Laman

NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN


NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN

Winarto1),
Mustika Widowati2)
1)Jurusan Administrasi Niaga
2)Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H.Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061


ABSTRAK
Keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan dijadikan  share value.  Berbagai model dikembangkan untuk membangun nilai menjadi sebuah budaya perusahaan yang dapat mendukung kinerja perusahaan. Model-model tersebut bisa jadi hanya sebagai bagian dari strategi perusahaan atau model yang disusun dengan kesadaran  dan keyakinan murni terhadap niali-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai spiritualitas nampaknya semakin menjadi kecenderungan sebagai nilai-nilai luhur yang dianut perusahaan untuk menjamin kinerja jangka panjangnya.

Kata kunci: Spiritualitas, Budaya, Kinerja

PENDAHULUAN
Perusahaan senantiasa dihadapkan oleh dinamika perubahan yang semakin lama intensitasnya semakin sulit diprediksikan. Perkembangan perubahan tersebut berasal dari faktor eksternal maupun dari dinamika internal perusahaan. Idealnya memang perusahaan harus mampu mengikuti perkembangan perubahan-perubahan yang terjadi dengan proaktif agar kinerja dapat tumbuh berkembang dalam jangka panjang.

Kinerja merupakan ukuran keberhasilan perusahaan. Indikator keberhasilan ini juga berkembang seiring dengan perubahan perkembangan yang terjadi. Tuntutan perubahan eksternal dan internal semakin memposisikan perusahaan untuk tidak lagi sekedar mengejar pemenuhan kinerja keuangan, namun semakin mengarah pada pemenuhan kinerja non keuangan. Proses pencapaian kinerja keuangan dan non keuangan juga semakin mendapat perhatian.

Bahkan Kaplan dan Norton dalam Mulyadi (2005) menyampaikan sebuah konsep balance score card, yang memberikan arahan pencapaian kinerja keuangan melalui pencapaian kinerja non keuangan. Dengan keempat sudut pandangnya (belajar dan bertumbuh, proses bisnis, pelanggan dan keuangan) konsep ini mampu memberikan pemahaman yang logis dan menyeluruh dalam memandang kinerja perusahaan. Filosofi yang terkandung dalam konsep ini juga telah mengakomodasi sumbangan proses dalam menghasilkan kinerja unggul, tidak lagi sekedar hasil akhir dari proses tersebut. Konsep ini terus berkembang dan telah digunakan sebagai panduan dalam pengelolaan perusahaan.

Dalam upaya menghasilkan kinerja unggul, pengelolaan sumber daya perusahaan harus diarahkan pada proses-proses kreatif untuk menjawab tantangan perkembangan internal dan eksternal. Proses pembelajaran organisasi menjadi organisasi yang kreatif sangat diperlukan. Hanya saja membangun perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajaran (knowledge organisation) diperlukan upaya keseriusan tinggi. Deshpande dan Webster (1989) dalam Slater dan Narver (1995) menyampaikan bahwa memaksimalkan kemampuan perusahaan untuk mempelajari pasar, menciptakan orientasi pasar baru merupakan tahap awal. Masih diperlukan syarat lagi untuk dapat mencapai hasil yang maksimal yakni harus dilengkapi semangat enterpreneurship dan iklim budaya perusahaan yang tepat. Iklim budaya perusahaan yang dimaksud adalah struktur, proses dan insentif untuk menjalankan nilai-nilai budaya dalam perusahaan dalam rangka mencapai nilai pelanggan yang superior (superior customer value) dalam pasar yang demikian dinamis dan turbulence. Kemampuan belajar perusahaan (organizational learning) yang lebih cepat dibandingkan pesaingnya merupakan sumber keunggulan bersaing yang berkelanjutan.

Beberapa contoh keberhasilan perusahaan yang telah menjadi sebuah organisasi pembelajaran memang dapat ditemukan. Raksasa bisnis sekaliber Enron, Worldcom, Xerox, Arthur Anderson, Merck merupakan contoh perusahaan yang telah melaksanakan proses-proses pembelajaran organisasi bahkan mereka telah berhasil menerapkan best practice. Namun dalam perjalanannya raksasa-raksasa bisnis tersebut jatuh. Ironisnya bangkrutnya raksasa-raksasa bisnis tersebut justru dikarenakan oleh masalah sepele yakni kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh para orang-orang kunci perusahaan. Kasus ini cukup memberikan gambaran bahwa best practice yang sudah dijalankan dalam perusahaan-perusahaan tersebut mengandung suatu kelemahan mendasar, karena ternyata tidak cukup mampu menjadikan organisasi bertahan dari penggerogotan yang justru dilakukan oleh orang-orang dari dalam perusahaan itu sendiri. Artinya best practice tersebut hanya mampu membesarkan perusahaan namun tidak mampu membesarkan individu-individu yang ada dan terlibat dalam perusahaan tersebut. Perusahaan gagal menghantarkan para karyawannya menjadi manusia yang dapat memaknai kehidupan dalam jangka panjang, tetapi justru telah menjadikannya manusia yang sangat pandai dan rasional secara intelektual namun miskin sikap dan nilai-nilai spiritual.

