IMPLEMENTASI POLITICAL PUBLIC RELATIONS DALAM PILIHAN PRESIDEN
(PILPRES) 2014
Umar Farouk
Jurusan Administrasi Bisnis,
Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang
50275, PO Box 6199/SMS
ABSTRACT
Presidential
Election in 2014 has given us a clear picture of political culture growing in
contempary Indonesian political condition. Many believe that the excessive
competition between the two presidential candidates (Joko Widodo and Prabowo Soebianto) were
caused by the low politics practised by political parties. Many negative
political actions were done to win the competition. Political parties were negatively
perceived. Negative image of the political parties was not proportionally
considered important by those parties.
They were not aware of the importance of implementing appropriate
political public relations to construct their image. Positive image of the political parties
certainly in the long run will create politial benefits. This article tries to
give a snapshot of the matter.
Key words:Implementation, political pubic relations,
image, presidential election
PENDAHULUAN
Berbicara isu-isu
politik bagi sebagian besar masyarakat kita ternyata menjadi kebiasaan yang
menyenangkan. Hal ini dapat kita
saksikan dari hangatnya orang membicarakan pemilihan presiden (pilpres) 2014
yang lalu; membicarakan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tertangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK); perseteruan
‘cicak’ dan ‘buaya’ (KPK dan POLRI); kasus oknum pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang hadir pada kampanye Donald Trump di negeri Paman Sam; kasus permufakatan jahat Ketua DPR RI, Setya Novanto dengan pengusaha Mohamad Riza
Khalid untuk mendapatkan saham 20% secara illegal dari PT Freeport Indonesia;
dan seterusnya. Membicarakan carut
marutnya perpolitikan di negeri sendiri tampaknya menjadi keasyikan
tersendiri. Di tempat-tempat informal
seperti kafe, lapangan olah raga,
tempat pengajian, jagongan santai di
lingkungan RT dan RW masyarakat dengan penuh semangat berbagi informasi hangat
tentang peristiwa politik yang baru ditontonnya di televisi, mendengar dari
radio, dan juga dari membaca koran.
Hal tersebut
menunjukkan adanya peningkatan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan
pollitik di negaranya, mulai tumbuhnya sense
of belonging, cinta tanah air atau nasionalisme. Masyarakat mulai merasa ‘sayang’ jika negaranya dikelola secara semena-mena
oleh para politikus, para pejabat atau birokrat yang tidak bertanggung jawab,
tidak amanah dan posesif terhadap kekayaan negara. Masyarakat mulai ‘melek’
politik (political literacy) dan ini
berarti mereka telah memahami hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara. Inilah yang kemudian
dinamakan sebagai the rising citizens atau
warga negara yang cerdas. Munculnya the rising citizens merupakan antitesis
terhadap wajah buruk sistem politiik di tanah air saat ini. Fenomena yang muncul ini, meskipn bukan dari
hasil pendidikan politik yang secara sengaja dilakukan oleh pemerintah atau
partai politik (parpol), tentunya sangat menguntungkan bagi pembanguan politik bangsa ke depan. Oleh sebab itu diharapkan hal
ini dapat terus berlangsung.
Agar pemerintah
dan parpol mendapat dukungan dari rakyat,
pemerintah dan parpol perlu membangun
kepercayaan (trust). Kepercayaan rakyat sangat diperlukan untuk
mendukung program-program politik pemerintah dan parpol. Menurut Abdurrachman
(2001: 56) kepercayaan masyarakat atau rakyat yang tercermin dalam opini publik
dapat menjadi pendukung eksistensi lembaga-lembaga soial semacam parpol. Apabila
rakyat tidak memiliki kepercayaan terhadap pemerintah maka banyak kebijakan
publik pemerintah yang tidak didukung bahkan ditolak oleh rakyat. Ketidakpatuhan sebagian masyarakat terhadap
pembayaran pajak sebagai contoh, merupakan bukti ketidakpercayaan rakyat
terhadap pengelolaan pajak yang dilakukan oleh pemerintah selama ini.
Rakyat memiliki persepsi bahwa kepatuhan mereka dalam membayar pajak
ternyata tidak diimbangi dengan pengelolaan pajak yang akuntabel, transparan,
dan bebas dari korupsi. Banyaknya kasus korupsi di sektor perpajakan membuat
rakyat kurang meyakini adanya goodwill
pemerintah dalam pengelolaan pajak. Inilah yang dinyatakan Fuad Rahmany, Dirjen
Pajak pada 23 September 2013 di Hotel Borobudur, Jakarta. (http://
bisniskeuangan. kompas.com/ read /2013/09/23/1422169/Ini. Alasan .Masyarakat.
