Laman

METODE PEMBELAJARAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MEMBANGUN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN


Utami Tri Sulistyorini
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof.H.Sudarto, SH, Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS Semarang 50061


ABSTRACT
The objectives of this research are to explain the relationship between entrepreneurial orientation and entrepreneurial activities which is built from the implication of entrepreneurship learning method; to exploit the implication of entrepreneurship learning method toward the development of entrepreneurship behavior (i.e entrepreneurial orientation and activities); and to describe how entrepreneurial orientation and activities are develop. In order to achieve these objective qualitative research method is employed with case study approach.
The analysis unit of this research are students, entrepreneurship expert and education entrepreneurship expert. The result of this research shows that entrepreneurship learning method should be based on the activities which opens entrepreneurship thinking, builds entrepreneurial attitude, gives practical education and gives business experiences.  
The limitation of this research is there is no prior research of evaluative research about he successful of entrepreneurship learnin method in KP program study., those entrepreneurship learning method which is the result of this research very difficult to be applied. Therefore further research is suggested to evaluate entrepeneurship learning method.
Key-words: entrepreneurisal orientationorientasi, entrepreneurial activities and entrepreneurship learning method.

PENDAHULUAN
Apabila struktur penduduk di Jawa Tengah ini digambarkan dalam suatu piramida maka tonjolan yang paling nampak pada usia produktif, dimana usia produktif ini bukan merupakan angkata kerja yang memiliki keterampilan (unskilled labor). Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh sebagaian besar (>60%) penduduk usia produktif. (BPS, 2006). Padahal tingkat pendidikan dan keterampilan atau keahlian memiliki hubungan positif dan searah. Hal ini berarti se-makin tinggi tingkat pendidikan, maka tingkat keterampilan atau ke-ahlian juga tinggi. Di sisi lain pertumbuhan perusahaan mengalami penurunan secara relatif dari tahun ke tahun, terutama setelah resesi tahun 1998. Akibatnya pengangguran semakin tinggi, yang bukan saja disebabkan oleh unskilled labor namun juga skilled labor, karena sempitnya kesempatan kerja.
Berdasarkan tingkat keahllian dan keterampilan yang dibutuhkan, studi kelompok PSDM Bappenas menyatakan bahwa tingkat pengangguran Sarjana pada tahun 2002 sangat besar jumlahnya. Jumlah ini akan terus meningkat yang diikuti dengan jumlah pengangguran program D3. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekonomi ini membawa dampak yang tidak kecil bagi tenaga terdidik. Makin sempitnya kesempatan kerja baik di sektor riil maupun jasa, yang mengalami gulung tikar sejak adanya krisis ekonomi menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran di kalangan tenaga terdidik.
Di satu sisi kesempatan kerja di Jawa Tengah semakin sempit di sisi lain Politeknik Negeri Semarang terus meluluskan siswanya. Dengan kata lain Politeknik Negeri Semarang disadari ataupun tidak, telah berperan aktif di dalam menambah jumlah pengangguran khususnya di Jawa Tengah. Sebagai misal prodi KP, 50% lulusan memilih untuk melanjutkan studi, sedangkan sisanya mencari pekerjaan dimana hanya 25%nya yang terserap dalam kesempatan kerja. (Data prodi 2006). Hal ini akan terus berlangsung apabila tidak terdapat upaya untuk mengubah mindset di kalangan mahasiswa Politeknik Negeri Semarang. Kehidupan memang tidak dapat diubah namun pandangan tentang hidup dapat diubah. Perubahan ini dapat terjadi dengan tertanamnya “jiwa kewirausahaan” atau “spirit of entrepreneurship” yang mampu menumbuhkan budaya kewirausahaan dikalangan mahasiswa Politeknik Negeri Semarang. Dengan tumbuhnya budaya kewirausahaan, mahasiswa Politeknik Negeri Semarang tidak akan berfikir tentang “akan bekerja dimana mereka nantinya” atau bukan lagi menjadi job seeker melainkan “pekerjaan jenis apa yang mampu mereka kerjakan untuk mengembangkan diri mereka dan lingkungannya” atau menjadi job creator.
Jiwa kewirausahaan ini tampaknya cukup disadari oleh Politeknik Negeri Semarang. Hal ini tampak pada munculnya mata kuliah “kewirausahaan” ke dalam kurikulumnya, sebut saja prodi KP mata kuliah kewirausahaan diajarkan pada semester 4. Namun mata kuliah ini akan tidak ada manfaatnya apabila Politeknik Negeri Semarang tidak mengetahui benar untuk apa mata kuliah ini diselenggarakan ; apakah hanya untuk siswa sekedar tahu tentang kewirausahaan ataukah untuk menumbuhkan budayanya atau perilakunya sehingga mereka mampu berkembang setelah lulus nanti sebagai seorang wirausaha. Untuk itu diperlukan suatu penelitian, karena selama ini belum terdapat penelitian yang berkaitan dengan efektivitas metode Pembelajaran kewirausahaan. Dimana penelitian tentang efektivitas ini tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus dilengkapi dengan pembangunan metode Pembelajaran, yang sangat dibutuhkan Polines khususnya prodi KP saat ini.
Sikap positif mahasiswa terhadap kewirausahaan akan muncul jika mereka menyadari, bahwa tidak mudah untuk mencari pekerjaan dengan sempitnya lapangan kerja yang ada, dan tidak mudah untuk memulai usaha tanpa adanya tekad untuk mencapai keberhasilan. Oleh sebab itu, pendidikan harus menyediakan kurikulum untuk mendorong kesadaran mahasiswa ini, dimana kebanyakan kurikulum Perpengajaran Tinggi (termasuk Polines) hanya menghantarkan pada budaya kerja bukan budaya penciptaan pekerjaan. (Ussman, 1996), Fleming (1996) mendukung pendapat Ussman dengan menyatakan bahwa kurikulum pendidikan pada umumnya terkonsentrasi pada karir lulusan untuk bekerja pada perusahaan yang sudah mapan, hanya sedikit contoh kurikulum yang menghantarkan pada penciptaan kerja, seperti yang terjadi pada pendidikan tata niaga.
Mengacu pada pendapat Fleming di atas maka dapat dikatakan bahwa prodi Keuangan dan Perbankan (Prodi KP) memiliki kesempatan untuk menghantarkan lulusannya sebagai pencipta kerja. Kesempatan ini diperkuat dengan terdapatnya mata kuliah kewirausahaan di semester 4. Hanya saja banyak lulusan prodi KP yang setia pada statusnya sebagai pencari kerja. Sebagai contoh lulusan 2006/2007, lebih kurang 96 mahasiswa, 24 mahasiswa meneruskan ke jenjang pendidikan S1, sisanya sebanyak 50% mahasiswa terserap dalam lapangan kerja, sedangkan yang lainnya masih menunggu pekerjaan atau menjadi frictional unemployment. Tidak satupun mahasiswa yang menyebutkan ingin membuka usaha mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa Pembelajaran mata kuliah kewirausahaan tidak efektif.
Permasalahan yang sering muncul dalam Pembelajaran mata kuliah kewirausahaan , adalah bahwa mata kuliah ini disamakan metode Pembelajarannya dengan mata kuliah lainnya, tanpa menyadari bahwa mata kuliah kewirausahaan berkaitan dengan perubahan perilaku atau pembangunan budaya. Permasalahan inilah yang akan ditarik sebagai permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah metode Pembelajaran yang tepat untuk mata kuliah kewirausahaan.
Untuk menjawab permasalahan ini digunakan variabel – variabel pengukur penumbuhan kompetensi kewirausahaan yang disarankan oleh Mantyneva (1996), pada tingkat Pembelajaran sebagai berikut:
1)      Know - why, merupakan pemahaman akan kekuatan internal yang dimiliki oleh mahasiswa
2)      Know – how, merupakan kemampuan mahasiswa untuk menghasilkan kinerja, perencanan dan pengorganisasian.
3)      Know – who, merupakan kemampuan mahasiswa untuk bekerjasama.
4)      Know – when, merupakan kemampuan untuk memahami masalah (isu) utama.
5)      Know – what, merupakan kemampuan manajerial mahasiswa, dan pengelolaan informasi.
Selain itu juga digunakan tolok ukur yang disarankan oleh Klatt dan Gugelmino (1996) yaitu :
1)      Kreativitas
2)      Pemecahan masalah
3)      Perubahan

