuhkan komitmen dalam melakukan perbaikan.
·         Kebiasaaan
Perubahan-perubahan yang telah disepakati sebelumnya, perlu dijadikan suatu kebiasaan bagi karyawan. Pemilik usaha perlu melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap Manajemen biaya berorientasi lingkungan secara berkala untuk menjamin karyawan melakukan perubahan itu sebagai suatu kebiasaan.
·         Hubungan pemilik usaha dan karyawan
Kebersamaan antara pemilik usaha dan karyawan sangat diperlukan dalam menerapkan suatu perubahan, rasa kebersamaan dan komunikasi yang intensif antara kedua belah pihak akan memudahkan dalam penyampaian masukan dan kritik terhadap perubahan, sehingga bisa diambil tindakan yang lebih tepat. Tentunya hasil dan penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik usaha, namun juga karyawan dan masyarakat, baik dari segi finansial, lingkungan dan organisasional.



Gambar 5. Kunci Sukses Penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan
 

















Produksi Ramah Lingkungan Dan Peningkatan Efisiensi Serta Pengurangan Limbah
Produksi ramah lingkungan selalu berkaitan dengan kimia ramah lingkungan yang merupakan tingkatan dasar Manajemen biaya berorientasi lingkungan. Produksi ramah lingkungan berkaitan dengan penggantian bahan-bahan berbahaya dan beracun dengan bahan-bahan yang kurang / tidak berbahaya dan beracun yang digunakan dalam suatu proses. Pengertian ramah lingkungan selanjutnya dikembangkan pada sintesis, proses, dan pemakaian bahan kimia yang dapat mencegah atau mengurangi resiko terhadap manusia maupun lingkungan (Bishop, 2000).
Penelitian dan pengembangan kimia ramah lingkungan telah banyak dilakukan dan diterapkan di industri. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan-bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Peraturan Pemerintah No.18 jo 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan-bahan Berbahaya dan Beracun (B3), industri‑industri telah mengganti pemakaian B3 yang dilarang dengan bahan-bahan yang kurang berbahaya dan beracun.
Penerapan secara industri yang dilakukan oleh PT. Arto Metal dengan penggantian bahan baku senyawa sianida yang beracun dengan senyawa yang kurang beracun untuk pelapisan seng telah mengurangi biaya produksi dan limbah beracun. Masalah yang timbul dan mencegah limbah beracun. Penggantian bahan lain untuk pencegahan korosi logam yang semula menggunakan senyawa sodium bikhromat mengandung khrom valensi 6 (sangat beracun), dengan senyawa khrom valensi 3 yang kurang beracun dengan menambahkan sodium bisulfit (Ditjen IKM Deprind, 2005).
Pemakaian air yang berlebihan selain kurang efisien juga akan menimbulkan volume limbah yang banyak. Dengan tata kelola yang baik dapat dilakukan penghematan air untuk proses produksi secara keseluruhan di PT. Arto Metal. Pemakaian air yang semula sebanyak 16 L/kg produk elektroplating dapat diturunkan menjadi 14 L/kg produk (Ditjen IKM Deprind, 2006).
Penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan pada industri tahu Lestari Adiwerna, Tegal, telah menurunkan pemakaian air untuk membuat tahu dan mengurangi timbulan limbah. Pemakaian air berkurang dari 2150 L/kg kedelai dapat dihemat menjadi 750 L/100 kg kedelai dengan memperbaiki sistem proses produksi dan pelaksanaan tata kelola yang baik (Setyowati, 2008).
Industri batik Nadia Royani Pekalongan dapat mengurangi ceceran bahan pewarna 20% dengan memperbaiki tata kelola di industri batik tersebut. Demikian juga dengan pemakaian lilin yang berupa ceceran lilin sebanyak 30% dapat dikumpulkan dengan tata kelola produksi yang baik, demikian juga lilin hasil lorodan dapat diambil kembali sebanyak 25% dengan pembuatan koen yang merupakan bak penangkap lilin (Setyowati, 2008).
UNEP bekerja sama dengan SIDA (Swedish International Development Agency) melalui proyek "Reduksi emisi gas rumah kaca dari industri di Asia Pasifik" (Geriap) telah mengembangkan metode Manajemen biaya berorientasi lingkungan dan efisiensi energi. Efisiensi pemakaian energi dicapai melalui pengiritan konsumsi batu bara, solar, dan gas alam sebagai bahan bake industri serta penggunaan listrik untuk proses produksi. Pada salah satu industri semen telah dapat dilakukan penghematan listrik hingga 40 persen atau Rp 2,9 miliar lebih per tahun, sedangkan pada industri kertas penghematan dicapai untuk gas alam sebanyak 106.199 ton per tahun atau hampir Rp 3,3 miliar per tahun (Kompas, www.kompas.com, 2006).
Pada industri anodizing yang menerapkan Manajemen biaya berorientasi lingkungan rata-rata dapat menghemat energi listrik berkisar 20-50%. Demikian juga pada industri batik penghematan rata-rata mencapai 10% dengan melakukan berbagai pembenahan hasil audit energi. Penghematan energi listrik pada industri dapat dilakukan melalui audit energi, pemasangan kapasitor, dan menata kembali jaringan penghantar listrik (Setyowati, 2008).
Penerapan konsep dan strategi Manajemen biaya berorientasi lingkungan saat ini telah dilakukan tidak hanya pada sektor industri proses dan manufaktur, tetapi telah diterapkan pada berbagai sektor industri dan jasa lain. Beberapa penerapan pada sektor lain sering menggunakan istilah "eco" seperti eco­tourisme, eco-campus, eco-hotel, eco farm, eco-office. Beberapa Panduan Manajemen biaya berorientasi lingkungan pada sektor lain seperti hotel telah juga dikembangkan, sebagai contoh Buku Panduan Efisiensi Energi di Hotel terbitan Yayasan Pelangi [www.pelangi.co.id].
Dalam rangka menuju eco-city, beberapa kota besar di dunia telah pula menerapkan program Pencegahan Pencemaran untuk mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan kualitas air dan udara. Manajemen biaya berorientasi lingkungan juga diterapkan dan dikaitkan dengan sistem yang lain seperti Cara Berproduksi Yang Baik, HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk industri makanan, yang dipadukan dengan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001 serta Sistem Manajemen Keselamatan OHSAS 18001.
Keberhasilan penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan di industri berupa berkurangnya pemakaian air sehingga industri mempunyai kelebihan pasokan air, peningkatan efisiensi energi sehingga industri mempunyai daya yang berlebih yang masih dapat dimanfaatkan, adanya limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku, kapasitas instalasi pengolah air limbah (IPAL) dan insinerator berlebih karena adanya penurunan timbulan limbah cair maupun padat dapat dimanfaatkan oleh industri lainnya di suatu kawasan (Purwanto, 2005).
Kerjasama antar industri di suatu kawasan akan memberi manfaat yang jauh lebih besar daripada industri menerapkan Manajemen biaya berorientasi lingkungan secara sendiri-sendiri. Beberapa kerjasama dalam bentuk simbiose industri yang saling menguntungkan dapat dilakukan melalui :
-            pemanfaatan kelebihan pasokan air dan energi,
-            penyediaan instalasi pengolah limbah bagi industri lain,
-            pertukaran produk samping,
-            pemanfaatan limbah sebagai bahan baku bagi industri lain (waste to product),
-            pembentukan industri jasa reparasi peralatan,
-            pembentukan forum untuk saling tukar menukar informasi,
-            penelitian dan pengembangan.
Beberapa kawasan industri sudah mengarah ke eco-industrial estate, namun masih banyak kawasan industri yang hanya menyediakan lahan bagi pembangunan pabrik, tanpa memikirkan dan menyediakan utilitas bersama dan sistem pengelolaan lingkungan terpadu di suatu kawasan. Kawasan industri berwawasan lingkungan bukanlah sesuatu yang tidak dapat tercapai, namun dengan berdasar kepentingan bisnis dan keuntungan ekonomi dari pada pelaku industri di dalam kawasan yang saling berinteraksi akan dapat terbentuk menjadi kawasan-kawasan dan sentra industri yang berwawasan lingkungan (greening industrial estate).