Ogah .Bayar .Pajak). Tertangkapnya Gayus Tambunan dengan
kasus korupsinya yang fenomenal di sektor perpajakan dan kemudian ditetapkannya
Hadi Purnomo, mantan Dirjen Pajak sebagai tersangka oleh KPK makin membuat distrust masyarakat membesar. Banyaknya
fungsionaris parpol yang terlibat kasus korupsi dan tidak amanah dalam menjalankan tugas sebagai
wakil rakyat menyebabkan rakyat tidak memiliki trust terhadap para wakil rakyat.
Ketidakpercayaan itu tercermin dari banyaknya pernyataan-pernyataan
publik yang mem-bully para anggota
DPR di media sosial baik dalam facebook,
twitter, instagram, berupa tulisan atau gambar meme yang mempermalukan.
Ketidaksenangan publik kepada para anggota DPR itu bahkan dinyatakan
secara sarkastik melalui berbagai plesetan
yang secara kreatif mereka ciptakan.
Untuk menunjukkan
ketidakterwakilan rakyat di lembaga legislatif mereka membuat singkatan
baru DPR yang diplesetkan menjadi
Dewan Pengkhianatan Rakyat, Dewan Perampokan Rakyat, Dewan Pembohongan Rakyat,
Djamban Perwakilan Rakyat dan seterusnya yang mungkin akan muncul
kemudian. Bahkan untuk menyatakan
ketidaksenangan dan kemarahannya pada 3 Desember 2015 publik juga menempatkan puluhaan jamban di
depan gedung DPR pada saat berlangsungnya sidang MKD (Mahkamah Kehormatan
Dewan) yang menangani kasus pelanggaran etika Setya Novanto beberapa waktu
lalu. (http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/aliansi-seniman-jakarta-kirim-puluhan-jamban-ke
dpr.html?fb_comment_id=957438701001883_957800154299071#f33392ddfc)
Situasi tersebut
menggambarkan betapa DPR tidak menerapkan political
public relations-nya dengan baik.
DPR selama ini membangun citra lembaganya dengan pernyataan-pernyataan
kosong. Sering pula dengan memutar balikkan fakta. Artinya ada kebohongan publik yang mereka
lakukan. Tragisnya publik mengetahui
kebohongan yang mereka katakan dan DPR tetap tidak peduli. DPR terus mengumbar retorika politik yang
membuat publik merasa dilecehkan.
Fakta bahwa Departemen
Public Relationsbelum berfungsi
dengan baik sehingga tidak ada juru bicara yang secara khusus melakukan
komunikasi yang benar dan taktis dengan publik menyebabkan citra negatif
lembaga legislatif ini makin terpuruk. (https://wesleysinagabonar.
wordpress.com/2012/10/23/peran-pr-di-dpr-ri) Ada beberapa anggota Dewan yang
rajin memberikan statement kepada
publik melalui media masa. Mereka
bukanlah anggota Dewan yang secara formal diberi tugas sebagai jurubicara
lembaga legislatif itu. Mereka pada umumnya adalah para vokalis dari parpol-parpol di DPR.
Lebih tepatnya mereka adalah juru bicara parpol. Lebih buruknya lagi kadang pula mereka
berbicara atas nama dirinya sendiri karena yang bersangkutan mempunyai
kepentingan tertentu. Jadi lembaga DPR
yang besar dan agung yang memiliki peran
strategis dan mulia dalam manajemen
pemerintahan dan negara dikerdilkan oleh kepentingan parpol dan bisa juga
kepentingan pribadi. Dengan demikian DPR
tidak menjadi lembaga yang mewakili rakyat tetapi menjadi lembaga yang berisi
kepentingan parpol dan pribadi. Nama-nama seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan
beberapa yang lainnya dikenal publik sebagai para vokalis yang suka bikin gaduh, bikin keonaran, dan tidak memiliki
integritas kebangsaan yang baik. Mereka
adalah aktor-aktor politik yang oportunistik, tidak memihak kepada konstituen
dan rakyat. Keterpihakan mereka lebih pada kepentingan parpol dan pribadi yang
jangka pendek. Akibatnya, publik makin benci dan resistent terhadap DPR. Komunikasi
politik yang cenderung dilakukan satu arah (one
way) sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan era pengelolaan
pemerintahan yang lebih terbuka dengan mengundang partisipasi publik lebih
intensif (two way). Demikian yang
dinyatakan oleh Colin Coulson dan Thomas (1996: 29).