KAJIAN PUSTAKA
Konsep Dasar Kewirausahaan
Menurut Carre dan Thurik (2002) entreprenuership merupakan manifestasi kemampuan dan kemauan individual, baik sendiri, dalam tim, di dalam ataupun di luar organisasi untuk menciptakan peluang baru, dan mengenalkan ide mereka ke pasar , dalam upaya menghadapi ketidakpastian dan keterbatasan, melalui pengambilan keputusan lokasi, bentuk dan penggunaan sumberdaya dan lembaga. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa entrepreneurship merupakan karakteristik perilaku orang, bukan jabatan, ataupun sinonim dari industri kecil. Meskipun entreprenuership bukan merupakan sinonim dari industri kecil, namun industri kecil merupakan kendaraan bagi para individu untuk menyalurkan ambisi entrepreneurial mereka. (Lumpkin dan Des, 1996). Para individu yang menyalurkan ambisi entrepreneurial dikenal sebagai entrepreneurs.
Entrepreneur adalah seseorang yang mengkhususkan dirinya mengambil tanggung jawab dan membuat keputusan yang berdampak pada lokasi, bentuk, dan penggunaan produk, sumberdaya, atau institusi. (Herbert and Link, 1989). Definisi Herbert dan Link ini kurang mampu menggambarkan bagaimana entrepreneurs mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Schumpeter (dalam Carre dan Thurik, 20002) entrepreneur adalah individu yang melakukan fungsinya dengan  menciptakan kombinasi baru, atau pendapat Lumpkin dan Des (1996) yang menyatakan bahwa entrepreneur adalah individu yang mengenalkan produk baru atau produk yang telah ada ke pasar yang baru ataupun pasar yang telah ada.     
Terdapat tiga peran entrepreneurial yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yaitu; sebagai innovator (Schumpeterian entrepreneurship), sebagai pencari peluang keuntungan (Kirznerian entrepreneurship), dan pengambil risiko atas ketidakpastian (Knigtian entrepreneurship). (Carre & Thurik, 2002). Dari ketiga peran entrepreneurial di atas dapat dikatakan bahwa terdapat tiga dimensi sebagai tolok ukur keberadaan entrepreneurship di suatu perusahaan yaitu innovativeness, risk taking, dan proactiveness.

Orientasi Kewirausahaan
Lumpkin dan Des (1996) memperluas ke tiga dimensi ini menjadi lima dimensi yaitu autonomy, innovativeness, proactiveness, risk taking, dan competitive aggressiveness, dalam wadah yang mereka sebut sebagai orientasi entrepreneurial. Menurut Lumpkin dan Des orientasi entrepreneurial , merupakan proses, praktek, dan kegiatan pengambilan keputusan yang menuju pada aktivtas inovasi.
Autonomy merupakan kegiatan independen individual atau tim dalam menjabarkan ide atau visi dan melaksanakannya. Secara umum, autonomy berarti kemampuan berinisiatif dalam mengeksploitasi peluang. Dalam konteks perusahaan, autonomy merupakan kegiatan pembebasan diri dari hambatan – hambatan organisasional yang ketat. Meskipun faktor – faktor seperti ketersediaan sumberdaya, kegiatan pesaing, atau pertimbangan – pertimbangan internal organisasi mungkin mengubah inisiatif menangkap peluang, namun hal ini tidak mematikan proses autonomy yang mengarahkan pada aktivitas inovasi. Autonomy dalam industri kecil sering diukur dari bagaimana sering manager mendelegasikan wewenangnya dan para mengandalkan ahli.
Innovativeness merupakan kecenderungan perusahaan untuk terlibat dan mendukung hal baru, ide, penemuan, percobaan dan proses kreatif yang dapat menghasilkan produk, jasa, atau proses teknologi. baru. Meskipun innovativeness dapat berbeda dalam tingkat keradikalannya, namun innovativeness menunjukkan keinginan dasar untuk berangkat dari teknologi lama kearah teknologi yang dibutuhkan saat ini. Untuk mengukur innovativeness ini Lumpkin dan Des (1996,) menggunakan ukuran dari banyak ahli diantaranya; Hage (1980) mengukur innovativeness dari banyaknya professional dan spesialis; Miller (1989) mengukur innovativeness dari prosentase penjualan yang digunakan untuk membiayai inovasi; Zahra dan Covin (1993) mengukur innovativeness dari bagaimana perusahaan menekankan pada pengembangan teknologi dan membangun reputasi dengan mencoba metode dan teknologi baru; Saleh dan Wong (1993) mengukur innovativeness dari usaha – usaha fungsional perusahaan dan fleksibilitas perusahaan dalam mengadaptasi proses baru.
Proactiveness merupakan proses yang ditujukan untuk mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan mendatang dengan mencari peluang baru yang mungkin berhubungan atau tidak berhubungan dengan operasional saat ini, mengenalkan produk baru dan merek yang mengungguli pesaing; secara strategis menghapus kegiatan yang berada pada tahap kedewasaan atau penurunan dalam siklus kehidupan. Proactiveness dapat diukur dengan kecenderungan perusahaan untuk memimpin dari pada mengikuti dalam pengembangan prosedur, teknologi, dan baru.
Competitive aggresiveness merupakan harapan perusahaan untuk secara langsung dan intensif menantang pesaing dalam upaya menetrasi pasar dan memperbaiki posisi di pasar. Competitive aggressiveness merupakan bentuk lain dari responsiveness dalam persaingan frontal. Competitive aggressiveness juga menggambarkan kemauan untuk menggunakan cara tidak konvensional atau tradisional dalam bersaing, seperti menggunakan taktik terbaru untuk menghadapi pesaing, menganalisa dan menentukan target untuk kelemahan pesaing, memfokuskan produk yang bernilai tambah tinggi dengan secara hati – hati memonitor pengeluarannya. Untuk mengukur competitive aggresiveness ini Lumpkin dan Des (1996, hal. 149) menggunakan ukuran dari banyak ahli diantaranya; Covin & Covin (1990) mengukur competitive aggresiveness dengan menanyakan kepada manajer perusahaan tentang membiarkan atau tidak membiarkan pesaing hidup; MacMillan & Day (1987) mengukur competitive aggressiveness dengan mengukur keluasan dan kecepatan dalam memasuki pasar baru atau mengenalkan produk baru.. melalui percepatan waktu pengembangan produk baru.
            Risk taking merupakan perilaku perusahaan dalam bermain spekulasi terhadap bisnis yang dijalankannya seperti mengambil hutang dalam jumlah yang besar untuk investasi sumberdaya yang diharapkan menghasilkan tingkat pengembalian yang besar. Untuk mengukur risk taking  ini Lumpkin dan Des (1996, hal. 144) menggunakan ukuran dari banyak ahli diantaranya; Brockhaus (1980) mengukur risk taking dengan menanyakan pilihan perusahaan tentang penjualan yang sedang ataupun tinggi tapi dengan risiko yang lebih besar; Kahneman & Tversky, 1979) mengukur risk taking dari bagaimana masalah risiko dipetakan; Thaler & Johnson (1990) mengukur risk taking dari hasil pengambilan risiko sebelumnya; Slovic, Fichhoff, dan Lichtenstein (1980) mengukur risk taking dari kemampuan yang ditunjukkan di bawah tekanan risiko.