PERMASALAHAN
Keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang dapat diprediksikan dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan  share value.  Proses pemilihan nilai nilai luhur yang akan dijadikan landasan visi dan misi perusahaan telah berkembang sangat dinamis. Namun demikian tuntutan dan sejarah perjalanan panjang bisnis telah memberikan pamahaman mendasar bahwa bisnis tidak dapat hanya dikelola dengan pendekatan-pendekatan matematis yang penuh nuansa persaingan.  Permasalahan yang dihadapi adalah nilai-nilai luhur (great value) yang seperti apa yang semestinya dijadikan share value yang dapat berdampak positif terhadap kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

PEMBAHASAN
Nilai Perusahaan
Hofstede dalam Budihardjo (2004) mendifinisikan nilai dengan lebih sederhana yaitu a broad tendecy to prefer certain states of affair over others. Secara umum nilai mempunyai tiga fungsi utama yaitu sebagai acuan pemberi arah perilaku manusia sebagai general plan untuk pemecahan konflik dan pengambilan keputusan serta sebagai motivator dalam menghadapi situasi sehari-hari. System nilai yang dianut oleh seorang manajer berkontribusi secara signifikan dengan keberhasilan organisasi dan nilai pribadi seorang direktur sangat menentukan strategi perusahaan yang dipimpinnya (England; Guth dan Tagiuri dalam Budihardjo, 2004). Banyak tokoh berhasil menjadi teladan dan inspirasi karena kepemilikan nilai-nilai unik yang diyakininya. Beberapa contoh di Indonesia seperti Tirto Utomo, Ciputra, Abdullah Gymnastiar, Jacob Utomo dan lainnya (Swa, Agustus 2006).

Nilai merupakan inti dari budaya yang mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku individu serta kelompok. Dengan demikian nilai perusahaan memiliki fungsi yang sangat mendasar dalam menggerakkan organisasi dalam rangka mencapai tujuannya.

Pada masa saat ini telah terjadi tantangan baru dalam pengelolaan bisnis yakni dengan masuk bahkan digunakannya nilai-nilai spiritualitas sebagai landasan nilai nilai yang dibangun dalam perusahaan. Kajian tentang nilai-nilai spiritualitas ini telah menjadi trend menarik di banyak bidang bisnis. Berbagai perusahaan juga telah membuktikan diri menjadi perusahaan yang unggul kinerja keuangannya dalam jangka panjang dengan tidak mengabaikan kinerja non keuangan, semisal UPS, Starbucks, Unilever, Internusa dan lain lain (Swa, Maret 2007). Disamping itu banyak pula perusahaan yang mampu melakukan transformasi menjadi perusahaan yang unggul setelah merubah visi dan misinya dengan landasan nilai-nilai spiritualitas, misalnya Telkom. Beberapa bukti keberhasilan tersebut telah mampu mendorong perubahan paradigma dalam penggunaan nilai-nilai spiritualitas untuk diterapkan di lingkungan lembaga bisnis.

Spiritualitas dan Agama
Ashmos dan Duchon (2000) menyampaikan bahwa meskipun spritualitas merupakan ide yang relatif baru dalam lingkungan kerja namun sebenarnya bukanlah ide yang baru dalam pengalaman hidup manusia. Seluruh tradisi dalam agama-agama besar pada beberapa tingkat mencakup hal-hal yang merupakan nilai-nilai spiritualitas. Nilai-nilai spiritualitas dimaksud adalah pandangan tentang kehidupan untuk mencari makna dan tujuan utama dari kehidupan adalah keselarasan dengan yang lain sebagai sebuah landasan dasar.

Memang, dalam masa awalnya terjadi pemisahan dan pengabaian nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis. Pada saat inipun masih terdapat pro dan kontra terhadap masuknya nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis. Pendukung masuknya spiritualitas dalam bisnis berpendapat bahwa sebagai manusia adalah fitroh melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam setiap tahap hidupnya termasuk dalam bekerja. Dalam Islam dikenal dengan konsep khalifah. Islam memaknai konsep khalifah dalam arti luas yakni bahwa setiap manusia itu pemimpin, sebagai seorang pemimpin maka manusia berfungsi untuk menyusun dan menggerakkan proses penggunaan sumber daya (waktu, alam, uang, barang dan jasa, sarana serta manusia (lain) dan yang pasti sebagai seorang pemimpin maka manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnya (Najma, 2004).

Selanjutnya Brandt (1996) menyampaikan bahwa dalam filosofi timur seperti Zen Buddhism, Confucian dan Shintoism cenderung menekankan nilai-nilai seperti loyalitas dan kemampuan untuk membangun spiritualitas sebagai pusat dari semua jenis pekerjaan dan kegiatan. (Zamor, 2003) menyampaikan bahwa dalam Christian Spirituality dan Catholic Spirituality terdapat dua perhatian utama dalam aspek spiritualitas yakni berdoa dan kegiatan untuk mengembangkan dunia serta meningkatkan keadilan sosial. Dalam Christian spirituality terdapat empat orientasi kecenderungan baru yakni tanggapan dan aksi terhadap kehidupan agar menjadi lebih indah dan adil, pandangan terhadap dunia sebagai bagian dari sisi spiritual manusia, cepat tanggap dan bertanggungjawab terhadap kemiskinan dan penindasan , dan orientasi social. Bahkan Norman Vincent Peale’s menjadikan hubungan antara gereja dan bisnis merupakan pesan dasar dari ajarannya. Peale menyebutkan bahwa businesman memandang Tuhan sebagai patners unik yang senantiasa menyertai dalam setiap transaksi kehidupan (Orwig, 2002)

Jadi aspek nilai-nilai spiritual sebenarnya ada dan diajarkan di semua agama dan beragam bentuk keyakinan. Manusia secara individu ataupun kelompok sebenarnya juga terfitroh membutuhkan pengamalan nilai-nilai spritualitas ini dalam meniti kehidupannya. Akan tetapi masuknya nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis belum dapat diterima oleh semua pihak. Pihak yang menentang masuknya nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis atau lingkungan kerja menyampaikan bahwa merupakan suatu hal yang sangat jauh berbeda antara nilai spiritualitas dan nilai bisnis.