PUBLIC RELATIONS
Ada banyak
definisi atau pengertian public relations
yang dikemukakan oleh para pakar ilmu Komunikasi. Definisi yang paling masyhur
adalah definisi yang dinyatakan oleh The
Institute of Public Relations (IPR) di Amerika bahwa Public Relations
adalah upaya terencana yang dilakukan terus menerus untuk mempertahankan itikad
baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dan publik. (Austin, 2003:
7)
Bagan Implementasi Political Public Relations Dalam
Membangun Public Trust
Public
Relations
memiliki peran yang sangat penting dalam suatu organisasi untuk menciptakan
citra yang positip (creating positive
image). Disamping itu menurut Austin (2003: 8) public relations juga membantu menekan sampai batas minimal
kerusakan yang terjadi kalau sesuatu berjalan secara tidak semestinya. Hampir
semua organisasi modern baik itu organisasi bisnis, organisasi militer,
organisasi pemerintah, organisasi kesenian, organisasi keolahragaan, organisasi
sosial, organisasi politik, organisasi masa, organisasi swadaya masyarakat, dan sebagainya
sekarang ini memiliki Departemen Public
Relations. Hal ini terjadi karena
sudah mulai disadari akan peran strategis Public
Relations dalam menunjang perkembangan dan kemajuan organisasi. Organisasi perlu menciptakan citra yang baik
jika ingin mendapatkan kerjasama, penghargaan, dan respon yang positip dari
pihak-pihak lainnya yang memiliki hubungan kepentingan (stakeholder) dengan organisasi tersebut. Bahkan para artis yang eksistensinya sangat
bergantung pada citra dirinya yang harus
baik di mata publik sering menggunakan pendekatan public relations untuk terus menjaga karirnya di dunia entertainment atau hiburan. Hal ini menjadi bukti bahwa ternyata public relations tidak hanya penting
untuk eksistensi suatu organisasi tetapi juga penting untuk menjaga karir seseorang.
Public
Relations
memiliki dua fungsi yang sangat penting, yakni fungsi konstruktif dan fungsi
korektif. (Riyanto, 2001: 8) Fungsi
konstruktif adalah fungsi Public
Relations untuk membangun citra yang baik.
Sedangkan fungsi korektif adalah fungsi Public Relations untuk memberikan koreksi jika terbentuk citra
yang buruk di tengah publik.
Citra yang baik
dapat dibentuk dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang menimbulkan simpati
publik terhadap organisasi atau pribadi seseorang. Sebagai contoh organisasi dapat mengadakan
gerakan menanam sejuta pohon, memberikan bantuan kepada korban bencana alam,
patut membayar pajak, memberikan santunan kepada masyarakat miskin, memberikan
bea siswa kepada pelajar dan mahasiswa, memberikan potongan harga produk kepada
konsumen, memberikan pendidikan dan pelatihan untuk memberdayakan masyarakat
sekitar, mengundang pejabat pemerintah dan wartawan dalam event (kegiatan) organisasional,
memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) yang cukup kepada karyawan, dan
sebagainya. Fungsi korektif dapat
dilakukan jika organisasi mendapatkan citra buruk dari publik. Bila ada opini publik yang buruk menyangkut
produk yang dijual oleh organisasi bisnis, misalnya, maka organisasi bisnis
tersebut perlu segera mengadakan penelitian menyangkut opini publik
tersebut, Jika kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa opini tersebut salah, maka perlu dilakukan klarifikasi
terhadap citra buruk produk tersebut. Perusahaan, sebagai contoh, dapat
mengadakan press conference atau juga
membuat publisitas di media cetak dan elektronik. Bila hal ini dilakukan maka citra buruk
tersebut dapat diubah kembali menjadi citra yang positip. Sebaliknya jika opini publik tersebut benar,
maka perusahaan perlu meningkatkan kualitas produk itu agar dapat diterima
publik dengan lebih baik. Dalam konteks
ini tidak tepat jika perusahaan hanya memberikan klarifikasi saja atau
menyangkal tentang mutu produk yang memang kurang berkualitas. Organisasi apapun, tentunya termasuk
organisasi politik, dapat melakukan
fungsi korektif sesuai dengan kondisi citra yang dihadapinya menurut persepsi
publik.
Ada dua jenis
publik dalam public relations, yaitu
publik internal dan publik eksternal.