Kewirausahaan dan Pertumbuhan Ekonomi
Konsep entrepreneurhip telah diterapkan pada berbagai tingkat, sebagai contoh, individual, kelompok, dan keseluruhan organisasi. Entrepreneurhip sering diidentikkan sebagai upaya individual karena seringkali diasosiasikan dengan pengenalan penemuan revolusioner. (Kilby, 1971 dalam Lumpkin dan Des, 1996). Entrepreneurs juga dipandang oleh beberapa ahli sebagai domain dari bisnis kecil, sebab bisnis ini ber-tanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, dengan memasuki pasar yang belum terjamah. Dalam hal ini new entry merupakan kegiatan entrepreneurs, khususnya dari fenomena tingkat perusahaan. Dengan demikian new entry berkaitan dengan kegiatan individual, usaha kecil, unit bisnis strategi dari perusahaan besar. Oleh sebab itu entrepreneurhip terpusat pada kegiatan individual dalam perusahaan.
Yamada (2006) menyatakan sangat perlu untuk melihat entrepreneurship bukan saja dari perspektif mikro namun juga perspektif makro. Perspektif makro fokus pada determinan pertumbuhan perusahaan jangka panjang dan dampaknya, dimana entrepreneurs dapat menciptakan kekayaan. Perspektif makro dapat dibagi ke dalam dua kajian yaitu; (1) kajian yang mengidentifikasi faktor lingkungan yang mendorong pertumbuhan entrepreneurs, atau kajian berbagai budaya dari lokasi khusus yang mendorong pertumbuhan ekonomi; (2) kajian yang memfokuskan pada faktor institusional. Sedangkan perspektif mikro, memiliki dua pendekatan yaitu ; pendekatan deterministic emosional (motivasi aktivitas entrepreneurial) dan pendekatan deterministic social (latar belakang aktivitas entrepreneurial). Dua pendekatan ini dipandang terlalu sederhana, sehingga saat ini para peneliti mempertimbangkan aktivitas entrepreneurial melalui interaksi dengan faktor sosial yang mendukung dan mendorong perusahaan yang mandiri. Baik perspektif makro maupun mikro harus secara sistematik membangun kerangka kerja hubungan antara aktivitas entrepreneurial dengan lingkung-an yang melibatkan faktor eksternal dan internal.
Entrepreneurs memerlukan kendaraan untuk mentransformasikan kualitas personal dan ambisi mereka ke dalam kegiatan industri kecil dimana entrepreneurs memiliki kontrol penuh didalamnya merupakan kendaraan yang sesuai bagi mereka. Hasil dari manifestasi entrepreneurial adalah kebaruan melalui produk, proses, inovasi organisasi, memasuki pasar baru, dan sebagainya. Dapat dikatakan hasil aktivitas entrepreneurial tergantung pada : (1) Budaya lingkungan nasional dan regional, serta budaya internal perusahaan; (2) Kerangka institusional baik tingkat nasional dan di dalam perusahaan, menentukan insentif bagi individual untuk mengubah ambisi mereka ke dalam kegiatan, dan menentukan penghalang – penghalang kegiatan mereka. Pentingnya insititusi untuk pembangunan entrepreneurhip masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Carre dan Thurik (2006) menggambarkan hubungan entrepreneurhip dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana tersaji pada Gambar 1.


Gambar 1. Kerangkakerja Hubungan Entrepreneurship dan Pertumbuhan Ekonomi

Apabila kita cermati gambar di atas maka dapat dikatakan bahwa peran lembaga pendidikan dalam kaitan ini adalah prodi KP adalah pada penciptaan condition of entrepreneurship yaitu phsychological endowment yang mampu menumbuhkan crucial elements of entrepreneurship yaitu perilaku entrepreneurship (attitude, skill dan action)

Perguruan Tinggi dan Pendidikan Kewirausahaan
Perguruan Tinggi mendasarkan misinya pada tiga unsure yaitu pendidikan, penelitian dan masyarakat. Ke tiga unsure ini saling berhubungan. Pendidikan harus berdasar pada penelitian dan penelitian harus berorientasi pada masyarakat. Kritik yang sering dilontarkan kepada Perguruan Tinggi adalah bahwa PT terisolasi dari dunia nyata, penelitian hanya dalam laboratorium, melupakan kebutuhan nyata masyarakat, dan pendidikan merefleksi isolasi ini, akibatnya lulusannya sulit terserap dalam lapangan kerja.
Pasar tenaga kerja mengalami perubahan. Pendidikan tidak melindungi lulusannya untuk menjadi pengangguran. Saat ini generasi muda butuh mengetahui bagaiman mereka dapat bertindak fleksibel dalam ketidakpastian, dan merubah aturan yang terdapat pada pasar tenaga kerja. Pekerja konvensional mulai tidak dibutuhkan. Oleh sebab itu generasi muda harus belajar nilai baru seperti inovasi, fleksibilitas, dan berbagai macam kompetensi, karena mereka harus berfikir untuk menciptakan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri. (Halme, 1996). Untuk itu generasi muda harus memiliki orientasi entrepreneurial, dan Perguruan Tinggi dapat berpartisipasi menanamkan orientasi entrepreneurial yang akan mendorong generasi muda melakukan aktivitas entrepreneurial. Perguruan Tinggi dapat berpartisipasi dengan dua cara yaitu : mengambil bagian dalam aktivitas yang membawa mahasiswa kearah penciptaan usaha, dan mendesain kurikulum yang mempersiapkan kemandirian mahasiswa sebagai dasar penciptaan lapangan kerja bagi diri mereka sendiri.
Dengan demikian revisi kurikulum sangat dibutuhkan, bukan saja yang berkaitan dengan isi mata kuliahnya, namun juga metode Pembelajarannya. Pendidikan secara normal berorientasi pada transmisi pengetahuan. Transmisi ini penting, namun transmisi kompetensi, keterampilan, sikap dan nilai juga sangat penting. Pendidikan tidak boleh hanya mentransfer pengetahuan secara sistematik, melainkan membangun keterampilan yang dibutuhkan generasi muda bagi masa depannya. Jika pendidikan ingin membawa generasi muda pada kemampuan penciptaan kerja, maka pendidikan harus mendidik generasi muda berbeda dengan pendidikan yang dilakukan sebelumnya.
Mantyneva (1996) menyarankan kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi wirausaha, yaitu sebagaimana tersaji pada Tabel 1.



Level of Learning
Abilities
The context
Know – why
Internal strength
Self confidence; Working under pressure; Flexibility; Courage to take risks; Commitment
Know – how
Ability to perform

Planning and organizing
Energy; Initiative; Innovativeness; Persistency
Analytical thinking; Systematical approach; Ability in organizing
Know – who
Ability to co – operate
Networking abilities; Cooperativenss; Ability to communicate and listen; Customer focus; Supporting others
Know – when
Understanding the core issues
Instinct for business; Intuitiveness; Anticipation
Know – what
Managerial abilities

Information management
Understanding people; Mentoring leadership; Guiding people’ Expertise; Wide – coverage;’ Learning dan managing; information; Understanding organizational aspects

Tabel 1. Kompetensi Wirausaha


Sedangkan Klatt dan Gugelmino (1996) menyatakan bahwa kompetensi yang dibutuhkan untuk membangun usaha adalah kreativitas, pemecahan masalah dan perubahan. Meskipun Pembelajaran merupakan bagian kecil dari pengajaran, namun pada saat yang bersamaan mahasiswa belajar merencanakan, mengorganisasikan, keterampilan komunikasi, intuisi, dsb. Kompetensi – kompetensi ini membutuhkan desain kurikulum yang baru. Dalam kaitan ini Perguruan Tinggi harus melibatkan

mahasiswa untuk berpartisipasi dalam proses Pembelajaran. Semakin tinggi peran mahasiswa semakin besar kemungkinan mahasiswa menyesuaikan kebutuhannya.