Penolakan terhadap nilai spiritualitas di lingkungan kerja sering dikarenakan ketidakmampuan lingkungan kerja tersebut mendifinisikan dan membedakan pengertian spiritualitas dengan religiusitas (agama). Cash dan Gray (2000) menyampaikan bahwa sementara focus utama dari penerapan nilai-nilai keagamaan di tempat kerja telah menjadi sebuah formal religion, terdapat penekanan yang semakin kuat terhadap praktik spiritualitas dan berbagai bentuk informal religion. Sementara itu dalam lingkungan yang beragam tentu saja penerapan formal religion dalam perusahaan bukan perkara yang dapat diterima secara lapang oleh semua pihak yang terlibat.

Sedangkan pihak yang tetap mempertahankan penerapan nilai spiritualitas di lingkungan kerja menyampaikan bahwa sangat beda antara praktik formal religions dan praktik nilai spiritualitas. Titik pembeda adalah bahwa dalam formal religions terdapat struktur dan berbagai ritual khusus (Cash dan Gray, 2000). Zamor (2003) menyampaikan bahwa spiritualitas dan religiusitas adalah sesuatu yang kompatible walaupun tidak identik, kedua hal tersebut mungkin atau tidak mungkin ada pada waktu yang sama. Agama (religion) dipandang sebagai sesuatu yang intolerant dan divisive sedangkan spirituality dipandang  sebagai sesuatu yang universal dan tidak bersekat (Mitroff dan Denton dalam Zamor, 2003). Dengan demikian agama menyangkut keimanan tidak sekedar kepercayaan kepada Tuhan sehingga ukuran dan tata cara pelaksanaannya menggunakan hukum Tuhan.

Mitroff dan Denton (1999) menyampaikan bahwa terdapat empat pandangan terhadap agama dan spiritualitas. Keempat pandangan tersebut adalah: pertama, agama dan spiritualitas dipandang sebagai sesuatu yang sinonim dan tak terpisahkan, keduanya bersumber dari kepercayaan dasar dan nilai- nilai yang universal; kedua, agama mendominasi spiritualitas dan agama sebagai sumber dari kepercayaan dan niali-nilai dasar spiritualitas; ketiga, spiritualitas mendominasi agama dan sebagai sumber dari kerpercayaan dasar dan nilai-nilai universal dari agama; keempat, baik agama maupun spiritualitas tidak ada yang utama, nilai-nilai universal dapat didifinisikan dan diperoleh terpisah dari agama maupun nilai spiritualitas.

Nilai Spiritualitas dan Bisnis
Mitroff dan Denton (1999) telah mengumpulkan sebelas elemen kunci spiritualitas yakni: tidak formal, tidak terstruktur dan tidak terorganisasi; bukan suatu sekte atau agama (nondenominational); begitu luas memasuki setiap diri individu; sumber dan pemberi arti penting bagi tujuan hidup; ketakutan terasakan dalam kehadiran dari keutamaan; kesucian di segala hal dan keistimewaan hidup setiap saat; perasaan mendalam yang berkaitan dengan saling ketergantungan terhadap segala sesuatu; kedamaian dan kelembutan;  merupakan sumber yang mengalirkan iman dan kekuatan; tujuan akhir yang ada dalam diri sendiri.

Walaupun masih perlu penyempurnaan instrument lebih lanjut, Ashmos dan Duchon (2000) berhasil mengembangkan alat ukur spiritualitas di tempat kerja menjadi tiga tingkat yakni tingkatan individual, unit kerja dan organisasi. Sayang penelitian ini memperoleh kritik tajam dari aspek metodologinya sehingga 11 faktor pengukur spiritualitas yang berbeda di setiap tingkat dianggap steril dan tidak bermakna (Fornaciari dan Dean, 2001).

Sementara itu elemen bisnis kental dengan nilai nilai yang mengedepankan rasional, transparan, orientasi tujuan dan kinerja. Dengan demikian terlihat jelas betapa bedanya elemen spiritualitas dan elemen bisnis. Apalagi bila dihubungankan dengan persaingan global, tuntutan untuk efisiensi dan optimalisasi sumber daya mengakibatkan perusahaan harus mengambil langkah langkah rasional dan matematis yang sering tidak manusiawi dan dipandang jauh dari muatan nilai-nilai spiritualitas apalagi nilai-nilai keagamaan. Atas dasar hal inilah oleh karenanya bukanlah tanpa alasan bagi pihak yang tidak setuju penggunaan nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis, karena memang kedua nilai tersebut tidak selayaknya didudukan dalam satu tataran dalam proses bisnis. Akan tetapi dengan perkembangan yang terjadi baik internal maupun eksternal maka penerapanan nilai-nilai spiritualitas telah semakin menjadi kebutuhan.