Dalam organisasi bisnis atau perusahaan, publik internal itu adalah karyawan,
manajemen, dan keluarga karyawan, misalnya. Dalam organisasi politik publik
internal menyangkut fungsionaris partai
politik, pimpinan partai politik, dan anggota partai politik. Publik eksternal perusahaan, diantaranya
pemerintah, distributor, konsumen, supplier, pesaing (competitor)
dan sebagainya. Organisasi politik atau
partai politik publik eksternalnya adalah simpatisan dan masyarakat umum atau
rakyat yang pada saat pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan anggota DPR
dan DPRD (pemilihan anggota legislatif), dan pemilihan presiden (pilpres)
menjadi para pemilih (voters). Partai politik sangat perlu memelihara
kepercayaan (trust) yang diberikan
oleh publik internalnya dengan misalnya memberlakukan sistem meritokrasi dalam
kegiatan kepartaian. Siapa pun yang menunjukkan dedikasi, loyalitas, dan
kinerja yang baik dalam organisasi harus diberikan penghargaan yang sepadan
tanpa pandang bulu. Tidak diperkenankan
dalam tubuh kepartaian ada oknum yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) untuk mendapatkan kedudukan atau jabatan dalam tubuh partai. Jika hal ini dilakukan, maka oknum tersebut
harus mendapat sangsi atau hukuman. Terhadap publik eksternal, partai politik
harus menjaga kepercayaan yang diberikan dengan menunjukkan keterpihakan dan
kepedulian terhadap rakyat. Sebagai
contoh, partai politik berkewajiban membuktikan kepada rakyat bahwa para
anggota partai politik yang menjadi anggota legislatif di DPR atau DPRD tidak
berada di lembaga legislatif tersebut untuk mengumpulkan kekayaan untuk diri
dan partai politiknya semata melainkan juga untuk memperbaiki kesejahteraan
ekonomi rakyat. Jika mereka tidak
membuktikan hal tersebut seperti yang terjadi sekarang ini maka rakyat akan
marah dan menarik dukungannya terhadap keberadaan partai politik. Akibatnya pilkada, pilihan anggota
legislatif, dan pilpres akan sepi. Banyak rakyat yang tidak menggunakan hak
pilihnya atau golput. Besarnya golput menunjukkan besarnya
ketidakpercayaan atau distrust rakyat
terhadap partai politik.
Dalam membangun
citra organisasi, perlu diperhatikan beberapa macam citra sebagai berikut: (Jefkins, 1995: 17-20)
Citra
Bayangan (mirror image)
Citra Bayangan
adalah citra yang tercermin dari orang-orang yang menjadi bagian dalam
organisasi. Citra ini melekat misalnya
pada para anggota organisasi dan para pimpinannya. Citra Bayangan tidak selalu menggambarkan
keadaan yang sesungguhnya. Seringkali anggota organisasi dan pimpinan
beranggapan bahwa citra mereka di mata publik sudah baik. Padahal menurut kacamata publik tidak
demikian. Jadi citra ini bisa bersifat
subjektif. Barangkali hal ini terjadi
pada para anggota lembaga legislatif kita sehingga mereka tidak memiliki
kepekaan yang memadai untuk menakar bahwa rakyat saat ini sangat tidak respek
terhadap perilaku politik mereka yang tidak beradab atau berkeadaban.
Citra
yang Berlaku (current image)
Citra yang
Berlaku adalah citra yang dipersepsikan oleh publik eksternal terhadap suatu
organisasi. Citra yang Berlaku seringkali juga tidak tepat. Publik eksternal dapat saja kurang
mendapatkan informasi yang memadai mengenai keadaan organisasi yang sebenarnya.
Jika hal ini terjadi maka organisasi perlu melakukan fungsi korektif dan
konstruktif secara simultan.
Citra
yang Diharapkan (expected image)
Citra yang
Diharapkan merupakan citra yang diinginkan oleh manajemen suatu
organisasi. Citra yang diharapkan itu
dirumuskan dalam bentuk program-program yang akan dilaksanakan oleh Departemen
Public Relations dalam organisasi. Oleh
sebab itu Citra yang Diharapkan berisi hal-hal yang baik. Namun demikian publik eksternal tidak
mengetahui hal tersebut kecuali bila program-program itu telah dieksekusi oleh
organisasi.
Citra
Majemuk (multiple image)
Citra Majemuk
adalah citra yang dibentuk oleh bermacam-macam citra yang timbul dari mirror image , current image dan atau expected image. Citra ini sangat variatif dan tidak
menunjukkan citra organisasi yang sebenarnya.
Akibatnya jenis citra ini bisa menyesatkan. Organisasi harus menyikapinya secara cermat,
cerdas, dan bijaksana. Penyikapan yang
salah dapat mengakibatkan kerugian pada organisasi.