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS PENELITIAN

Kerangka teoritis yang dibangun berdasarkan pada model yang dibangun oleh Caree dan Thurik (2006), Lumpkin dan Des (1996), dan Mantyneva (1996)

























 











Gambar 2. Model Pembelajaran Kewirausahaan


METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan digunakannya pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena studi yang akan dilaksanakan merupakan penelitian tentang pola berfikir (orientasi) dan perilaku individu dalam hal ini mahasiswa Pola berfikir dan perilaku meskipun tidak muskil namun sangat sulit untuk diangkakan, oleh sebab itu pendekatan kualitatif menjadi lebih tepat.
Studi yang akan dilakukan direncanakan menggunakan studi kasus yang mengacu pada agenda penelitian mendatang Lumpkin dan Des (1996). Menurut Lumpkin dan Dess penelitian kewirausahaan harus diperluas ke dalam penelitian perilaku wirausaha dalam meningkatkan kinerja dan posisi bersaing dengan menggunakan metode studi kasus. Selain itu metode studi kasus ini dipilih karena studi yang akan dilaksanakan ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana orientasi dan peilaku kewirausahaan dibangun.
Menurut Yin (2002) studi kasua merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan kondisi kontekstual yang diyakini sangat berarti bagi fenomena penelitian yang ada. Dalam penelitian ini studi kasus akan digunakan untuk menjelaskan asumsi hubungan yang terlalu kompleks antara metode Pembelajaran kewirausahaan dengan orientasi dan aktivitas entrepreneurial..
Sesuai dengan tujuan penelitian maka jenis studi kasus yang dipilih adalah studi kasus eksploratori dan eksplanatori, yang merupakan multi kasus. Untuk mengatasi kelemahan dari studi kasua, dalam penelitian ini digunakan acuan referensi sehingga paling tidak prosedur sistematis dapat dikembangkan dalam studi kasus ini.

Unit Analisis
Unit analisis penelitian ini adalah wirausaha di Kota Semarang dan mahasiswa prodi KP. Pemilihan unit analisis ini berdasarkan pada Fleming (1996) bahwa pendidikan tata niaga memiliki kesempatan untuk menghantarkan lulusannya menjadi job creator, namun untuk itu diperlukan masukan dari para wirausaha yang telah berhasil
Jumlah unit analisis yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu mahasiswa prodi KP yang telah mendapatkan mata kuliah kewirausahaan sebanyak 10 orang, dan 1 orang pakar kewirausahaan.

Uji Kualitas dan Instrumen Penelitian
Uji kelayakan instrument ini akan dilakukan melalui ( Yin, 2002) :
1)      Construct validity ; yaitu dengan menyediakan ukuran operasional yang benar untuk konsep yang diteliti. Ukuran yang disediakan dalam studi yang akan dilakukan ini adalah dasar teoritis dari penelitian – penelitian terdahulu yang berkaitan dengan metode Pembelajaran kewirausahaan dengan orientasi dan aktivitas entrepreneurial.
2)      Internal validity. Karena penelitian ini merupakan studi kasus eksplanatory, maka validitas internal dibutuhkan. Dalam kaitan uji validitas internal penelitian akan dilakukan dengan cara membandingkan data di lapangan dengan model yang menjelaskan hubungan antara metode Pembelajaran kewirausahaan dengan orientasi dan aktivitas entrepreneurial.
3)      Reliability. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji ulang hanya untuk beberapa subyek yang diteliti, yang merespon baik. Uji ulang ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa instrumen penelitian yang digunakan adalah dapat dipercaya.

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakuan dengan dua cara yaitu : (Yin, 2002)
1)      Indepth interview. Dalam penelitian ini peneliti akan bertanya secara mendalam kepada subyek yang diteliti kenyataan yang terjadi dan pendapat mereka mengapa  metode Pembelajaran kewirausahaan, orientasi dan aktivitas entrepreneurial perlu dibangun, serta bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan dengan orientasi dan aktivitas entrepreneurial dibangun.
2)      Observation. Dalam pengumpulan data peneliti akan melakuan interaksi secara pasif dengan subyek yang diteliti untuk melihat bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan, orientasi dan aktivitas entrepreneurial. dibangun.

Metode Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : (Yin, 2002)
1)      Pattern – matching : Dalam penelitian ini pola – pola empiris yang telah dibangun dibandingkan dengan prediksi di lapangan. Yang dimaksud dengan pola – pola empiris disini adalah kerangka pemikiran teoritis yang telah dibangun sebelumnya
2)      Explanation Building. Penelitian ini akan melakukan analisis data melalui pembangunan penjelasan tentang kasus yang diteliti. Yang dimaksudkan disini adalah penjelasan tentang bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan , ientasi dan aktivitas entrepreneurial dibangun. Meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama namun karena jenis penelitian ini adalah studi kasus eksplanatori maka analisis data ini sebaiknya dilakukan.
3)      Logic model. Penelitian ini akan menguji data di lapangan atau jawaban subyek yang diteliti berulang kali untuk melihat perubahan proses bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan, orientasi dan aktivitas entrepreneurial dibangun. Pelaksanaan pengujian dilakukan dengan penyesuaian data empiris hasil observasi dengan teori yang dijadikan referensi.

ANALISIS DATA
Hasil Uji Construct Validity
Hasil uji ini menunjukkan bahwa ukuran operasional yang digunakan berkaitan dengan indicator – indicator Pembelajaran kewirausahaan, orientasi dan aktivitas entrepreneurial dilihat dari jawaban – jawaban responden dari hasil wawancara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrument penelitian yang digunakan adalah valid.

Hasil Uji Internal Validity
Hasil uji ini menunjukkan bahwa perbandingan di lapangan dengan model yang menjelaskan hubungan antara metode Pembelajaran kewirausahaan dengan orientasi dan aktivitas entrepreneurial menunjukkan kesesuaian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen penelitian yang digunakan memiliki validitas internal.

Hasil Uji Reliability
Karena desain penelitian ini adalah kualitatif maka wawancara dilakukan lebih dari satu kali. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden konsisten dengan jawaban yang ada sehingga dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh adalah reliable.