Kesadaran Karyawan
Perkembangan internal yang menggejala yakni tumbuhnya pergeseran paradigma manusia (karyawan) yang semakin mengakomodasi dan tumbuhnya keinginan yang semakin besar untuk lebih memaknai hidup, menjalankan nilai-nilai spiritualitas bahkan menjalankan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dalam keseluruhan aspek kehidupannya termasuk pula di tempat kerja. Mitroff dan Denton (1999) melalui teknik wawancara terhadap 40 orang senior executive di US, berhasil mengidentifikasi arti penting dan tujuan karyawan dalam bekerja. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat tujuh kategori besar tentang arti penting dan tujuan kerja yakni (rangking) pertama, kemampuan merealisasi potensi yang dimiliki sebagai manusia; kedua, ingin menjadi bagian organisasi yang baik dan etis; ketiga, tertantang dengan pekerjaan; keempat, mencari uang; kelima, menjadi bagian yang baik dalam pelayanan terhadap manusia; keenam, melayani generasi berikutnya dan ketujuh, pelayanan terhadap komunitas terdekat. Hasil penelitian tersebut sangat menarik karena ternyata aspek nilai kerja secara ekonomis (mencari uang) yang dianut oleh karyawan tidaklah menduduki peringkat pertama tetapi justru menduduki rangking empat. Bahkan keenam nilai yang lain juga diwarnai dengan perwujudan nilai-nilai spiritualitas yang dianut oleh karyawan.

Namun demikian cerita sukses keberhasilan penerapan nilai-nilai spiritualitas menjadi sesuatu yang unik dengan kasus di Indonesia. Ghani (2005) menyampaikan bahwa berdasarkan survey LP3ES pada tahun 2003 ditemukan sebuah paradoks pergeseran nilai sosial masyarakat. Masyarakat Indonesia mengalami peningkatan simbolik ritus peribadahannya. Kesalehan pribadi meningkat melalui tampilan fisik dalam ritual ibadah. Ironisnya di sisi lain juga terjadi eskalasi kecenderungan pelanggaran norma agama seperti terjadinya KKN. Apabila logika linier yang digunakan maka semestinya dengan semakin taat beribadah, seseorang akan semakin patuh pada aturan dan norma agama serta semakin menjauhkan diri dari perilaku yang dapat menggelincirkan akidah dan moralitas seseorang. Namun pada kenyataannya hal tersebut yang terjadi. Sebagian masyarakat terperangkap pada keyakinan yang keliru dan kehilangan ruh dari ajaran agama yang dianutnya. Dalam dunia bisnis hal ini tercermin dari gejala menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Etika bersaing tidak lagi dijalankan secara elegan, profesional dan sportif. Budaya menerabas tumbuh subur.

Ashmos dan Duchon (2000) menyampaikan bahwa dalam model manajemen yang birokratis dan ilmiah, rasionalitas dan legalitas telah memberikan batasan-batasan bagi manusia dalam berperilaku di tempat kerja. Di bawah kekuasaan sistem organisasi yang demikian, manajer dan seluruh karyawan diharapkan memenuhi segala tuntutan kerja tanpa pelibatan diri yang sesungguhnya yakni dengan menampilkan keunggulan rasional secara global dan kesadaran ilmiah. Hal ini mengakibatkan dimensi spiritual manusia yang berhubungan dengan penemuan dan pengekspresian makna dan tujuan hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan segala sesuatu yang lebih luas dari sekedar orientasi terhadap diri sendiri tidak dapat hadir (apalagi dipraktikan) di lingkungan kerja.

Sementara itu Fox dalam Ashmos dan Duchon (2000) menyampaikan bahwa manusia memiliki dua sisi kehidupan yakni inner dan outer life, dan memupuk inner life akan mampu mendorong outer life menjadi lebih bermakna dan produktif. Oleh karena itu pemisahan praktik nilai-nilai spiritualitas dalam lingkungan kerja atau dunia bisnis merupakan langkah manajemen yang mengingkari esensi dasar kebutuhan manusia.

Good Corporate Governance
Perkembangan eksternal yang terjadi adalah semakin kuatnya tuntutan lingkungan terhadap pertanggungjawaban perusahaan kepada masyarakat luas. Hal ini berarti bahwa perusahaan harus semakin mengakomodasi kepentingan stakeholder dalam arti luas dan jangka panjang. Untuk itu perusahaan harus dapat beroperasi dengan tatanan nilai yang tidak hanya mementingkan keuntungan (uang) jangka pendek. Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) telah menjadi semakin dipersyaratkan untuk tumbuh dan berkembangnya perusahaan dalam jangka panjang.

Prinsip yang menjadi landasan praktik GCG adalah komitmen, hak, perlakuan setara, peran stakeholder, transparansi dan disclosure, tanggungjawab komisaris dan direktur. (Swa, Desember 2006). Ghani (2005) menyampaikan lima prinsip GCG, pertama, transparan yang menyangkut syarat terbuka, akurat dan comparable. Kedua, bertanggung jawab yaitu memiliki sistem pertanggungjawaban kepada shareholder dan stakeholders. Ketiga, akuntabilitas yakni memiliki mekanisme pengendalian efektif dan adanya distribusi kekuasaan. Keempat, moralitas, meliputi karakter kejujuran, keadilan, dapat dipercaya, kebebasan, pertanggungjawaban individu dan komitmen sosial. Kelima, keandalan, yakni memiliki kemampuan kesiapsiagaan dan kompetensi sesuai tuntutan teknologi dan kebutuhan manajemen.