Citra
perusahaan (corporate image)
Citra perusahaan
merupakan citra yang komprehensif. Citra
ini mewakili keseluruhan profil perusahaan secara menyeluruh. Bersifat
intergral dan tidak parsial. Citra ini dapat terbentuk dari goodwill organisasi yang dipercaya
publik dalam durasi waktu yang lama, kinerja perusahaaan yang sangat teruji
dalam rentang waktu yang lama, prestasi
perusahaan yang tidak diragukan lagi, partisipasi
dan tanggung jawab sosial yang tinggi, kinerja finansial yang bagus, hubungan
industrial yang baik dan sebagainya. Citra
perusahaan seperti ini terbentuk melalui proses yang tidak sebentar. Citra perusahaan merupakan citra yang dapat
percaya dan dapat dijadikan pedoman bagi organisasi untuk melakukan
pengembangan diri (self development) secara tepat sesuai dengan persepsi publik yang
menjadi stakeholder-nya.
PUBLIC RELATIONS PILPRES 2014
Gegap gempita
pemilihan presiden (pilpres) 2014 masih terasa sampai hari ini. Sudah setahun pilpres berlalu namun di
berbagai tempat dan kesempatan, termasuk di jejaring media sosial, masyarakat tidak jemu untuk
mendiskusikan berbagai sisi pelaksanaan pilpres tersebut. Diskusi tersebut
dapat berwujud debat kusir yang kurang bermutu antar pendukung para calon
presiden (Jokowi dan Prabowo) dari komunitas akar rumput (grassroot), diskusi yang beraroma ilmiah dari para akademisi, atau
analisa kritis dari para pengamat politik, ekonomi, dan budaya.
Fenomena
tersebut mengisyaratkan bahwa pilpres
2014 merupakan peristiwa politik yang sangat membekas di hati
rakyat. Saat-saat pilpres merupakan
waktu yang benar-benar membawa emosi rakyat dipermainkan oleh ombak laut
dinamika politik yang berjalan begitu dahsyat di lapisan masyarakat akar rumput
dan elit. Berbagai siasat, intrik, dan
rekayasa politik dilakukan oleh partai politik-partai politik pendukung
masing-masing pasangan calon presiden untuk dapat mempengaruhi masyarakat untuk
mendukung capres yang dijagokannya.
Dalam kontestasi pilpres yang sangat ‘panas’ waktu itu berbagai cara
ditempuh oleh partai politik dan tim suksesnya untuk dapat memenangkan
‘jago’-nya. Jokowi didukung oleh Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) sedangkan Prabowo didukung oleh Koalisi Merah Putih
(KMP). KIH terdiri dari Nasdem, PDIP,
PKB, Hanura, dan PKP Indonesia. KMP
terdiri dari Gerindra, PAN, Golkar, PPP, PKS, dan PBB. (http://id.wikipedia.org/wiki/Koalisi_Indonesia_Hebat)
Menghadapi
persaingan kontestasi pemilihan
presiden yang demikian panas
tentu diperlukan strategi yang jitu.
Pilihan strategi yang tidak cermat dan keliru dapat menjadi bumerang
bagi calon presiden dan wakil presiden yang didukung. Pilpres 2014 telah membuktikan hal
tersebut.
Kemenangan Joko
Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia yang ketujuh atas pesaingnya Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa
tidak dapat dilepaskan dari keringat tim
Public Relations yang telahbekerja
keras untuk mewujudkan kemenangan tersebut.
Dalam upaya memenangkan pilpres 2014 itu baik KMP maupun KIH menggunakan
strategi public relations untuk
membangun citra positif masing-masing jagonya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Walter Lippman: “Public Relations is another name for political leadership”(Kusumastuti,
2002: 38) Artinya Lippman menyatakan
bahwa dalam dunia politik public
relations merupakan keniscayaan bukan pilihan. Namun sayangnya ternyata
dalam kontestasi ini masing-masing pihak juga menggunakan smear campaign (kampanye fitnah) atau black campaign (kampanye hitam) untuk meruntuhkan citra positif
pesaingnya. KMP secara sengaja membayar
Rob Allyn, praktisi public relations dan konsultan politik dari
Partai Republik, Amerika Serikat untuk
membantu kampanye pasangan Prabowo-Hatta.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Rob_Allyn) Prestasi Allyn
diantaranya telah berhasil menjadikan Vincente Fox sebagai Presiden Mexico pada
tahun 2000. Tahun 1994 Allyn juga
berhasil mendudukkan kembali George W Bush menjadi gubernur Texas untuk periode