Hasil Uji Pattern - Matching
Dalam penelitian ini pola – pola empiris yang telah dibangun dibandingkan dengan prediksi di lapangan. Yang dimaksud dengan pola – pola empiris disini adalah kerangka pemikiran teoritis yang telah dibangun sebelumnya. Untuk membandingkan pola empiris dengan data di lapangan digunakan pedoman – pedoman pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1)      Setelah menerima ijazah kelulusan apa yang ingin saudara lakukan ?
2)      Apabila saudara diajak bekerjasama sama untuk membangun bisnis apakah saudara bersedia?
3)      Apabila saudara memiliki uang, apa yang ingin saudara lakukan ?
4)      Menurut saudara apa potensi yang saudara miliki ?
5)      Apakah dengan potensi saudara miliki, saudara akan mampu membangun usaha ?
6)      Menurut saudara apa saja yang dibutuhkan untuk membangun usaha ?
7)      Apakah pengertian kewirausahaan itu ?
8)      Apa saja yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha agar dia berhasil ?
9)      Apakah kuliah kewirausahaan yang telah anda peroleh di semesterl 6, bermanfaat bagi saudara ?
10)  Apabila bermanfaat manfaat apa yang saudara peroleh ?
11)  Menurut saudara sudah mampukah mata kuliah kewirausahaan yang ada meng hantarkan saudara menjadi job maker ?
12)  Menurut saudara adakah kelemahan dari mata kuliah kewirausahaan yang saudara peroleh ?
Ke tiga belas pertanyaan ini kemudian diujikan dengan mengambil sebanyak 10 orang mahasiswa yang telah mendapatkan mata kuliah kewirausahaan sebagai responden. Pola pengujiannya adalah dengan wawancara. Hasil pengujiannya dapat dilihata dari tabel – tabel di bawah ini.
90% responden lebih memilih mencari pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan pekerjaan, meskipun dengan alas an yang berbeda – beda. Sehingga dapat dikatakan bahwa mata kuliah kewirausahaan di prodi KP belum mampu menghantarkan mahasiswa menjadi job maker.
Meskipun responden belum mampu mengubah statusnya menjadi job maker namun apabila mereka mendapatkan kesempatan untuk membangun bisnis 70% responden menyatakan bersedia. Hal ini berarti bahwa responden sudah memiliki orientasi entrepreneurial namun untuk merefleksikannya menjadi aktivitas entrepreneurial masih memerlukan tekanan dan ketersediaan fasilitas.
Minat penggunaan uang masih pada pemenuhan kebutuhan sehari – hari, terutama apabila jumlah tersebut cukup besar, kecenderungan penggunaannya adalah untuk membeli motor. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas entrepreneurial bukan merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan meskipun mereka memiliki dana untuk itu. Atau dapat dikatakan responden terlalu sayang untuk membelanjakan uangnya pada kegiatan yang mengandung risiko atau aktivitas entrepreneurial.
Sebenarnya semua responden memiliki keyakinan bahwa potensi diri yang dapat menjadi dasar keberhasilan berwirausaha, namun mereka belum tahu bagaimana menggunakan potensi tersebut untuk menjadi seorang wirausaha yang berhasil.
Terdapat 9 faktor yang dideteksi oleh responden mampu digunakan sebagai dasar keberhasilan membangun suatu usaha. Faktor yang dinilai sangat penting adalah daya juang dan kreatifitas. Daya juang inilah yang tampaknya menjadi kendala responden untuk melakukan aktivitas entrepreneurial karena apabila dilihat dari hasil tabel - tabel sebelumnya responden dapat dikatakan belum memiliki daya juang.
60% responden menyatakan bahwa wirausaha identik dengan job maker dan kewirausahaan identik dengan kegiatan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan kemauan, kerja keras, tekun dan kreatifitas menjadi factor pengaruh keberhasilan wirausaha. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya responden memahami ciri – ciri wirausaha ataupun memahami bagaimana seorang wirausaha dapat berhasil namun bukan berarti pemahaman ini akan mendorong responden menjadi seorang wirausaha.
60% responden mengakui manfaat matakuliah kewirausahaan namun semua responden menganggap bahwa mata kuliah kewirausahaan ini terlalu teoritis, sehingga manfaat ini hanya dirasakan namun belum dapat sampai pada pembentukan orientasi kewirausahaan.

Hasil Uji Explanation Building
Penjelasan tentang bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan yang sebaiknya dilakukan agar tertanam orientasi kewirausahaan dan aktivitas entrepreneurial dilakukan melalui uji explanation building, yang berdasar pada hasil uji pattern – matching.  Dalam kaitan ini digunakan dua unit analisis yaitu mahasiswa, dua pakar pendidikan kewirausahaan kewirausahaan.

Metode Pembelajaran Kewirausahaan Menurut Pakar Kewirausahaan.
Metode Pembelajaran kewirausahaan harus meliputi dua hal yaitu jiwa dan dimensi kewirausahaan.
1)      Jiwa Kewirausahaan
Kewirausahaan adalah jiwa, bukan bidang/jenis pekerjaan. Oleh karena itu, yang terpenting adalah pengembangan jiwa kewirausahaan. Pengertian-pengertian tentang kewirausahaan hanya merupakan faktor pendukung dalam upaya pengembangan jiwa tersebut.
Karena yang terpenting adalah jiwa, maka kewirausahaan bisa diterapkan oleh seseorang dalam posisi apa pun. Dia bisa seorang pengusaha, petani, peternak, pegawai negeri, atau bahkan mahasiswa. Itulah sebabnya, dikenal pula istilah intrapreneurship, bukan hanya entrepreneurship. Entrepreneurship adalah jiwa kewirausahaan untuk berusaha sendiri secara mandiri, adapun intrapreneurship adalah jiwa kewirausahaan yang bisa diterapkan oleh siapa pun dengan posisi apa pun.
Titik berat bahwa kewirausahaan adalah jiwa itu sangat penting, agar kita tidak terjebak pada pandangan bahwa kewirausahaan hanya dimaknai sebagai semangat untuk mendirikan usaha sendiri. Bangsa Indonesia, terutama generasi mudanya, sangat memerlukan jiwa kewirausahaan dalam arti entrepreneurship maupun intrapreneurship tersebut.
Dalam konteks pemikiran seperti inilah, sebenarnya pengembangan kewirausahaan sangat penting dilakukan di perpengajaran tinggi. Tujuannya, agar para mahasiswa memiliki jiwa entrepreneurship dan intrapreneurship, sehingga di mana pun kelak bekerja mereka bisa mandiri.
Jiwa tersebut bisa diciptakan, bukan merupakan faktor keturunan. Dimensi jiwa kewirausahaan: need of achievement          (kebutuhan untuk mencapai cita-cita), risk taker (berani mengambil risiko), independency (mandiri dalam bertindak), creativity (kreatif dalam menangani masalah), dan innovative          (selalu berinovasi untuk berkembang).
2)      Dimensi Kewirausahaan
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka tujuan dan materi kuliah Kewirausahaan sebaiknya diarahkan pada pengembangan jiwa entrepreneurship dan jiwa intrapreneurship. Pada akhir mata kuliah mahasiswa memahami secara benar dan memiliki jiwa entrepreneurship dan jiwa intrapreneurship. Hal yang mendasar dalam hal ini adalah: mengembangkan dimensi jiwa kewirausahaan!
Materi kuliah tidak hanya bersifat teoretik, melainkan juga dilengkapi dengan studi-studi kasus dan kuliah lapangan di perusahaan-perusahaan. Dengan begitu, mahasiswa bisa secara langsung memahami intisari jiwa kewirausahaan tersebut.
Materi kuliah yang mungkin bisa dipertimbangkan antara lain:
I.       Pengantar Kewirausahaan:
·   Meluruskan pemahaman yang selama ini (mungkin) keliru, yang menganggap kewirausahaan merupakan bidang pekerjaan dan faktor keturunan.
·   Bahwa di dalam entrepreneurship ada intrapreneurship, yaitu semangat/jiwa kewirausahaan yang bisa diterapkan meskipun seseorang tidak mendirikan usaha sendiri (mereka bisa saja pegawai negeri, mahasiswa, karyawan swasta, dll)
II.    Membangun Jiwa Kewirausahaan:
·   Faktor-faktor yang memengaruhi seseorang membangun jiwa kewirausahaan, antara lain: ragu-ragu untuk memulai, takut gagal, kurang berani bersaing. Dalam hal ini ada pengaruh kultural, sehingga kepada mahasiswa harus ditanamkan dimensi kewirausahaan (need of achievement, risk taker, independency, creativity, dan innovative.
·   Menanamkan/memotivasi mahasiswa untuk bermental pemenang (the winner), bukan mental pecundang (the loser). Buku yang bisa menjadi acuan adalah: Shiv Khera, “You Can Win – Winners Don’t Do Different Things, They Do Things Differently,” Prentice Hall, Singapore, 1998.
III. Mental Block:
·   Memberi pengertian kepada mahasiswa tentang mental block, yaitu: kondisi kejiwaan yang menghambat seseorang untuk memulai suatu tindakan. Hal itu dipengaruhi oleh antara lain: didikan orang tua, kondisi lingkungan, kultur masyarakat, pengalaman masa lalu, dan sifat dasar.
·   Memotivasi mahasiswa untuk keluar dari “belenggu” mental block, sehingga bisa berpikir positif (positive thinking). Dengan demikian, mahasiswa siap terjun ke kehidupan nyata dan bersaing dalam persaingan hidup yang makin ketat. 
IV. Belajar dari Orang Sukses:
·   Kuliah lapangan di beberapa perusahaan, melihat langsung proses kerja di perusahaan tersebut.
·   Diskusi dengan pemilik perusahaan tentang kisah sukses mereka.
V.    Diskusi Kelas:
·   Mendiskusikan hasil kuliah lapangan, sehingga menstimulasi mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas berpikir tentang jiwa kewirausahaan.
·   Mendiskusikan studi-studi kasus, sehingga membangun pemahaman secara benar tentang jiwa kewirusahaan.                                             