Pelaksanaan prinsip GCG sudah barang tentu mensyaratkan perubahan pola pikir dan pola tindak yang tidak saja mementingkan aspek kinerja keuangan tetapi sudah meluas pada aspek dampak yang ditimbulkan dari proses operasional perusahaan bagi masyarakat luas. Dapat dipastikan bahwa pelaksanaan prinsip GCG seharusnya menuntut perusahaan menggunakan nilai-nilai spiritualitas dalam operasional bisnis sampai dengan pengukuran kinerjanya. Survey Swa pada tahun 2006 menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan prinsip GCG ternyata memiliki kinerja unggul seperti PT. Astra Internasional Tbk, PT. Kalbe Farma Tbk, PT Telkom Tbk dan banyak perusahaan lainnya (Swa, Desember 2006).

Akan tetapi kasus yang terjadi di beberapa raksasa bisnis di Amerika Serikat, yang notabene gudangnya pelaksanaan best practice company dan multi national company ternyata mengalami kebobolan akibat kejahatan kerah putih seperti yang dialami oleh Enron, Worldcom, Xerox, Arthur Anderson, Merck. Kasus ini terjadi karena perusahaan-perusahaan itu hanya mampu membesarkan perusahaan tetapi gagal membesarkan karyawan-karyawannya. Karyawan menjadi sangat rasional dan rakus, sehingga segala yang dilakukan terkungkung pada norma matematis dan legalitas. Hal ini akhirnya mengakibatkan orientasi yang salah arah karena orang-orang kuncilah yang pada akhirnya melakukan kejahatan dan menghancurkan perusahaan yang notabene dibesarkannya sendiri.

Sprituality Corporate Governance
Ketidakkonsistenan hasil dari penerapan GCG menyisakan berbagai pertanyaan. Lebih lanjut Ghani (2005) memperkenalkan prinsip SCG (Sprituality Corporate Governance).berbeda dengan GCG yang merupakan system manajemen yang berbasis science and art (knowledge) yang berasal dari pengembangan ilmu sekuler. SCG menempatkan pertanggungjawaban spiritual sebagai landasannya. Prasyarat yang ada dalam prinsip-prinsip GCG hanyalah sebagai alat ukur material, sedangkan yang paling penting yang sifatnya materiil dan hakiki adalah meletakkan profesi sebagai ibadah, pengembaraan makhluk menuju jalan yang diridloi Allah. Prinsip ini juga berarti menempatkan Allah sebagai bagian dari stakeholder perusahaan bahkan Allah merupakan the ultimate stakeholder (Ghani, 2005).

Konsep spiritualitas sering disamakan dengan religiositas dan etika (perilaku etis menurut agama). Religiositas dapat dilihat dari tiga komponen yakni komponen knowing (kognitif), feeling (afektif) dan doing (bahavior). Komponen kognitif disebut komponen orthodoxy. Komponen afektif merupakan dimensi perasaan dan menunjukkan perasaan seseorang terhadap religi yang dianut, obyek atau institusi sebagai sebuah komitmen keberagamaan. Sedangkan komponen behavior merupakan perilaku seperti mendatangi masjid atau gereja, sumbangan uang, sembahyang dan membaca kitab suci (Ghozali, 2002).

Spiritualitas tidak berarti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan agama atau sistem keyakinan teologis tertentu. Istilah spiritual berasal dari bahasa Latin: spiritus, yang berarti sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas pada sebuah sistem. Bagi manusia hal yang memberinya kehidupan adalah kebutuhan untuk menempatkan upaya kita dalam satu kerangka makna dan tujuan yang lebih luas (Zohar dan Marshall, 2005).

Penerapan nilai-nilai spiritualitas dalam bisnis secara luas memang bukan lagi sesuatu yang aneh. Walaupun masih ada beberapa pendapat yang tidak mendukung namun agaknya perkembangan yang terjadi semakin menunjukkan trend yang sangat dinamis dan semakin meluas. Pendukung konsep ini meyakini bahwa hal ini sebagai terobosan strategi bisnis untuk melayani masyarakat yang sudah muak dengan praktik bisnis curang tanpa etika (Agung 2003 dalam Sule dan Mulyana, 2004). Antonio (Swa, Maret 2007) menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan merupakan sesuatu yang alamiah, maka apabila perusahaan ingin tumbuh dan berkembang maka seyogyanya menggunakan cara-cara yang alamiah pula. Cara alamiah yang dimaksud adalah nilai nilai spiritualitas yang bersifat universal.

Konsep spiritual bisnis mempunyai tiga pedoman pokok dalam memahami sebuah bisnis yakni ekosistem, komunitas dan transparasi. Di dalam ekosistem tidak mengenal konsep kalah atau menang, hancur atau utuh tetapi system yang berkelanjutan, saling melengkapi, tidak memangsa dan bersama-sama memperindah dunia. Komunitas diartikan bahwa bisnis bukanlah mesin pencetak profit semata, tetapi sebagai kumpulan dari asset dan sumberdaya manusia. Transparasi berarti bahwa perushaan harus dijalankan tanpa rekayasa sehingga manajemen terlihat jelas dan fair yang bermuara pada efisiensi dan efektivitas (Sule dan Mulyana, 2004).