KESIMPULAN
Manajemen biaya berorientasi lingkungan merupakan strategi pengelolaan yang memadukan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku, air dan energi sehingga memberi manfaat yang bersamaan untuk pencegahan dan pengurangan pencemaran industri. Pola pendekatan terpadu ini lebih menarik bagi kalangan industri karena industri mendapatkan manfaat ekonomi berupa keuntungan tambahan atau penghematan biaya produksi.
Konsep Manajemen biaya berorientasi lingkungan dapat diterapkan disektor industri proses dan manufaktur namun dapat juga diterapkan diberbagai sektor industri dan jasa lainnya. Keberhasilan penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan di sektor industri dimulai dari sosialisasi, demonstrasi keberhasilan program, dan pemberian insentik seperti penyediaan dana investasi bagi industri yang menerapkan Manajemen biaya berorientasi lingkungan. Keberhasilan di sektor industri dapat diperluas penerapannya untuk sektor-sektor lain seperti kantor, hotel, rumah makan, dan lebih luas lagi untuk kawasan industri menjadi suatu kawasan berwawasan lingkungan.
Pembentukan pusat-pusat kajian dan pengembangan Manajemen biaya berorientasi lingkungan di tingkat kota, kabupaten, dan propinsi yang masih sangat terbatas jumlahnya perlu segera direalisasikan, dalam rangka mendukung program-progam kegiatan efisiensi sumber daya dan pelestarian lingkungan dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan dari industri, Perguruan Tinggi, konsultan, dan lembaga-lembaga penelitian serta pemerintahan. Pusat-pusat pengembangan dapat melakukan sosialisasi, pelatihan, pendampingan, penyediaan informasi, dan pengembangan Manajemen biaya berorientasi lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Energy saver. http://www.femax.biz/electric-saver.php. Diakses pada tanggal 15 Januari 2008.
Ginting, Sabar. 2008. Pelaksnaan dan Keuntungan Penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan di Indonesia. Penerbit : Gajah Mada, Yogyakarta.
Hilman, Masnellyarti. 2008. Kebijakan Nasional Manajemen biaya berorientasi lingkungan. Penerbit : ITB Bandung, Bandung.
Karmisa Ardiputra dkk, Isa . 2006. Panduan Penerapan Manajemen biaya berorientasi lingkungan Industri Kecil Tahu. Penerbit : Pusat Produksi Bersih KLH, Jakarta.
Mahfudh, Imam. 2009. Manajemen biaya berorientasi lingkungan Wujud Industri Berwawasan Lingkungan. Ekolita. Edisi 5. Juli-Agustus 2009, hlm. 92-98
Setyowati, 2008. Ekoefisiensi pada Industri Tahu, DP2M, Jakarta.