Metode Pembelajaran Kewirausahaan Menurut Pakar Pendidikan Kewirausahaan.
Berbeda dengan pakar kewirausahaan yang lebih terapan pakar pendidikan ini melakukan pendekatan sesuai dengan pola pendidikan yang dimulai dari hakekat pendidikan, model Pembelajaran dan evaluasi.

A.    Hakekat Pendidikan Kewirausahaan
      Hakekat dari program kuliah kewirausahaan pada dasarnya merupakan proses Pembelajaran penanaman tata nilai kewirausahaan melalui pembiasaan dan pemeliharaan perilaku dan sikap. Oleh sebab itu dalam pendidikan kewirausahaan harus berpegang pada beberapa prinsip seperti :
a.      Humanistic
§  Setiap siswa merupakan manusia utuh dan memiliki potensi  yang bersifat menyeluruh, baik jasmani maupun rohani.
§  Setiap siswa memiliki kebutuhan seperti menurut pendapat Rouche, yaitu kebutuhan fisik (lelah), mengemukakan pendapat, dihargai, mendapatkan kejelasan, berbicara dan sebagainya.
§  Suasana belajar yang manusiawi akan mampu melibatkan semua aspek taksonomi, baik kognitif, afektif maupun psikomotorik siswa.  Suasana manusiawi yang dimaksud adalah suasana kekeluargaan, hangat, terbuka, obyektif, jujur dan bebas dari segala bentuk paksanaan apapun juga.
b.      Student’s Centre and Value Based’s Teacher. Berdasarkan ketuntasan belajar dari setiap siswa, namun pengajar memiliki pedoman dan target dari setiap materi yang diajarkan.
c.       Pengajar harus mampu membangkitkan daya kreativitas dan inovasi yang dimiliki siswa.  Penampilan, sikap, kepribadian dan penguasaan pengajar akan proses Pembelajaran akan sangat menentukan keterlibatan dan keterikatan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, sebagai tahap dari penggalian nilai-nilai kreativitas dari dalam diri siswa.
d.      Metoda Pembelajaran hendaknya disajikan  dalam bentuk yang dapat dipahami, diresapi dan dihayati siswa. Pengajar hendaknya mampu mengubah konsep materi ke dalam bahasa siswa, atau dalam bentuk penerapan pada gejala kehidupan riilnya. Sehingga diharapkan materi sajian teoritik keilmuan  dapat diubah menjadi stimulus yang merangsang aspek kognitif, afektif dan psikomotorik siswa.
Selain berdasarkan prinsip – prinsip di atas metode Pembelajaran kewirausahaan sebaiknya mengacu pada pola Pembelajaran sebagai berikut :
·         Penanaman Sikap. Penanaman sikap dilakukan melalui pembiasaan dan pemberanian melakukan sesuatu. Kadang-kadang harus melalui “tekanan”, “keterpaksaan” dalam arti positif antara lain dengan cara pemberian batas waktu (deadline)
·         Pembukaan Wawasan, dilakukan melalui kegiatan seperti:; ceramah, diskusi, mengundang lulusan yang berhasil, mengundang wirausahawan agar menceritakan keberhasilan dan kegagalan yang pernah mereka alami atau mengunjungi perusahaan;; dan pengamatan langsung melalui pemagangan atau studi banding.
·         Pembekalan Teknis. Bertujuan memberi bekal teknis dan bermanfaat bagi perjalanan  hidup anak didik, bukan ilmu yang muluk-muluk
·         Pembekalan pengalaman awal. Bertujuan mendorong anak didik berani “melangkah”, merasakan kenikmatan keberhasilan dan belajar dari pahitnya kegagalan.
Pola Pembelajaran ini sebaiknya memiliki tujuan dan fungsi mata kuliah kewirausahaan. Adapun tujuan matakuliah antara lain:
·         Membuka wawasan kewirausahaan
·         Menanamkan sikap kewirausahaan
·         Memberikan bekal pengetahuan praktis
·         Memberikan pengalaman awal berusaha
Sedangkan fungsi mata kuliah kewirausahaan antara lain :
·         Memberikan bekal kemampuan kecerdasan dasar emosional yang merupakan keterpaduan sinergistik antara kemampuan intelektual, teknikal dan kualitas pribadi (kemampuan personal dan sosial)
·         Mempersiapkan para calon lulusan yang memiliki jiwa dan semangat wirausaha dan mampu tampil berprestasi dimanapun bekerja dan mampu beradaptasi menghadapi perubahan di masyarakat
·         Mempersiapkan siswa untuk mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri/masyarakat sekitarnya.
Hal berikutnya yang harus diperhatikan adalah dalam pola Pembelajaran mata kuliah kewirausahaan sebaiknya dilakukan pengintegrasian nilai – nilia wirausaha ke dalam mata kuliah dengan prinsip – prinsip sebagai berikut :
·         Integrasi atau pengintegrasian adalah usaha sadar dan terencana  (terprogram) pengajar, dengan tujuan memadukan (tujuan antara) nilai-nilai kewirausahaan ke dalam proses Pembelajaran sehingga terjadi internalisasi dan personalisasi (mempribadi) nilai-nilai kewirausahaan untuk diketahui, dipahami, dihayati dan dilaksanakan (in action) secara tetap (konsisten).
·         Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan sejalan dengan konsep kurikulum yang menekankan pada kemampuan melakukan (kompetensi) berbagai tugas dengan standar  performasi tertentu, sehingga hasilnya berupa penguasaan seperangkat kompetensi tertentu, sebagai gabungan pengetahuan, keterampilan, nilai sikap dan minat sebagai hasil belajar yang refleksinya  adalah berupa kebiasaan berpikir dan bertindak ekonomis ketika menghadapi masalah.
·         Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan hendaknya memperhatikan potensi lokal daerah masing-masing, sesuai dengan lokasi/tempat siswa tinggal. Pertimbangan lain adalah heterogenitas latar belakang siswa, seperti kehidupan keluarga, sekolah, masyarakat, dan usia tingkat perkembangan siswa, yang pada gilirannya siswa akan memiliki jiwa berwirausaha dan memiliki kesadaran tinggi untuk mengaktualisasikan potensinya secara cerdas dalam kehidupan bermasayarakat.
·         Pengintegrasian mata kuliah kewirausahaan hendaknya menekankan pembentukan jiwa wirausaha yang terkandung dalam materi ajar yang sedang dibahas, sehingga pengajar tidak perlu mencari bahan khusus guna pembentukan  jiwa wirausaha.
·         Dalam Pembelajaran kewirausahaan, peranan pengajar sangat penting dan menentukan. Secara metodologis sulit untuk dijelaskan, namun kreatifitas pengajar merupakan model terbaik bagi siswa. Mengajak siswa mempraktekkan nilai-nilai kewirausahaan, merupakan contoh konkrit bagi pengajar dalam mengimplementasikan nilai-nilai kewirausahaan dalam kehidupannya sehari-hari.