Agung dalam Sule dan Mulyana (2004) menyampaikan bahwa nilai spiritual bisnis dibangun atas tiga pilar yakni transedental, transparasi dan professional. Transcendental berarti bahwa bisnis akan melewati hal yang sudah lazim, bisnis bukan sekedar mencari uang, mengumpulkan asset dan kelak go public akan tetapi juga melakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan. Transparasi berarti bisnis memiliki nilai keterbukaan bukan rekayasa. Professional berarti bisnis harus mengedepankan kecakapan, integritas, jujur, adaptif dan etis.

Dalam konteks Islam, etika Islam bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Etika kerja Islam memandang dedikasi dalam bekerja adalah kebajikan. Usaha yang maksimal harus dilakukan seseorang dalam bekerja karena hal ini merupakan kewajiban seorang individu yang mampu. Etika kerja Islam menekankan kerja kreatif sebagai sumber kebahagiaan dan pencapaian. Kerja keras dipandang sebagai kebajikan dan barang siapa bekerja keras maka akan berhasil dalam hidup dan sebaliknya, tidak bekerja keras sebagai penyebab kegagalan dalam hidup (Ghozali, 2002). Makna kerja sebagai ibadah diharapkan akan menghasilkan output yang merupakan akumulasi dari ekspresi rasa syukur seluruh karyawan kepada Allah. Semangat inilah yang menjadikan seluruh karyawan dari berbagai lini rela mempersembahkan karya terbaiknya karena targetnya adalah mendapatkan ridlo Allah dimana output produk berkualitas serta meningkatnya pendapatan perusahaan merupakan efek samping positif yang bisa dirasakan oleh para stakeholder (Winarman, 2004).

Mitroff dan Denton (1999) menyimpulkan bahwa tidak ada organisasi yang dapat bertahan hidup dalam jangka panjang dengan tanpa menerapkan nilai nilai spiritualitas yang menjadi rohnya. Yang harus dilakukan adalah menemukan cara mengelola nilai nilai spiritualitas tanpa memisahkannya dari elemen-elemen lain dalam manajemen perusahaan. Kita sudah terlalu jauh memisahkan nilai-nilai spiritualitas ini dari elemen-elemen kunci perusahaan dan sekarang saatnya mengintegrasikannya.

Customer Social Responsibilities (CSR)
Disamping pelaksanaan prinsip GCG dan SCG, banyak perusahaan menanggapi tuntutan pertanggungjawaban kepada masyarakat dengan penerapan Customer Social Responsibilities (CSR). Ghani (2005) menyampaikan tiga tingkat pelaksanaan CSR. Tingkat pertama adalah CSR semata-mata sebagai aksi, sesuatu yang kelihatan bagus bagi tujuan-tujuan public relations. Pada tahapan ini tidak ada modal spiritual yang didapatkan dari kebijakan seperti itu. Bahkan aksi khas public relation tersebut cenderung menambah sinisme pelanggan terhadap niat baik perusahaan.

Tingkat kedua adalah tingkat yang agak lebih dalam. Penerapan CSR dimaknai sebagai sebuah bentuk strategi untuk bertahan (defensif). Perusahaan yang menerapkan CSR pada tingkat kedua ini digunakan sebagai cara untuk menghindari konsekuensi negatif dari citra buruk perusahaan. CSR sebatas digunakan pada tataran taktik perusahaan. Penerapan CSR pada tingkatan ini lebih ditujukan pada taktik untuk membangun citra positif perusahaan, sehingga setiap langkah yang dilakukan diperhitungkan dampak yang ditimbulkannya bagi pemulihan dan atau pembangunan citra perusahaan.

Tingkat ketiga adalah tingkatan yang terdalam. CSR dilaksanakan bermula dari keinginan murni untuk melakukan kebajikan yang bersemayam tepat di inti visi dasar perusahaan.
Setiap langkah yang dilakukan perusahaan diniati dengan ketulusan yang dilandasi oleh nilai-nilai spiritualitas yang murni. Tingkatan pelaksanaan CSR yang ketiga inilah yang lebih memberikan dampak positif terhadap perusahaan dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena stakeholder akan dapat merasakan ketulusan yang dilakukan perusahaan sehingga kepercayaan kepada perusahaan akan terpupuk.

Budaya Perusahaan
Penanaman nilai-nilai spiritualitas dalam perusahaan pada hakekatnya membangun budaya perusahaan atau bahkan mengubah budaya. Oleh karena itu sering diperlukan langkah-langkah perubahan yang mendasar. Budaya perusahaan yang kuat, relevan dan profesional dibutuhkan agar perilaku anggotanya terarah pada suatu cara untuk mencapai sasaran perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja perusahaan, oleh sebab itu budaya perusahaan yang tidak (lagi) relevan dengan tuntutan perubahan perlu diubah. Namun demikian, merubah budaya bukan masalah sederhana.  Karyawan dengan berbagai karakteristik nilai yang sudah melekat dalam diri masing-masing tidak akan mudah menerima nilai-nilai baru yang tidak sesuai atau sejalan dengan apa yang sudah diyakini dan menjadi kebiasaannya.

Peran pemimpin dalam proses penanaman nilai-nilai spiritualitas sangat penting. Aspek patronase masih cukup berperan dalam proses penanaman nilai baru. Agustian (2005) menyampaikan bahwa terdapat lima tingkat pemimpin yakni pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pembimbing, pemimpin yang berkepribadian dan pemimpin yang abadi. Pemimpin pada tingkat kelima inilah yang dibutuhkan untuk melakukan share value. Pemimpin tingkat kelima adalah pemimpin yang dapat memimpin dengan suara hatinya dan diikuti oleh suara hati pengikutnya, ia bukan sekedar pemimpin manusia tetapi pemimpin segenap hati manusia.