kedua. Kerja Allyn untuk Prabowo-Hatta
dinilai sangat berhasil ketika mereka menanamkan ‘kebenaran palsu’ (informasi
bohong/fitnah) bahwa Jokowi itu keturunan Cina, non muslim, dan jokowi belum
sunat. Banyak orang tua di pedesaan yang tentu buta huruf
politik (politically illiterate)
berbisik-bisik, berbagi cerita, dan saling memberi tahu bahwa Jokowi itu Cina, non-muslim, dan belum atau tidak
sunat. Anak-anak kecil bahkan tidak berbisik-bisik tetapi berteriak-teriak
menginformasikan hal tersebut ketika mereka bermain dengan teman-teman
lainnya. Di tingkat masyarakat akar
rumput Allyn telah berhasil menjadikan Jokowi sebagai objek olok-olok. Tentu hal ini akan sangat potensial menggerus
perolehan suara Jokowi-JK. Bagi
masyarakat akar rumput hal-hal yang terkait dengan isu etnik dan agama
merupakan prinsip yang tak bisa ditawar
dengan apapun juga. Bahkan ketika misalnya diganti dengan strategi money politics (politik uang) semisal
melakukan ‘serangan fajar’ seperti yang lazim dilakukan dalam kontestasi politik
selama ini. Atas saran Allyn KMP juga
menerbitkan tabloid Obor Rakyat yang isinya seratus persen fitnah kepada
Jokowi. Itu benar-benar pembunuhan
karakter (character assasination). Untungnya tidak semua kyai di
pesantren-pesantren di pedesaan mau menelan mentah-mentah informasi di tabloid
tersebut. Bahkan sebagian tokoh agama
mempermasalahkan keberadaan tabloid tersebut yang masuk ke pesanrtren mereka
secara misterius. Ini barangkali yang tidak diprediksi Allyn secara lebih
cermat. Pada akhirnya black campaign yang berlebihan itu
membuat masyarakat antipati bahkan banyak berputar haluan mendukung
Jokowi-JK. Mungkin Allyn perlu membaca
lagi teks sosiologis para pemilih (voters)
di Indonesia yang mulai tercerahkan (rising
citizens). Situasinya sudah jauh
bergeser dari waktu ketika pakar sosiologi Clifford Geertz mengelompokkan
masyarakat Indonesia menjadi tiga bagian, yakni kaum priyayi, abangan, dan
santri.
KIH
mempekerjakan Stan Greenberg, pakar strategi politik asal Amerika Serikat juga
yang telah berhasil mengusung Bill Clinton sebagai presiden Amerika Serikat
untuk dua periode. (https://en.wikipedia.org/wiki/Stan_Greenberg) Barack Obama dan Nelson Mandela adalah dua
tokoh dunia lainnya yang pernah sukses
ditanganinya. Disamping mereka masih ada
11 tokoh dunia lainnya yang telah menikmati tangan dingin Greenberg. Kehebatan
Greenberg adalah keberhasilannya lewat
media sosial menggerakkan dan menggiring masyarakat, artis, pebisnis, pendidik,
tokoh lembaga swadaya masyarakat, aktivis, akademisi, pengamat dan mereka yang
kritis terhadap kebobrokan status quo untuk
menjadi pendukung jokowi yang disimbolkan sebagai pemimpin rakyat yang merakyat
karena kehidupannya yang sederhana, jujur, rendah hati, tulus, dan peduli. Greenberg mengetahui dengan baik superioritas
Jokowi dibandingka Prabowo adalah bahwa Jokowi menjadi antitesis status
quo. Adapun Prabowo lebih tampak akan
meneruskan status quo tersebut karena
masa lalu Prabowo yang sangat dekat dengan Orde Baru. Pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo pada
masa lalu walaupun belum pernah diselesaikan secara tuntas dan terbuka
tampaknya keterlibatannya juga telah
dapat dipahami oleh publik. Oleh sebab itu Steenberg lebih fokus pada
memperluas citra positif profil Jokowi daripada melakukan black campaign terhadap Prabowo.
Terbukti strategi ini berhasil.
Jika ditilik dari teori public
relations memang sebenarnya strategi public
relations yang benar itu bukan melakukan black campaign. Black campaign yang dilakukan untuk
merugikan orang lain, meskipun orang tersebut adalah pesiang, rival,
kompetitor, musuh, atau apapun namanya dalam teori public relations tidak dapat dibenarkan. Public
relatons wajib bekerja atas dasar moralitas, etika, objektifitas, dan mengabdi kepada kepentingan
umum. Prinsip ini tidak bisa dilanggar.
Ini menjadi codeof conduct. Pelanggaran
terhadap prinsip ini akan menimbulkan hal-hal yang counter productive dan justeru dapat menimbulkan dampak yang tidak
diharapkan sebelumnya.