B.     Model Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran merupakan serangkaian pengalaman belajar yang berwujud aktivitas-aktivitas belajar dalam upaya mengejar penguasaan kompetensi dasar dan indikator Pembelajaran. Pengalaman  belajar dapat dilakukan di dalam maupun di luar kelas, bahkan di luar sekolah sesuai dengan kompetensi dasar dan materi Pembelajaran serta kemampuan siswa yang melakukan kegiatan. Selain itu, pengalaman belajar harus mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan. Bentuk pengalaman belajar dapat berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan dan keahlian.
Alokasi waktu mata kuliah yang diintegrasikan dengan nilai-nilai kewirausahaan seyogyanya memperhatikan kriteria dalam penentuan alokasi waktu, antara lain:
§  Banyaknya materi
§  Cakupan materi (kedalaman, keluasan)
§  Kompleksitas materi
§  Frekuensi penggunaan materi
§  Urgensi materi
Pembelajaran nilai-nilai kewirausahaan yang diintegrasikan ke dalam mata kuliah tertentu menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. Sumber belajar adalah materi ajar yang berasal dari berbagai sumber dalam mata kuliah tertentu tersebut yang memenuhi kriteria edukatif, dan tetap menekankan pada kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal serta tetap mengacu  pada  ketuntasan  belajar  siswa.
Kegiatan inti untuk menarik perhatian siswa sehingga termotivasi aktif dan kreatif, maka perlu  memperhatikan hal-hal berikut:
§  Nilai-nilai kewirausahaan yang diintegrasikan pada mata  kuliah tertentu dikaitkan dengan apa yang sudah dipahami dan dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun tidak langsung (Pembelajaran konstektual).
§  Memberikan kebebasan dan bimbingan kepada siswa dalam memahami (konseptualisasi) materi nilai-nilai kewirausahaan yang sedang dibahas (Pembelajaran pencapaian konsep dan konstruktivime)
§  Mengupayakan penciptaan kegiatan yang memungkinkan siswa bekerjasama, kolaborasi dalam memahami nilai-nilai moralitas yang sedang dibahas (Pembelajaran kooperatif)
§  Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencobakan atau menerapkan materi yang telah dipelajari.
§  Menggunakan berbagai media Pembelajaran guna memfasilitasi siswa dalam mempertajam dan memahami nilai-nilai kewirausahaan yang sedang dipelajari.
§  Memelihara kedisiplinan dan tanggungjawab siswa selama proses Pembelajaran, sekaligus menghindari kegiatan yang berdampak membosankan, mengendurkan semangat belajar dan berakhir dengan gangguan aktivitas dan kreativitas belajar siswa.
§  Pembelajaran diarahkan untuk membiasakan siswa melakukan observasi cermat terhadap realitas kehidupan sekitar (lokal, regional, nasional dan global)
§  Pengajar selalu menjadi teladan dalam berpikir, bersikap dan bertindak dalam mengimplementasikan nilai-nilai kewirausahaan yang seharusnya dilakukan.
Dalam  membekali siswa agar mampu beradaptasi di masyarakat menghadapi berbagai perubahan, seperti tersirat pada penjelasan di atas, diperlukan  strategi Pembelajaran yang menunjang, antara lain adalah sebagai berikut:
·         Penanaman  sikap dan perilaku wirausahawan, dilakukan melalui pembiasaan  dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat.
·         Kegiatan tatap muka dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi awal, diskusi, penugasan, dan pendampingan.
·         Pelaksanaan mata kuliah kewirausahaan pada kompetensi “Mengelola Usaha Kecil”, diupayakan terkait dengan kegiatan mata kuliah produktif.
·         Pengajar/pembimbing harus menggunakan berbagai metode Pembelajaran yang variatif (tutorial, penugasan, dan pengalaman langsung)

Metode Pembelajaran.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa hakekat mata kuliah Kewirausahaan adalah menanamkan sikap, pembukaan wawasan dan pembekalan pengalaman awal yang dalam proses Pembelajarannya bukan sekedar hafalan atau target kognitif, tetapi dipelajari melalui penanaman kebiasaan yang harus dikerjakan atau dilakukan sendiri secara berulang-ulang dan tidak sekedar hanya mengerti dan mengalami. Untuk itu maka metode yang digunakan antara lain:
·         Ceramah. Digunakan dalam menyampaikan materi, konsep, pengalaman atau informasi lain yang berkaitan dengan penanaman sikap, wawasan dan pemberian bekal pengetahuan.
·         Bermain peran/simulasi. Digunakan dalam memberikan pengalaman untuk menerapkan konsep kewirausahaan, termasuk memberikan masukan mengenai pengamatan sikap dan perilaku kinerja  siswa dalam kondisi dan situasi seperti sesungguhnya.
·         Diskusi. Digunakan dalam upaya secara bersama-sama memahami suatu konsep belajar menggalang kerjasama dan saling menghargai serta bertukar gagasan atau pengalaman.
·         Penugasan/Projeck work. Digunakan  dalam upaya memberikan pengalaman awal, memupuk rasa percaya diri (Belajar berani melakukan sesuatu dalam situasi sesungguhnya) menggali alternatif pemecahan masalah.
·         Pemecahan Masalah/Studi Kasus. Digunakan untuk menghadapi kasus yang sifatnya lebih spesifik dengan cara membandingkan masalah yang dihadapi dengan karakteristik wirausaha yang harus dimiliki sebagai solusi.
·         Observasi/Pengamatan. Digunakan untuk mengamati secara langsung kepada obyek  guna mendapatkan kebenaran informasi teoritis praktis.
·         Presentasi. Digunakan dalam melatih kemampuan mengungkap ide, gagasan dan mengekspresikan diri melalui wacana, wicara sketsa, bagan dan lain-lain.

Pengorganisasian Kelompok Belajar
Pengorganisasian kelompok belajar disesuaikan dengan tujuan dan metode yang akan dilakukan pada setiap  tatap muka, sehingga tidak terpaku pada kelompok belajar teori atau praktek. Pada saat mendengarkan paparan/ceramah pengajar tamu/nara sumber, kelompok belajar dapat dibentuk menjadi kelompok besar, yaitu gabungan dari beberapa kelas atau siswa pada semua tingkatan.
Sedangkan untuk menggalang kerjasama atau tugas penulisan laporan, siswa dikelompokkan dalam jumlah yang lebih kecil. Keanggotaan kelompok kecil sebaiknya ditukar secara  berkala agar siswa memiliki kesempatan untuk beradaptasi dan saling mengenal secara lebih dalam mengenai  potensi sesama rekannya. Demikian pula ketua kelompok diatur secara bergantian agar setiap siswa memperoleh kesempatan untuk memimpin dan dipimpin.