Silverweig dan Allen (1976) dalam Budihardjo (2004) menyatakan bahwa terdapat empat tahapan model sistem normatif untuk mengubah budaya perusahaan yakni: pertama, mengidentifikasi budaya perusahaan untuk mengetahui kesenjangan normatif yang ada; kedua, mengalami budaya yang dikehendaki (experiencing the desired culture) melalui sistem, pengenalan dan pelibatan; ketiga, memodifikasi budaya yang ada (modifying existing culture); keempat, mempertahankan serta mensosialisasikan budaya yang dikehendaki, mengevaluasi dan memperbaiki yang perlu. Hasil yang diharapkan dari proses perubahan budaya ini adalah manusia-manusia (karyawan) tingkat spiritualitasnya tinggi yakni mereka yang skala motivasinya positif (Zohar dan Marshall, 2005).    Spiritualitas juga akan menjadikan karyawan tidak tamak dan rakus, namun menjadikannya sebagai manusia (karyawan) yang mampu mengaktualisasikan diri dan menjalankan fungsinya sebagai kalifah di muka bumi (perusahaan).

Spiritual Company dan Kinerja Perusahaan
Spiritual company adalah perusahaan yang menggunakan nilai-nilai spiritualitas sebagai landasan misi dan visinya. Nilai-nilai spiritual yang dijadikan landasan dasar misi dan visi perusahaan bersifat universal. Kalaupun pada pelaksanaannya sulit dipisahkan antara praktik spiritualitas dan religiositas atau bahkan kedua nilai tersebut menyatu hal itu bukan berarti perusahaan melakukan keberpihakan pada suatu agama tertentu. Spiritual company akan selalu melakukan proses operasional perusahaan berdasarkan landasan nilai-nilai luhur yang tidak saja memikirkan dampaknya dalam jangka pendek tetapi dimensi yang digunakan adalah dimensi jangka panjang. Dimensi jangka panjang yang dimaksud adalah pertanggungjawaban segala yang dilakukan di hadapan the ultimate stakeholder (Allah).

Nilai-nilai spiritualitas dalam perusahaan akan menempatkan karyawan pada posisi yang tepat sebagai manusia. Demikian pula karyawan mampu memaknai kerja sebagai ibadah dan perwujudan pertanggungjawaban kepada the ultimate stakeholder (Allah). Hal ini akan berdampak pada komitmen organisasi yang tinggi. Gozhali (2002) menemukan bukti bahwa konstruk religiositas dimensi belief, dimensi komitmen, dimensi behavior berhubungan positif terhadap komitmen organisasi dan keterlibatan kerja. Selanjutnya juga ditemukan bukti bahwa komitmen organisasi dan terlibatan kerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Konstruk religiositas yang digunakan ini lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakini. Jadi lebih menekankan pada substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalisme keagamaan.

Rebecca Pribus dalam Laabs (1995) menyampaikan bahwa menyediakan waktu bagi karyawan untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya akan memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam berbagai cara. Pemenuhan kebutuhan spiritual karyawan akan mampu menumbuhkan dan meningkatkan energi positif. Karyawan juga akan lebih memiliki sikap positif dan tingkat kreativitas yang lebih tinggi. Perusahaan juga akan dapat menyaksikan perubahan yang dramatis dalam mental, emosional dan kesehatan fisik karyawan.

Paul dalam Laabs (1995) juga menyampaikan bahwa implementasi dari spiritual-formation office akan dirasakan perusahaan dengan semakin kecilnya kasus-kasus pelecehan, ketidaksempurnaan kerja, tingkat stress dan komplain dari karyawan sehubungan dengan masalah pengupahan, dan meningkatnya kegiatan-kegiatan fund-raising, serta meningkatnya keserasian nilai-nilai inti dengan pengekspresian nilai-nilai tersebut dalam kegiatan sehari-hari.

Kale dan Shrivastava (2003) menyampaikan bahwa merealisasikan tempat kerja yang melaksanakan nilai-nilai spiritualitas tidak hanya mampu menciptakan harmonisasi di lingkungan kerja namun juga akan menjadikan tempat kerja yang mampu menghasilkan keuntungan yang baik. Oleh karena itu perusahaan perlu senantiasa  mencari alat dan metode untuk memenuhi kebutuhan spiritual di tempat kerja dan enneagram merupakan salah satu alat yang mampu meningkatkan spiritualitas di tempat kerja.

Zamor (2003) menyampaikan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh Harvard Business School yang menguji 10 perusahaan yang memiliki budaya perusahaan kuat (spirited workplace) dan 10 perusahaan yang memiliki budaya yang lemah selama 11 tahun menemukan bukti bahwa terdapat hubungan yang dramatic antara kekuatan budaya organisasi dengan tingkat keuntungan perusahaan.