Dalam
mengimplementasikan public relations
dalam dunia politik seharusnya para politikus atau lembaga politik (partai
politik) memanfaatkan strategi public
relations sebagaimana yang digunakan dalam dunia bisnis. Dalam dunia bisnis public relations
dimanfaatkan untuk membangun opini publik yang positif dan mengoreksi opini publik yang
negatif. Ketika membangun opini publik
yang positif itu organisasi bisnis tidak melakukan kebohongan publik dengan
menyebarkan informasi yang sebenarnya tidak ada namun membaik-baikkan
organisasi. Ketika mengoreksi opini publik yang negatif dan keliru maka
organisasi bisnis melakukan klarifikasi yang etis misalnya dengan mengadakan press conference (konperensi pers). Disamping itu organisasi melakukan kedua hal
tersebut tidak hanya dengan kata-kata, ucapan atau retorika. Organisasi bisnis melakukannya dengan
tindakan nyata. Tidak ‘No
Action Talk Only (NATO)’ seperti
yang jamak dilakukan oleh para politikus dan partai politik. Akibatnya, memang terasa benar oleh publik
bahwa public relations yang dilakukan
oleh kalangan partai politik merupakan tipu daya belaka. Jauh dari kebenaran, kejujuran, moralitas dan
etika. Hal ini makin diyakini publik
karena filosofi politik mengatakan bahwa dalam politik itu tidak teman atau
lawan yang sejati. Yang ada adalah kepentingan (interest) yang sejati. Hal
ini jelas tergambar dalam situasi politik kontemporer Indonesia saat ini. Ketika tujuan kegiatan politik adalah meraih
kedudukan atau kekuasaan dan adagium
politik mengatakan power tends to corrupt
and absolute power corrupts absolutely, meluruskan jalan politik dengan
mengimplementasikan strategi public
relations yang ethics and morality
based memang harus diupayakan secara sadar dan berkesungguhan. Kegiatan politik yang ‘value added’ sudah waktunya
dimulai karena rakyat telah mulai terdidik secara alamiah atau secara ‘laduni’ (tanpa melalui pendidikan
politik formal) membedakan politikus busuk yang mengkhianati kepercayaan rakyat
dan politikus yang berdedikasi memperjuangkan kesejahteraan hidup rakyat. Apabila partai politik-partai politik dan para politikus yang berada di
dalamnya terus- menerus lupa diri memelihara kepercayaan (trust) yang dititipkan rakyat kepada
mereka, maka proses distrust
(pengambilan kepercayaan) pasti akan terjadi dengan sendirinya. Pengingkaran terhadap implementasi
teori-teori public relations yang
benar itu hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap kejujuran, keadilan,
etika, dan moralitas yang menjadi
pondamen keberadaan public
relations. Partai politik dan
politikus bisa terkena ‘tulah’-nya
(akibat dari perbuaan jahatnya). Dalam
pilpres 2014 hal ini benar-benar terjadi.
CITRA
PARTAI POLITIK DALAM PILPRES 2014
Citra parpol
dalam pilpres 2014 sangat buruk. Publik melihat bahwa yang dilakukan oleh
parpol bukan membangun demokrasi secara tulus untuk membangun masa depan
Indonesia yang lebih baik. Pilpres bagi parpol tidak disikapi sebagai peluang
untuk memilih presiden yang terbaik bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pilpres bagi parpol merupakan peluang untuk melakukan investasi politik yang
ujungnya adalah adanya kepentingan ekonomi para elitnya. Oleh sebab itu negosiasi politik yang terjadi
bukan negosiasi yang bernuansa idiologis melainkan transaksi untuk berbagi
kepentingan ‘siapa dapat apa’. Hal ini
bertolak belakang dengan situasi politik tahun 50-an yang kehidupan
berpolitiknya sangat idealis dan jauh dari pragmatisme. Fakta ini pada akhirnya membuat masyarakat
apatis dan skeptis terhadap kegiatan politik.
Peristiwa-peristiwa politik yang penting seperti pilkada kurang menjadi
perhatian publik. Sebaliknya mereka
malah mencemooh karena mereka merasa hanya dimanfaatkan oleh para politikus dan
parpol. Apalagi sering mereka dibeli
dengan sepotong T Shirt atau uang bensin
lima puluh ribu rupiah. Suara
rakyat dihargai sangat rendah oleh para politikus. Rakyat pun makin memahami bahwa perilaku
politik partai politik secara keseluruhan mencerminkan jual beli kepentingan
jangka pendek yang pada ujungnya akan menyengsarakan rakyat dalam jangka
panjang. Singkatnya citra politikus dan
parpol sangat buruk pada mata rakyat.
Lalu, bagaimana parpol dan politikus melihat citra dirinya?
Pertama, sangat
mungkin parrpol dan politikus tahu persis bahwa citra mereka sangat buruk pada
mata publik. Namun demikian mereka nekad
saja. Bagi mereka cirra positif atau negatif tidak perlu dirisaukan. Bagi mereka yang paling penting adalah segera
mendapatkan keuntungan politis dan ekonomis .