Tempat Pelaksanaan Pembelajaran
Penyelenggaraan Pembelajaran Kewirausahaan dapat dilakukan di ruang kelas, aula, ruang terbuka, seperti sambil berkemah dan sebagainya, karena tidak ada batasan baku dalam menentukan tempat proses Pembelajaran.

C.     EVALUASI
·         Evaluasi Kompetensi “A” adalah mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausahawan yang dilakukan melalui kegiatan bersama yang terencana, misalnya: berkemah. Dalam proses evaluasi tidak dikenal “salah” dan “benar”, yang ada adalah “baik” dan “lebih baik”.
·         Evaluasi pencapaian kompetensi “B” adalah merencanakan pengelolaan usaha kecil, dilaksanakan melalui pengukuran penguasaan bahan ajar yang dikemas dan disampaikan dalam bentuk self-faced learning. Para siswa diberi kebebasan mempelajari materi sesuai dengan kecepatan pemahaman masing-masing. Siswa dapat mengajukan diri untuk dievaluasi, jadwal penyelenggaraan ditentukan oleh pengajar/sekolah. Jika peserta evaluasi telah mencapai minimal (misalnya 12 orang peserta kuliah)
·         Karena yang sifatnya yang implementatif. Evaluasi kompetensi “C” adalah mengelola pengamatan kebenaran proses dan hasil yang dibuktikan dalam bentuk pencapaian target keuntungan. Namun pengajar/pembimbing harus mempertimbangkan kondisi force mayore yang dapat mempengaruhi kegagalan usaha di luar resiko yang telah diperhitungkan dalam perencanaan.

Metode Pembelajaran Kewirausahaan Menurut Siswa Program Studi Keuangan dan Perbankan
Siswa menyarankan beberapa hal yang harus ditambahkan yaitu :
1)      Praktek wirausaha dengan tahapan sebagai berikut :
·         Pembagian kelompok
·         Pengumpulan proposal bisnis
·         Pelaksanaan bisnis
·         Evaluasi
2)      Realisasi dari bisnis plan yang dilanjutkan diskusi hasil dari realisasi bisnis plan yang meliputi
·         Review keberhasilan/kegagalan usaha
·         Feedback berupa kelemahan dan keunggulan bisnis plan

Hasil Uji Logic Model
Dalam uji ini data di lapangan atau jawaban subyek yang diteliti berulang kali untuk melihat perubahan proses bagaimana metode Pembelajaran kewirausahaan, orientasi dan aktivitas entrepreneurial dibangun. Hasil uji ini menunjukkan terdapatnya konsistensi proses.

PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah :
1)      Mata kuliah kewirausahaan prodi Keuangan dan Perbankan dinilai bermanfaat oleh mahasiswa namun belum mampu menumbuhkan orientasi entrepreneurial pada diri mahasiswa prodi KP, karena terlalu teoritis
2)      Karena orientasi kewirausahaan belum tertanam dikalangan mahasiswa maka 90% mahasiswa yang menjadi responden menyatakan akan mencari pekerjaan setelah lulus atau tetap menjadi job seeker.
3)      Satu hal penting yang belum dipunyai mahasiswa untuk menjadi seorang wirausaha adalah daya juang, yang sebenarnya didasari oleh orientasi kewirausahaan.
4)      Karena mata kuliah kewirausahaan yang diajarkan tidak mampu menanamkan orientasi kewirausahaan maka aktivitas entrepreneurial sukar dibangun di kalangan mahasiswa prodi KP.
5)      Mahasiswa memandang perlunya penambahan materi matakuliah kewirausahaan dengan praktek dan evaluasi pelaksanaan kegiatan bisnis.
6)      Menurut pakar kewirausahaan yang paling penting dalam metode Pembelajaran kewirausahaan adalah penanaman orientasi atau jiwa kewirausahaan, karena jiwa inilah yang menggerakkan aktivitas entrepreneurial.
7)      Menurut pakar pendidikan kewirausahaan metode Pembelajaran kewirausahaan haruslah mengintegrasikan nilai – nilai kewirausahaan ke dalam matakuliah kewirausahaan.
8)      Metode Pembelajaran kewirausahaan haruslah bertujuan membuka wawasan kewirausahaan, menanamkan sikap kewirausahaan, memberikan bekal pengetahuan praktis dan memberikan pengalaman awal berusaha

Implikasi Kebijakan
Dari hasil analisis data dapat disarankan suatu kebijakan yang berkenaan dengan metode Pembelajaran kewirausahaan sebagaimana Gambar 3.

Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah :
1)      Pada saat pengambilan responden berdasarkan nilai matakuliah kewirausahaan yang > 7, dengan asumsi bahwa nilai > 7 menunjukkan kecerdasan berfikir yang akan membawa pada penguasaan materi dan tumbuhnya orientasi kewirausahaan pada diri responden. Sehingga paling tidak mereka telah memiliki ancangan bisnis yang akan dimasuki apabila lapangan kerja terlalu sempit untuk mereka masuki. Ternyata asumsi ini tidak benar karena dari 10 responden yang dipilih tidak satupun menyatakan ingin menjadi wirausaha atau ingin menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri mereka sendiri.
2)      Penelitian evaluatif berkenaan dengan keberhasilan mata kuliah kewirausahaan di prodi KP belum dilakukan, oleh sebab itu model atau metode Pembelajaran kewirausahaan hasil penelitian ini akan sulit untuk diterapkan.


Gambar 3. Implikasi Kebijakan Penelitian Metode Pembelajaran Kewirausahaan


Agenda Penelitian Mendatang
Berdasarkan pada keterbatasan penelitian di atas maka penelitian mendatang yang diagendakan untuk penelitian ini adalah :
1)      Sebaiknya responden yang dipilih berdasarkan pada kepemilikan jiwa atau orientasi kewirausahaan pada diri mereka.
2)      Sebaiknya dilakukan penelitian evaluatif mata kuliah kewirausahaan prodi KP sebagai pelengkap dari penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Boettke, P.J, and C..J, Coyne. 2006. Entreprenuership and Development: Cause or Consequence ?. Working Paper 6. Mercatus Center : George Mason University.
Carree, M.A., & Thurik, A.R. 2002. The Impact of Entrepreneurship on Economic Growth. Chapter Prepared for International Handbook of Entrepreneurship Research
Dejardin, Marcus. 2000. Entreprenuership and Economic Growth: An Obvious Conjuction ?. Reflects et Perspectives de La Vie Economique, 4: 1 – 14..
Holcombe, R. 1998. Entreprenuership and Economic Growth. The Quarterly Journal of Austrian Economics, 1 (2): 45 -62.
Kirzner, L.M. 1996. Creativity and/or alertness: A Consideration of the Schumpeterian Entreprenuer. The Review of Austrian Economics. 11 (1/2): 5 – 17.
Lumpkin, G.T., & Des, G.G.1996. Clarifying the Entrepreneurial Orientation Construct and Linking it to Performance. Academy of Management Review, 21(1): 135-172.
March. J.G. 1991. Exploration and Exploitation in Organizational Learning. Organization Science. 2 (1) : 71 – 87.
Tanas, J.K. & John Saee. 2007. Entrepreneurial Cognition and its Linkage to Social Capital. The Journal of American Academy of Business. 11 (1) : 179 – 190.
Yamada, Jin-ichiro. 2003. A Multi – Dimensional View of Entrepreneurship: Toward a Research Agenda on Organization Emergence. Journal of Management Development. 23 (4), 289 – 320.
Yin, R.K.2003. Case Study Research: Design and Methods. Sage Publications: USA.