Saat ini telah banyak bukti empiris bahwa praktik spiritualitas di tempat kerja mampu menciptakan budaya organisasi baru yang menjadikan karyawan merasa lebih bahagia dan berkinerja lebih baik. Tumbuhnya motivasi bersama untuk bekerja dan memaknai kerja mampu mengurangi keinginan untuk pindah. Karyawan juga merasa turut memiliki perusahaan dan komunitasnya, sebuah aspek penting dalam spiritualitas, akan mampu membantu karyawan manakala sesuatu terjadi di masa depan. Selanjutnya budaya sharing dan caring seringkali dapat diraih oleh seluruh stakeholder perusahaan baik pemasok, pelanggan dan pemegang saham. Dalam lingkungan kerja yang lebih manusiawi, karyawan juga akan lebih kreatif dan memiliki moral yang lebih tinggi, dua faktor yang sangat berhubungan dengan tingginya kinerja organisasi (Zamor, 2003).

Kepuasan kerja karyawan yang dilandasi dengan nilai-nilai spiritualitas akan berdampak pada kinerja karyawan seperti meningkatnya produktivitas, menurunnya tingkat ketidakhadiran, menurunnya tingkat kesalahan dan kecelakakan kerja, serta meningkatnya efisiensi. Selanjutnya kinerja karyawan ini akan meningkatkan kinerja perusahaan, dan bagi sebuah spiritual company peningkatan kinerja perusahaan berarti juga peningkatan kemakmuran stakeholder. Dari pembahasan di atas kiranya nampak jelas bahwa penerapan nilai-nilai spiritualitas di dalam praktik bisnis berdampak positif baik bagi karyawan maupun bagi perusahaan. Dalam jangka panjang dampak-dampak positif ini akan terakumulasi dan berdampak positif pula secara lebih luas bagi kehidupan manusia secara menyeluruh dalam menjalankan fungsinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.

PENUTUP
Keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang dapat diprediksikan dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan  share value.  Proses pemilihan nilai nilai luhur yang akan dijadikan landasan visi dan misi perusahaan telah berkembang sangat dinamis dengan model yang sangat bervariasi. Model-model tersebut bisa jadi hanya sebagai bagian dari strategi perusahaan atau model yang menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dengan kesadaran murni. Nilai-nilai spiritualitas nampaknya semakin menjadi kecenderungan sebagai nilai-nilai luhur yang dianut perusahaan untuk menjamin kinerja jangka panjangnya.

DAFTAR PUSTAKA
Agustian, A. G. (2005). ESQ: Emotional Spiritual Quotient. Arga. Jakarta.

Ashmos, D. P. dan Dennis D. (2000). Spirituality at Work a Conceptualization and Measure. Journal of Management Inquiry. Juni. 9, 2. ABI/INFORM  Global. p. 134-145.
Brandt, E. (1996). Corporate Pioneers Explore Spirituality. HRM Magazine. p. 82 – 87.
Budihardjo, A. (2004). Kajian Sistem Nilai: Upaya untk Meningkatkan Kinerja Organisasi. Forum Manajemen Prasetiya Mulya. Tahun ke-XVIII. No. 84. Edisi Wisuda. p. 6-12.
Cash,  K. C. dan G. R. Gray. (2000). A Framework for Accommodating Religion and Spirituality in the Workplace. Academy of Management Executive. Vol. No. 3. p. 124- 134.
Fornaciari, C. J. dan K. L. Dean. (2001). Making the Quantum Leap Lessons from Physics on Studying Spirituality and Religion in Organizations. Journal of Organizational Change Management. Vol. 14 No. 4. p. 335-351.
Ghani, M. A. (2005). The Spirituality in Business. Pena. Jakarta.
Ghozali, I. (2002). Pengaruh Religiositas terhadap Komitmen Organisasi, Keterlibatan Kerja, Kepuasan Kerja dan Produktivitas. Jurnal Bisnis Strategi. Vol. 9/Juli/Th. VII. p. 1-13.
Kale, S. H. dan S. Shrivastava. (2003). The Enneagram System for Enhancing Workplace Spirituality. Journal of Management Development. Vol. 22. no. 4. p. 308-328.
Laabs, J. J. (1995). Balancing Spirituality and Work. Personal Journal. September. p. 60-76.
Najma, S. (2004). Konsep Khalifah: Suatu Alternatif Pengembangan Konsep Manajemen Islam. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam. Malang.
Mitroff, I. I dan E. A. Denton. (1999). A Study of Spirituality in the Workplace. Sloan Management Review. Summer. p. 83-91.
Mulyadi. (2005). Sistem Manajemen Strategik Berbasis Balanced Scorecard. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Orwig, S. F. (2002). Business Ethics and the Protestant Spirit: How Norman Vincent Peale Shaped the Religious Values of American Business Leaders. Journal of Business Ethis. 38. p. 81-89.
Slater, S. F dan J. C. Narver. (1995). Market Orientation and the Learning Organization. Journal of Marketing. Vol. 59. July. p. 63-74.
Sule, E. T. dan A. Mulyana. (2004). Etika Pengusaha Muslim. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam. Malang.
Swa. (2006). Para Hero Paling Inspiratif. No. 16/XXII/10-23 Agustus. p.30-86.
Swa. (2006). GCG, Mudah tapi Masih Diemohi. No. 26/XXII/11-20 Desember. p. 36-46.
Swa. (2007). Spiritual Company. No. 05/XXIV/ 1-14 Maret.
Winarman, A. (2004). Penerapan Manajemen Mutu Syariah. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam. Malang.
Zamor, J. C. G. (2003). Workplace Spirituality and Organizational Performance. Public Administration Review. May/June. Vol. 63. No. 3. p. 355-363.
Zohar, D. dan I. Marshall. (2005). Spiritual Capital. Mizan. Bandung.