Berpolitik bagi mereka tidak perlu mendengarkan hati nurani sendiri,
mendengarkan hati nurani rakyat, atau mengedepankan budaya malu untuk alasan
tertentu. Politik adalah pragmatisme bukan idealisme. Ia adalah pekerjaan atau profesi semata. Maka dari itu cara berpolitik mereka rendah
dan tidak bermartabat. Budaya politik
yang tumbuh sangat tidak elegan, murahan, dan bertabrakan dengan nilai-nilai
etika yang dimuliakan. Namun kemudian apakah mereka tergugah untuk memperbaiki
citra buruk mereka? Jawabannya adalah tidak.
Kedua, bisa jadi mereka tidak cukup memahami citra yang sebenarnya dan
apa pengaruhnya terhadap karir politik mereka pada masa depan. Untuk memahami pentingnya public relations siapa pun perlu mempelajari public relations.
Lembaga politik
dapat mengukur citranya berdasarkan pendapatnya sendiri secara subjektif. Ini
adalah mirror image yang menyesatkan.
Lembaga politik dapat pula melihat citranya dari para pendukung loyalnya yang
tidak mewakili persepsi dari keseluruhan publik. Current image ini pun tidak
memberi gambaran citra yang benar sehingga merugikan jika dipercaya.
Program-program yang direncanakan oleh lembaga politik untuk mendapatkan
simpati rakyat belum tentu juga dapat menggaransi akan terbentuknya citra
yang baik menurut publik. Expected image berulah angan-angan atau
harapan belaka. Multiple image yang
oleh lembaga politik dapat di-klaim sebagai
citra lembaganya itupun belum secara objektif merefleksikan citra
lembaga yang sebenarnya. Citra yang
paling terpercaya dan benar-benar menunjukkan kuaitas baik atau buruknya profil
suatu organisasi adalah corporate image. Sayangnya corporate
image DPR dan semua partai politik yang ada sekarang sangat buruk di mata
publik. Ini tentunya setelah publik
melihat perilaku politik partai
politik-partai politik dan para politikus, baik yang agamis maupun
nasionalis, yang terbiasa melanggar
norma-norma etika, moral, agama, hukum, dan sosial. Ketika bangsa Indonesia memiliki hajat besar
pilpres 2014 yang diharapkan dapat
menumbuhkan iklim demokrasi yang baik, ternyata mereka lah yang justeru tidak
membantu menumbuhkannya.
PENUTUP
Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga politik-lembaga politik di Indonesia
belum mengimplementasikan political
public relations dengan baik pada saat berlangsungnya pilpres 2014. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor
ketidakmengertian para politikus terhadap peran strategis public relations atau juga mereka memang tidak mau peduli dengan
hal tersebut. Kepentingan-kepentingan
politik jangka pendek dapat saja meng-kooptasi akal sehat untuk berbuat benar
sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang ada.
Memang masalah keterpurukan kehidupan politik bangsa saat ini bukan lah
karena kita tidak memiliki para politikus yang cerdas dan berkualitas secara
akademik melainkan karena rendahnya
akhlak mereka itu. Inilah yang memicu
terjadinya krisis multi dimensi, yaitu krisis moral atau akhlak. Krisis akhlak ini kemudian melahirkan krisis
kepemimpinan. Krisis ini tampaknya akan
terus berlanjut entah sampai kapan.
Abdurrachman, M.A, Oemi, Dasar-Dasar Public Relations, Penerbit
PT Aditya Sakti, Bandung, 2001
Austin, Claire, Public Relations yang Sukses dalam Sepekan (terj. Anton Adiwiyoto),
Megapoin (Kesaint Blanc), Jakarta, 2003
Coulson, Colin, Thomas, Public Relations: Pedoman Praktis untuk PR, Bumi Aksara. Jakarta, 1996
Jefkins, Frank,Public Relations (terj. Drs. Haris Munandar), Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1995
Kusumastuti, Frida, Dasar-Dasar Humas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002
Riyanto, SE, MM, Makmun, Hubungan
Masyarakat (Public Relations), Politeknik Negeri Semarang, Semarang, 2008
Internet:
http:// bisniskeuangan. kompas.com/ read /2013/09/23/1422169/Ini.
Alasan .Masyarakat. Ogah .Bayar .Pajak
http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/aliansi-seniman-jakarta-kirim-puluhan-jaban-kedpr.html? fb_comment_id=
957438701001883_ 957800154299071#f33392ddfc
http://wesleysinagabonar.
wordpress.com/2012/10/23/peran-pr-di-dpr-ri
http://id.wikipedia.org/wiki/Koalisi_Indonesia_Hebat
https://en.wikipedia.org/wiki/Rob_Allyn